Halo perkenalkan, namaku
Dhila. Aku adalah putri kedua dari dua orang bersaudara. Ya, aku si bungsu.
Namun, tidak seperti anak bungsu pada umumnya, aku mandiri dan tidak manja, loh! Aku berani jamin deh. Alhamdulillah, aku terlahir dari
keluarga yang memegang erat agama Islam. Jadi, kurang lebihnya aku sedikit
memahami tentang Islam. Aku adalah mahasiswa tingkat tiga semester ganjil
jurusan Statistika di salah satu Universitas ternama didaerahku. Sudah cukup
kan berkenalan denganku?
Inilah hariku.
“cuit…cuit…cuit…”
Kicauan burung yang bertengger
dekat jendela kamar di pagi hari ini membangunkanku dari tidur lelapku.
“Alhamdulillah. Sudah pagi.”,
ujarku dengan penuh rasa semangat.
Tiba-tiba saja aku merasa ada
yang kurang dipagi hari yang indah ini.
“Astagfirullah. Jam berapa
ini? Duhhh..kesiangan shalat shubuh kan, Dhil!! Cepetan shalat, cepetan
shalat.”
Lalu aku lekas mengambil air
wudhu dan shalat shubuh. Tak peduli itu jam berapa, yang penting aku tak mau
meninggalkan shalatku. Aku tahu, yang aku lakukan itu tak sepenuhnya benar,
namun apa mau dikata, daripada tidak samasekali, kan?
Seusai shalat, aku
bersiap-siap untuk bergabung sarapan bersama dengan keluargaku yang sederhana
ini. Aku menuruni tangga untuk mencapai ruang makan keluarga kami.
“Selamat pagi, anandaku
tersayang.”, sapa ibuku dengan penuh senyuman kehangatan, sembari menyiapkan
sarapan untuk kami.
“Hari ini hari Sabtu, kamu ada
acara gak, nak?”, tanya ayahku yang sedang asyik membaca koran pagi.
“Hmm…Rasanya aku punya janji.
Oh, iya temanku dari luar kota mau datang kemari, mau menginap disini, boleh
kan? Dhila juga mau ajak dia jalan-jalan disini.”, jawabku.
Tiba-tiba datang sesosok
laki-laki bertubuh tambun dengan rambut agak keriting dan agak acak-acakan
seperti belum disisir. Siapa lagi? Tidak lain tidak bukan, dia adalah kakak
laki-lakiku, Ari.
“Ciye..asik nih yang temennya
mau datang. Dari luar kota lagi! Cantik gak? Boleh dong, dikenalin sama
kakak.”, timpalnya.
“Wuuh… maunya!!”, jawabku
ketus.
***
Seusai sarapan aku bergegas
kembali ke kamarku yang nyaman. Kutengok jam yang mengalun berdenting.
“Jam 8? Waaah.. harus
cepat-cepat ini. Dhila kamu tuh ya..”, ujarku mengomeli diri sendiri.
Ya, ketika melakukan kesalahan
ataupun lalai, aku terbiasa memarahi diri sendiri. Dan berharap keesokannya
takkan terulang lagi. Namanya manusia, tidak 100% seperti apa yang diinginkan.
Hehehe..
Janjiku bertemu dengan Lestari
di stasiun kereta pukul 9 pagi ini, tak ingin aku hancurkan. Seusai mandi dan
bersiap, aku dengan mengendarai motor bebek kesayanganku melesat ke stasiun
Kereta Api di kawasan Cimanuk.
“Pukul 09.05 WIB, aduh aku
terlambat nih. Sekar dimana ya? Jangan-jangan saking lamanya dia nunggu dia
balik lagi deh ke Surabaya. Aduh gimana nih ya Allah? Sekar dimana sih kamu?”,
bisikku pada diri sendiri.
“DORR!!! Dhilaaaaa…. Finally,
kita ketemu lagi Dhil. Kangen kamu pake banget deh Dhil.”
“Duh.. kamu emang paling bisa
ya ngagetin orang, tuh! Huh!”, aku berpura-pura marah padanya.
Sekar adalah temanku sewaktu
di SMA Nusa Bangsa dulu. Kami bukan sekedar teman, aku merasa dia sudah seperti
saudaraku sendiri. Kami memang dekat, sangat dekat. Sekar lebih memilih
melanjutkan kuliah perfilman di Surabaya sana. Semenjak lulus SMA, kami
berpisah. Raga boleh berpisah, namun hati tetap satu, kami tetap menjaga
silaturahmi kami. Pernah pula aku mengunjungi dia di Surabaya, karena memang
waktu itu ada saudaraku yang melangsungkan pelaminan di Surabaya.
“Yuk antar aku ke Otista.”,
Sekar mengangkat bicara.
Otista itu adalah nama
kerennya dari Otto Iskandar Dinata. Sebuah daerah di kotaku tecinta ini,
Bandung.
“Ngapain ke Otista? Mau
langsung jalan-jalan? Apa gak lebih baik simpan dulu barang-barang kamu, baru
kita jalan?”, tanyaku penuh keheranan.
“Aku gak mau nginep ditempat
kamu, ah! Ntar abang kamu gangguin aku lagi. Hehehe. Bercanda, Dhil. Keluarga
sepupuku yang dari Jakarta rumahnya di Otista. Mereka baru pindah beberapa
pecan lalu. Aku juga diamanatin buat nginep disana aja sama papa dan mamaku.”,
ujarnya menjelaskan.
“Oh..”, jawabku singkat tanda
aku mengerti.
Tanpa pikir panjang, langsung
kutancap gas. Melesatlah kami ke Otista.
***
Aku tak pernah tahu Sekar
punya sepupu laki-laki. Rafli namanya, tubuhnya semampai menjulur ke langit bak
tangga untuk manjat pohon. Penampilannya rapi dan sopan, juga cukup menawan.
Hus, istigfar!
“Kenalin ini bestfriend aku,
Raf, namanya Dhila. Dhil, ini sepupu aku Rafli, ganteng kan? Hahaha. Rafli ini
satu kampus loh sama kamu, Dhil. Dia satu tahun diatas kita, gak tau tuh
makannya apaan dia pinter banget, SD sampai SMA kerjaannya dapet kelas
akselerasi melulu. Makanya, jangan aneh ya kalau dia panggil aku mba.”, Sekar
menjelaskan seluk-beluk sepupunya itu.
“Salam kenal. Aku Dhila, tahun
ketiga jurusan Statistika.”, aku berusaha berkenalan dengan sesopan-sopannya.
“Aku Rafli. Jurusan Teknik
Komputer. Tahun terakhir.
Eh, mba Sekar, makan dulu yuk.
Terus nanti aku kenalin sama dua orang temanku.”, ujar Rafli yang kemudian
mengacuhkanku, seolah aku tak ada.
“Mba udah makan, makasih Raf.
Sekarang mba pengen beres-beres dulu terus mau jalan-jalan sama Dhila. Kamu
sama teman-temanmu mau ikut?”, tawar Sekar kepada Rafli yang tanpa meminta
persetujuanku terlebih dahulu.
Aku menatap Sekar berharap
telepati hadir diantara kita. Namun, tidak, Sekar tidak memahamiku saat itu. Satu jam kemudian kami semua bersiap untuk jalan-jalan ke sebuah taman rekreasi.
Berbekalkan makanan lezat yang dibuat oleh ibunya Rafli, kami berlima berangkat
dengan mobil milik Rafli. Oh iya, hampir saja lupa. Kedua temannya Rafli
bernama Fahmi dan Aditya.
Aku tidak berekspektasi
terlalu banyak mengenai jalan-jalan kami hari ini. Namun, aku merasa ada yang
berbeda. Sikap cuek Rafli memang tiada tara. Tapi tidak tahu mengapa, hati ini
sedikit bergetar ketika berada didekatnya. Oh, Rafli….. Tidak!! Aku belum mau
jatuh cinta. Ini belum saatnya. Jalanku masih panjang, banyak hal lain yang
lebih penting yang harus kupikirkan.
Hari itu benar-benar indah,
kami makan bersama dan berfoto bersama. Kuberikan flashdisk Toshiba 4GB yang
berwana hitam milikku itu untuk meng-copy semua foto yang mengukir kenangan
indah di hari itu. Entah aku yang berprasangka lebih atau apa. Kuakui setelah
hari itu, Rafli tak pernah lekang dari pikiranku. Sungguh menggelikan! Tidak
suka dengan keadaan seperti ini. Aku takut semua hanya anganku saja.
Kupandang lekat-lekat
foto-foto kami berlima itu. Di beberapa foto kami berdiri berdampingan. Aku
yang memiliki postur tubuh sedikit lebih tinggi daripada Rafli itu terlihat
sangat menggelikan jika disandingkan berdua. Tidak! Khayalanku teramat jauh.
Sudah melampaui batas. Kuputuskan untuk tidak menghiraukan getaran yang aku
rasakan di hari itu. Mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin karena selama ini
aku jarang sekali berdekatan dengan lawan jenis sedekat itu. Ya, itu benar.
Mungkin karena diluar kebiasaanku, jadi muncul perasaan diluar biasanya.
Hari demi hari berlalu, tak
pernah kuhiraukan perasaan itu merajai kalbu. Kuacuhkan semua rasaku. Karna aku
tahu pasti, perasaan ini salah, tak sebaiknya ada di waktuku sekarang ini.
Jalanku masih panjang, banyak hal yang belum kutempuh. Hal sekecil ini tak
boleh melenakanku.
Sayangnya, tekadku yang kuat
itu berdiri tegap tanpa tameng penghalang. Sedikit sedikit aku mulai goyah.
Setiap paginya aku selalu bertemu Rafli, tak bisa kuurungkan, rasanya ingin
meledakkan perasaan ini. Aku berusaha menahan semuanya agar dalam kendali. Aku
ingat Sang Illahi, memohonkan petunjuk untuk rasa yang membuatku gundah gulana
berhari-hari. Hingga akhirnya kuputuskan, bersikap seperti biasa saja. “Ya!!
Aku pasti bisa…”, ujarku meyakinkan diri sendiri.
***
Hingga tibalah di suatu hari
yang cerah. Angin sepoi menyapu pipi ini, kami sedang terdiam di halaman kampus
kami. Benar-benar tanpa sepengetahuanku Rafli ada disitu juga. Rasanya ingin
melarikan diri dari tempat itu. Namun, aku bukanlah kucing yang takut dikejar
anjing, aku berusaha biasa saja, seolah tidak menyadari kehadirannya. Lama
kelamaan, terdengar suara langkah kaki mendekat, ya suara sepatu kets yang
tidak asing di telingaku. Siapa lagi, kalau bukan Rafli. Dia mendekat, semakin
mendekat. Jantungku berdetak cepat, rasanya ingin pergi dari sini L
“Dhila, sebenarnya aku suka
padamu, bukan sejak awal kita berkenalan. Tapi semenjak awal masuk kuliah.
Sadarkah kamu? Aku selalu memerhatikan gerak-gerik dirimu. Pertama kali aku
melihatmu, biasa saja, namun seiring berjalannya waktu aku jatuh hati padamu.
Kamu tau kenapa? Kamu sosok wanita yang shalehah, namun tidak mau terlihat
lemah, itu yang aku kagumi pada dirimu. Kamu itu berbeda. Sangat berbeda.
Kurang lebih tiga tahun aku memendam rasaku ini padamu, Dhil. Jangankan untuk
menyatakan perasaanku padamu, untuk sekedar menyapa saja aku malu. Sekarang aku
tlah mengumpulkan semua keberanianku, aku sudah menyatakan perasaanku yang
sesungguhnya padamu dan sekarang aku ingin menanyakan sesuatu padamu, Dhila
maukah kamu menjadi kekasihku?”, tanya Rafli, setelah ia panjang lebar
mengungkapkan perasaannya kepadaku.
Aku terdiam. Tenggorokanku seperti tercekat beberapa saat.
“Jujur, aku terkejut dan
tersanjung, aku tak menyangka kamu menyukaiku selama ini. Dan sebenarnya aku
juga memiliki perasaan yang sama padamu. Diawali pada saat kita berlima
berjalan-jalan bersama. Tapi, aku ragu, Raf, aku takut. Setiap harinya aku
berusaha menghilangkan perasaanku yang aku anggap salah ini. Sebenarnya
perasaan ini tak salah, tapi kamu tahu kan didalam Islam tidak ada istilah
pacaran? Aku takut, aku takut sama Allah, Raf. Aku harap kamu mengerti, Raf.
Maaf L”,
jawabku tanpa ingin sedikitpun menyakiti hatinya.
“Aku mengerti maksudmu,
Dhil.”, senyum kecut tersungging di wajah rupawan Rafli.
“Mmmm.. Kali ini aku yang mau
menyatakan sesuatu, boleh kan? Maukah kamu menjadi sahabatku, Rafli?”, tanyaku
dengan suara agak bergetar.
Bisu tak ada jawaban, senyuman
mengiris merekah dari bibir Rafli. Isyarat ia bersedia. Hati ini pun turut
teriris namun merasa lega. Harapku, semoga inilah yang terbaik bagi kami.
Persahabatan dibawah janji Illahi.
***
“Maukah kamu menjadi sahabat
hidupku sampai akhir hayatku, Rafli.”, ujarku didalam hati, tak berani aku
ungkapkan. Inilah yang sesungguhnya terbisik didalam hati, yang tak mampu, tak
mungkin, dan belum saatnya untuk diungkapkan.
Ya Allah, jika dia jodohku
dekatkanlah kami dimasa yang engkau ridhai dengan caraMu yang engkau ridhai
pula. Namun jika dia bukan jodohku, maka berikanlah ia kebahagiaan dan
berikanlah jodoh yang shalehah dan terbaik yang akan menemaninya hingga akhirat
kelak.
“Nantikanku
di batas waktu, Raf”, bisikku lagi didalam hati.
Lantunan lagu
Edcoustic yang berjudul Nantikanku di Batas Waktu menemaniku seraya menutup
hari itu.
***
“Aku akan selalu menunggumu
Dhila, aku akan terus bersamamu hingga penghujung hidupku. Aku tahu, kamulah
yang terbaik untukku. Kamulah tulang rusukku yang hilang.”, bisikan hati Rafli
diam-diam.
***
Tulisan ini pernah saya kirimkan ke basabasi.co
02/09/2015 21:38 TRT
Disunting kembali pada 21/04/2020 17.31 WIB
Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam setiap postingan artikel yang saya buat.
Semoga dapat diambil manfaatnya..
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih