*

Pages

Sunday, 26 April 2020

Masih pantaskah kami, duhai Aleppo?


“Udah jam 9 malem nih, tidur duluan ah ya!”, ujarku pada kawan sekamarku.
“Iya.”, jawabnya lembut sambil terus menatap layar telepon genggamnya.
Perkiraanku, tepat sepuluh menit setelah aku mematikan lampu kamar, kemudian tergantikan dengan cahaya rembulan yang menyusup malu-malu lewat tirai, kawanku juga turut bergegas mengistirahatkan seluruh otot-ototnya yang cukup mengencang, setelah seharian beraktivitas di musim panas terik kota metropolitan Turki, Ankara.
“Kriiiiiiiiiiiiiinggggg...”
Telepon genggamku berdering dengan sangat kencang dan membuatku terperanjat. Dari balik telepon aku mendengar sebuah keresahan dan kegelisahan yang mendalam, diiringi dengan pertanyaan bertubi dan emosi yang meninggi,
“Wits, kamu lagi apa?”, tanyanya buru-buru.
“Ehhh.... Lagi ti...”, belum lengkap aku menyelesaikan kalimatku.
“Jangan bilang kamu lagi tidur?! Wits!!! Diluar lagi ada rame-rame! Bisa-bisanya kamu tidur?”, pertanyaan yang cukup tendensius terlontar dari mulut kakak kelasku.
“Eh iya, ada apa ini? Biar aku ke kak Jes.”, jawabku seketika tersadar.
“Yaudah. Kontak terus ya kalau ada apa-apa. Assalamu ‘alaikum.”.
Aku masih agak bengong, masih sedikit bergetar, bukan karena dikagetkan dengan telepon yang mendadak di tengah malam. Tapi karena hingar bingar yang tercipta dari luar. Kulihat jam yang terpampang jelas di hape-ku -----pukul sebelas malam-----. Apa yang terjadi diluar sana?
“Maw.. bangun! Itu diluar ada ribut-ribut. Bangun dulu yuk, eh. Cepet!”, ujarku meraih badannya yang masih terbujur kaku dibalik selimut kegelapan malam.
Aku bergegas menemui kakak kelasku yang sedang duduk termangu menatap nanar ke layar komputer lipatnya.
“Kudeta.”, ujarnya.
“Hah? Apa kak?”, tanyaku tak mengerti.
“Iya, lagi terjadi kudeta. Tentara Turki sedang berusaha mengambil alih pemerintahan, masyarakat mengamuk, semua kacau.”, jelasnya terpatah-patah.
“Tapi kenapa? Nga....”, belum sempat aku menyambung kata.
Debum!!!!!!!!
Terdengar sebuah debuman sangat keras yang cukup menggetarkan jendela-jendela flat kami. Dentuman saling bersahutan satu dengan yang lainnya. Dilansir bahwa beberapa oknum telah berulah.
Sonic boom. Itulah dentuman yang berkali-kali kami dengar. Cukup membuat jantung serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Sonic boom adalah suara yang berasal dari gerakan suatu benda yang kecepatannya melebihi kecepatan suara. Biasanya, suara-suara tersebut dihasilkan oleh pesawat yang berkecepatan tinggi, contohnya supersonic. Sebelum mengangkat kaki ke atas ranjang sungguh aku telah curiga dengan pesawat-pesawat yang terbang sangat rendah dan terdengar sampai flat kami ini.
Araya bi gidelim1!”, sahut teman Turki kami, yang artinya ayo pergi ke lorong.
Seraya memberikan instruksi kepada kami agar tidak berdekatan dengan jendela. Sonic boom itu lagi-lagi terdengar, kini diikuti dengan shalawat yang terdengar hawar-hawar dari pengeras suara di masjid. Tak lama, terdengar sebuah pengumuman dari pengeras suara tersebut. Berisi ajakan dan himbauan kepada seluaruh masyarakat untuk berbondong-bondong turun ke jalan, simbol perlawanan atas upaya penaklukan yang dilancarkan oleh beberapa anggota tentara Turki. Lalu, sonic boom kembali terdengar.
Seketika itu aku langsung menghubungi keluargaku, untuk sekedar mengatakan aku baik-baik saja atas kekeacauan yang sedang terjadi di tanah ranntau ini, serta meminta maaf atas segala salah, dan memasrahkan diri atas apa yang sedang dan akan terjadi. Dengan harapan, jika terjadi sesuatu padaku, maka keluargaku sudah mengikhlaskannya sedari waktu itu. Jantungku terus berdetak dengan cepatnya.
Tiba-tiba sekelibat ingatan akan kejadian dan kejahatan kemanusiaan di Aleppo membayangiku. Air mata ini tak terbendung lagi dari pelupuk. Ia menjatuhkan diri. Bukan karena aku takut akan apa yang terjadi. Tapi pikiranku saat itu hanya tentang aku disini yang baru mendengar sonic boom dan beberapa keributan saja sudah sangat kocar-kacir dan ingin kembali ke tanah air. Apalagi saudara kita disana, yang sehari-harinya mendengar dentuman bom. Mayat berjatuhan didepan mata. Gedung-gedung yang sudah tidak seperti sedikala. Segala fasilitas yang sudah tak berdaya. Tak ada tempat lain yang dapat mereka sebut sebagai ‘rumah’. Karena rumah-rumah mereka lah yang diluluh-lantakkan oleh manusia-manusia tidak bertanggung jawab. Tidak. Tidak bertanggung jawab sangatlah kurang sesuai, keji. Ya, rumah-rumah mereka diluluh-lantakkan oleh manusia-manusia yang keji. Tidak beradab.
Lalu, bagaimana dengan kami? Masih pantaskah kami mengaku-ngaku saudaramu, Aleppo? Masih pantaskah kami yang sering mati denyut simpati dan empatinya mengaku-ngaku saudaramu, Aleppo? Masih pantaskah? Masih pantaskah Allah SWT menghitung setiap tetes air mata kami yang terjatuh untukmu, Aleppo? Masih pantaskah?
Semoga tak pernah terlambat bagi kami untuk menyuarakan suara kalian yang tak pernah didengar. Semoga tak pernah terlambat bagi kami untuk menghidupkan kembali roh-roh yang mengaku bernama simpati dan empati di hati saudara-saudara kami. Semoga tak pernah terlambat bagi kami untuk memikirkanmu, duhai Aleppo.
Maafkan atas hati yang sempat tertutup debu. Atas mata yang tertutup pembatas tak berwujud. Semoga masih ada kesempatan bagi kami untuk menyelamatkanmu, Aleppo.
***

Pernah dikirimkan untuk berkontribusi dalam buku Antologi Cinta Untuk Aleppo*
29/12/2016 16:32 TRT
*Namun tidak ada informasi lebih lanjut.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Archives

Another Blog

Blog Archive

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...