“Dug..dug..dug..
Sahuuurr...sahuur...”
Senyum simpul dari bibir tipisku
disela ketiadaannya cahaya malam itu, membuatku tak lupa untuk senantiasa
mengucap syukur pada Sang Maha Kuasa atas masih diberikannya usia.
Alhamdulillaaaaahhhh….
***
Brukk!!!
“Ah hanya bunga tidur.”, ujarku
seraya menempas kesedihan.
Ini adalah Ramadan ketigaku di tanah
orang. Sebuah negara yang keindahannya selalu dielu-elukan oleh siapa saja yang
mendengarnya. Negara yang pertama kali membudidayakan bunga tulip, bunga
berwarna-warni nan cantik yang memiliki kelopak bunga yang ramping dan lancip,
serta memiliki jarak antar helai yang cukup sempit.
Belanda? SALAH BESAR. Aku tidak
sedang berdiaspora ke negara kincir angin tersebut, melainkan Turki. Dalam
benak beberapa orang masih sangat mungkin tertanam sebuah paradigma bahwa bunga
tulip itu berasal dari Kompeni. Faktanya, orang-orang Turki lah yang pertama
kali membudidayakan bunga ini pada masa pemerintahan kekhalifahan Ustmaniyah,
lebih tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Ahmed III (1703-1730), sampai-sampai
masa itu disebut sebagai “Era Bunga Tulip”. Lalu, mengapa bunga tulip bisa
tersohor dari Belanda? Karena bunga-bunga tulip tersebut dibawa ke Belanda oleh
kapal-kapal yang berasal dari Istanbul, dan dengan segala kelihaiannya, Kompeni
membudidayakan dan mengekspor bunga tulip secara meluas. Bahkan, tulip menjadi
salah satu komoditi andalan Negeri van Oranje tersebut!
Tiga kali menemui Ramadan di
perantauan memang benar dapat memberikan indikasi yang sangat berbahaya bagi
yang mengalaminya. Homesick menggejala,
baper ----istiah yang digunakan oleh "remaja akhir zaman" yang merupakan sebuah akronim dari bawa perasaan---- merajalela, dan terkadang terasa
menggigil sepanjang malam (ada survey yang mengatakan bahwa orang yang kesepian
cenderung selalu merasa kedinginan).
Sejujurnya, tahun lalu aku sempat
berpulang ke tanah air, meski hanya sekedar untuk melepas rindu akan masakan
ibu ataupun demi mencium debu kampung halaman. Separuh Ramadan kemarin
kuhabiskan di bumi pertiwi, hingga membuatku termenung, mengingatkanku akan sesuatu,
“Aku rindu mendengar bedug sahur..”,
ujarku dengan air mata yang terbendung di pelupuk.
Huh..
Kulirik jam yang berdetik dari
arloji-ku, ah baru pukul satu malam.
Kebanyakan orang disini berusaha
untuk tidak terlelap hingga waktu sahur tiba. Imsak yang diikuti dengan adzan
shubuh sekitar pukul 03.29 EET dan fajar yang terbenam sekitar pukul 20.29 EET
ini mengharuskan umat muslim disini untuk menahan dahaga, lapar, serta hawa
nafsu selama lebıh kurang 17 jam lamanya. Belum lagi terik matahari yang senantiasa
menemani kemanapun kaki ini melangkah, menambah cobaan bagi siapapun yang
melaksanakan titah-Nya.
Aku terbiasa mempersiapkan sahur
sekitar pukul dua dini hari. Itu artinya masih ada satu jam tersisa hingga
waktunya tiba. Kunyalakan handphone-ku untuk sekedar membaca artikel-artikel
yang telah kusimpan secara offline yang
kuanggap menarik. Akupun beralih bertadarus akan kalimat-kalimat-Nya. Ketika
sedang tenggelam bersama kalam-Nya, sebuah suara mengalihkan perhatianku. Malam
yang panas menuntutku untuk membuka lebar jendela kamarku 24/7. Dan suara itu
benar-benar menyelusup kedalam kamarku tanpa filter.
“Dug..dug dug dug..dug dug..”, suara
drum ditabuh saling bersahutan.
Aku menyembulkan kepalaku diantara
tirai-tirai yang menutupi jendela kamarku, mata ini mencoba mencari sumber
suara. Menatapnya nanar. Kini tak mampu kubendung lagi…
“Disini juga ada bedug sahur…..meski
tanpa teriakan sahur”, ucapku pelan seraya menghapus air mata.
***
30/06/2016 22:01 TRT
Disunting kembali 21/04/2020 17:50 WIB
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih