*

Pages

Wednesday, 22 April 2020

Persahabatan dibawah janji Illahi


Halo perkenalkan, namaku Dhila. Aku adalah putri kedua dari dua orang bersaudara. Ya, aku si bungsu. Namun, tidak seperti anak bungsu pada umumnya, aku mandiri dan tidak manja, loh! Aku berani jamin deh. Alhamdulillah, aku terlahir dari keluarga yang memegang erat agama Islam. Jadi, kurang lebihnya aku sedikit memahami tentang Islam. Aku adalah mahasiswa tingkat tiga semester ganjil jurusan Statistika di salah satu Universitas ternama didaerahku. Sudah cukup kan berkenalan denganku?
Inilah hariku.
“cuit…cuit…cuit…”
Kicauan burung yang bertengger dekat jendela kamar di pagi hari ini membangunkanku dari tidur lelapku.
“Alhamdulillah. Sudah pagi.”, ujarku dengan penuh rasa semangat.
Tiba-tiba saja aku merasa ada yang kurang dipagi hari yang indah ini.
“Astagfirullah. Jam berapa ini? Duhhh..kesiangan shalat shubuh kan, Dhil!! Cepetan shalat, cepetan shalat.”
Lalu aku lekas mengambil air wudhu dan shalat shubuh. Tak peduli itu jam berapa, yang penting aku tak mau meninggalkan shalatku. Aku tahu, yang aku lakukan itu tak sepenuhnya benar, namun apa mau dikata, daripada tidak samasekali, kan?
Seusai shalat, aku bersiap-siap untuk bergabung sarapan bersama dengan keluargaku yang sederhana ini. Aku menuruni tangga untuk mencapai ruang makan keluarga kami.
“Selamat pagi, anandaku tersayang.”, sapa ibuku dengan penuh senyuman kehangatan, sembari menyiapkan sarapan untuk kami.
“Hari ini hari Sabtu, kamu ada acara gak, nak?”, tanya ayahku yang sedang asyik membaca koran pagi.
“Hmm…Rasanya aku punya janji. Oh, iya temanku dari luar kota mau datang kemari, mau menginap disini, boleh kan? Dhila juga mau ajak dia jalan-jalan disini.”, jawabku.
Tiba-tiba datang sesosok laki-laki bertubuh tambun dengan rambut agak keriting dan agak acak-acakan seperti belum disisir. Siapa lagi? Tidak lain tidak bukan, dia adalah kakak laki-lakiku, Ari.
“Ciye..asik nih yang temennya mau datang. Dari luar kota lagi! Cantik gak? Boleh dong, dikenalin sama kakak.”, timpalnya.
“Wuuh… maunya!!”, jawabku ketus.
***

Seusai sarapan aku bergegas kembali ke kamarku yang nyaman. Kutengok jam yang mengalun berdenting.
“Jam 8? Waaah.. harus cepat-cepat ini. Dhila kamu tuh ya..”, ujarku mengomeli diri sendiri.
Ya, ketika melakukan kesalahan ataupun lalai, aku terbiasa memarahi diri sendiri. Dan berharap keesokannya takkan terulang lagi. Namanya manusia, tidak 100% seperti apa yang diinginkan. Hehehe..
Janjiku bertemu dengan Lestari di stasiun kereta pukul 9 pagi ini, tak ingin aku hancurkan. Seusai mandi dan bersiap, aku dengan mengendarai motor bebek kesayanganku melesat ke stasiun Kereta Api di kawasan Cimanuk.
“Pukul 09.05 WIB, aduh aku terlambat nih. Sekar dimana ya? Jangan-jangan saking lamanya dia nunggu dia balik lagi deh ke Surabaya. Aduh gimana nih ya Allah? Sekar dimana sih kamu?”, bisikku pada diri sendiri.
“DORR!!! Dhilaaaaa…. Finally, kita ketemu lagi Dhil. Kangen kamu pake banget deh Dhil.”
“Duh.. kamu emang paling bisa ya ngagetin orang, tuh! Huh!”, aku berpura-pura marah padanya.
Sekar adalah temanku sewaktu di SMA Nusa Bangsa dulu. Kami bukan sekedar teman, aku merasa dia sudah seperti saudaraku sendiri. Kami memang dekat, sangat dekat. Sekar lebih memilih melanjutkan kuliah perfilman di Surabaya sana. Semenjak lulus SMA, kami berpisah. Raga boleh berpisah, namun hati tetap satu, kami tetap menjaga silaturahmi kami. Pernah pula aku mengunjungi dia di Surabaya, karena memang waktu itu ada saudaraku yang melangsungkan pelaminan di Surabaya.
“Yuk antar aku ke Otista.”, Sekar mengangkat bicara.
Otista itu adalah nama kerennya dari Otto Iskandar Dinata. Sebuah daerah di kotaku tecinta ini, Bandung.
“Ngapain ke Otista? Mau langsung jalan-jalan? Apa gak lebih baik simpan dulu barang-barang kamu, baru kita jalan?”, tanyaku penuh keheranan.
“Aku gak mau nginep ditempat kamu, ah! Ntar abang kamu gangguin aku lagi. Hehehe. Bercanda, Dhil. Keluarga sepupuku yang dari Jakarta rumahnya di Otista. Mereka baru pindah beberapa pecan lalu. Aku juga diamanatin buat nginep disana aja sama papa dan mamaku.”, ujarnya menjelaskan.
“Oh..”, jawabku singkat tanda aku mengerti.
Tanpa pikir panjang, langsung kutancap gas. Melesatlah kami ke Otista.
***

Aku tak pernah tahu Sekar punya sepupu laki-laki. Rafli namanya, tubuhnya semampai menjulur ke langit bak tangga untuk manjat pohon. Penampilannya rapi dan sopan, juga cukup menawan. Hus, istigfar!
“Kenalin ini bestfriend aku, Raf, namanya Dhila. Dhil, ini sepupu aku Rafli, ganteng kan? Hahaha. Rafli ini satu kampus loh sama kamu, Dhil. Dia satu tahun diatas kita, gak tau tuh makannya apaan dia pinter banget, SD sampai SMA kerjaannya dapet kelas akselerasi melulu. Makanya, jangan aneh ya kalau dia panggil aku mba.”, Sekar menjelaskan seluk-beluk sepupunya itu.
“Salam kenal. Aku Dhila, tahun ketiga jurusan Statistika.”, aku berusaha berkenalan dengan sesopan-sopannya.
“Aku Rafli. Jurusan Teknik Komputer. Tahun terakhir.
Eh, mba Sekar, makan dulu yuk. Terus nanti aku kenalin sama dua orang temanku.”, ujar Rafli yang kemudian mengacuhkanku, seolah aku tak ada.
“Mba udah makan, makasih Raf. Sekarang mba pengen beres-beres dulu terus mau jalan-jalan sama Dhila. Kamu sama teman-temanmu mau ikut?”, tawar Sekar kepada Rafli yang tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu.
Aku menatap Sekar berharap telepati hadir diantara kita. Namun, tidak, Sekar tidak memahamiku saat itu. Satu jam kemudian kami semua bersiap untuk jalan-jalan ke sebuah taman rekreasi. Berbekalkan makanan lezat yang dibuat oleh ibunya Rafli, kami berlima berangkat dengan mobil milik Rafli. Oh iya, hampir saja lupa. Kedua temannya Rafli bernama Fahmi dan Aditya.
Aku tidak berekspektasi terlalu banyak mengenai jalan-jalan kami hari ini. Namun, aku merasa ada yang berbeda. Sikap cuek Rafli memang tiada tara. Tapi tidak tahu mengapa, hati ini sedikit bergetar ketika berada didekatnya. Oh, Rafli….. Tidak!! Aku belum mau jatuh cinta. Ini belum saatnya. Jalanku masih panjang, banyak hal lain yang lebih penting yang harus kupikirkan.
Hari itu benar-benar indah, kami makan bersama dan berfoto bersama. Kuberikan flashdisk Toshiba 4GB yang berwana hitam milikku itu untuk meng-copy semua foto yang mengukir kenangan indah di hari itu. Entah aku yang berprasangka lebih atau apa. Kuakui setelah hari itu, Rafli tak pernah lekang dari pikiranku. Sungguh menggelikan! Tidak suka dengan keadaan seperti ini. Aku takut semua hanya anganku saja.
Kupandang lekat-lekat foto-foto kami berlima itu. Di beberapa foto kami berdiri berdampingan. Aku yang memiliki postur tubuh sedikit lebih tinggi daripada Rafli itu terlihat sangat menggelikan jika disandingkan berdua. Tidak! Khayalanku teramat jauh. Sudah melampaui batas. Kuputuskan untuk tidak menghiraukan getaran yang aku rasakan di hari itu. Mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin karena selama ini aku jarang sekali berdekatan dengan lawan jenis sedekat itu. Ya, itu benar. Mungkin karena diluar kebiasaanku, jadi muncul perasaan diluar biasanya.
Hari demi hari berlalu, tak pernah kuhiraukan perasaan itu merajai kalbu. Kuacuhkan semua rasaku. Karna aku tahu pasti, perasaan ini salah, tak sebaiknya ada di waktuku sekarang ini. Jalanku masih panjang, banyak hal yang belum kutempuh. Hal sekecil ini tak boleh melenakanku.
Sayangnya, tekadku yang kuat itu berdiri tegap tanpa tameng penghalang. Sedikit sedikit aku mulai goyah. Setiap paginya aku selalu bertemu Rafli, tak bisa kuurungkan, rasanya ingin meledakkan perasaan ini. Aku berusaha menahan semuanya agar dalam kendali. Aku ingat Sang Illahi, memohonkan petunjuk untuk rasa yang membuatku gundah gulana berhari-hari. Hingga akhirnya kuputuskan, bersikap seperti biasa saja. “Ya!! Aku pasti bisa…”, ujarku meyakinkan diri sendiri.
***
Hingga tibalah di suatu hari yang cerah. Angin sepoi menyapu pipi ini, kami sedang terdiam di halaman kampus kami. Benar-benar tanpa sepengetahuanku Rafli ada disitu juga. Rasanya ingin melarikan diri dari tempat itu. Namun, aku bukanlah kucing yang takut dikejar anjing, aku berusaha biasa saja, seolah tidak menyadari kehadirannya. Lama kelamaan, terdengar suara langkah kaki mendekat, ya suara sepatu kets yang tidak asing di telingaku. Siapa lagi, kalau bukan Rafli. Dia mendekat, semakin mendekat. Jantungku berdetak cepat, rasanya ingin pergi dari sini L
“Dhila, sebenarnya aku suka padamu, bukan sejak awal kita berkenalan. Tapi semenjak awal masuk kuliah. Sadarkah kamu? Aku selalu memerhatikan gerak-gerik dirimu. Pertama kali aku melihatmu, biasa saja, namun seiring berjalannya waktu aku jatuh hati padamu. Kamu tau kenapa? Kamu sosok wanita yang shalehah, namun tidak mau terlihat lemah, itu yang aku kagumi pada dirimu. Kamu itu berbeda. Sangat berbeda. Kurang lebih tiga tahun aku memendam rasaku ini padamu, Dhil. Jangankan untuk menyatakan perasaanku padamu, untuk sekedar menyapa saja aku malu. Sekarang aku tlah mengumpulkan semua keberanianku, aku sudah menyatakan perasaanku yang sesungguhnya padamu dan sekarang aku ingin menanyakan sesuatu padamu, Dhila maukah kamu menjadi kekasihku?”, tanya Rafli, setelah ia panjang lebar mengungkapkan perasaannya kepadaku.
Aku terdiam. Tenggorokanku seperti tercekat beberapa saat.
“Jujur, aku terkejut dan tersanjung, aku tak menyangka kamu menyukaiku selama ini. Dan sebenarnya aku juga memiliki perasaan yang sama padamu. Diawali pada saat kita berlima berjalan-jalan bersama. Tapi, aku ragu, Raf, aku takut. Setiap harinya aku berusaha menghilangkan perasaanku yang aku anggap salah ini. Sebenarnya perasaan ini tak salah, tapi kamu tahu kan didalam Islam tidak ada istilah pacaran? Aku takut, aku takut sama Allah, Raf. Aku harap kamu mengerti, Raf. Maaf L”, jawabku tanpa ingin sedikitpun menyakiti hatinya.
“Aku mengerti maksudmu, Dhil.”, senyum kecut tersungging di wajah rupawan Rafli.
“Mmmm.. Kali ini aku yang mau menyatakan sesuatu, boleh kan? Maukah kamu menjadi sahabatku, Rafli?”, tanyaku dengan suara agak bergetar.
Bisu tak ada jawaban, senyuman mengiris merekah dari bibir Rafli. Isyarat ia bersedia. Hati ini pun turut teriris namun merasa lega. Harapku, semoga inilah yang terbaik bagi kami. Persahabatan dibawah janji Illahi.
***

“Maukah kamu menjadi sahabat hidupku sampai akhir hayatku, Rafli.”, ujarku didalam hati, tak berani aku ungkapkan. Inilah yang sesungguhnya terbisik didalam hati, yang tak mampu, tak mungkin, dan belum saatnya untuk diungkapkan.
Ya Allah, jika dia jodohku dekatkanlah kami dimasa yang engkau ridhai dengan caraMu yang engkau ridhai pula. Namun jika dia bukan jodohku, maka berikanlah ia kebahagiaan dan berikanlah jodoh yang shalehah dan terbaik yang akan menemaninya hingga akhirat kelak.
“Nantikanku di batas waktu, Raf”, bisikku lagi didalam hati.

Lantunan lagu Edcoustic yang berjudul Nantikanku di Batas Waktu menemaniku seraya menutup hari itu.
***

“Aku akan selalu menunggumu Dhila, aku akan terus bersamamu hingga penghujung hidupku. Aku tahu, kamulah yang terbaik untukku. Kamulah tulang rusukku yang hilang.”, bisikan hati Rafli diam-diam.
***



Tulisan ini pernah saya kirimkan ke basabasi.co
02/09/2015 21:38 TRT
Disunting kembali pada 21/04/2020 17.31 WIB


Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam setiap postingan artikel yang saya buat.
Semoga dapat diambil manfaatnya..

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Archives

Another Blog

Blog Archive

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...