“Udah
jam 9 malem nih, tidur duluan ah ya!”, ujarku pada kawan sekamarku.
“Iya.”,
jawabnya lembut sambil terus menatap layar telepon genggamnya.
Perkiraanku,
tepat sepuluh menit setelah aku mematikan lampu kamar, kemudian tergantikan
dengan cahaya rembulan yang menyusup malu-malu lewat tirai, kawanku juga turut
bergegas mengistirahatkan seluruh otot-ototnya yang cukup mengencang, setelah
seharian beraktivitas di musim panas terik kota metropolitan Turki, Ankara.
“Kriiiiiiiiiiiiiinggggg...”
Telepon
genggamku berdering dengan sangat kencang dan membuatku terperanjat. Dari balik
telepon aku mendengar sebuah keresahan dan kegelisahan yang mendalam, diiringi
dengan pertanyaan bertubi dan emosi yang meninggi,
“Wits,
kamu lagi apa?”, tanyanya buru-buru.
“Ehhh....
Lagi ti...”, belum lengkap aku menyelesaikan kalimatku.
“Jangan
bilang kamu lagi tidur?! Wits!!! Diluar lagi ada rame-rame! Bisa-bisanya kamu
tidur?”, pertanyaan yang cukup tendensius terlontar dari mulut kakak kelasku.
“Eh
iya, ada apa ini? Biar aku ke kak Jes.”, jawabku seketika tersadar.
“Yaudah.
Kontak terus ya kalau ada apa-apa. Assalamu ‘alaikum.”.
Aku
masih agak bengong, masih sedikit bergetar, bukan karena dikagetkan dengan
telepon yang mendadak di tengah malam. Tapi karena hingar bingar yang tercipta
dari luar. Kulihat jam yang terpampang jelas di hape-ku -----pukul sebelas malam-----. Apa yang terjadi diluar
sana?
“Maw..
bangun! Itu diluar ada ribut-ribut. Bangun dulu yuk, eh. Cepet!”, ujarku meraih
badannya yang masih terbujur kaku dibalik selimut kegelapan malam.
Aku
bergegas menemui kakak kelasku yang sedang duduk termangu menatap nanar ke layar
komputer lipatnya.
“Kudeta.”,
ujarnya.
“Hah?
Apa kak?”, tanyaku tak mengerti.
“Iya,
lagi terjadi kudeta. Tentara Turki sedang berusaha mengambil alih pemerintahan,
masyarakat mengamuk, semua kacau.”, jelasnya terpatah-patah.
“Tapi
kenapa? Nga....”, belum sempat aku menyambung kata.
Debum!!!!!!!!
Terdengar
sebuah debuman sangat keras yang cukup menggetarkan jendela-jendela flat kami. Dentuman saling bersahutan
satu dengan yang lainnya. Dilansir bahwa beberapa oknum telah berulah.
Sonic boom.
Itulah dentuman yang berkali-kali kami dengar. Cukup membuat jantung serasa
berhenti berdetak untuk sejenak. Sonic
boom adalah suara yang berasal dari gerakan suatu benda yang kecepatannya
melebihi kecepatan suara. Biasanya, suara-suara tersebut dihasilkan oleh
pesawat yang berkecepatan tinggi, contohnya supersonic.
Sebelum mengangkat kaki ke atas ranjang sungguh aku telah curiga dengan
pesawat-pesawat yang terbang sangat rendah dan terdengar sampai flat kami ini.
“Araya bi gidelim1!”, sahut
teman Turki kami, yang artinya ayo pergi ke lorong.
Seraya
memberikan instruksi kepada kami agar tidak berdekatan dengan jendela. Sonic boom itu lagi-lagi terdengar, kini
diikuti dengan shalawat yang terdengar hawar-hawar dari pengeras suara di
masjid. Tak lama, terdengar sebuah pengumuman dari pengeras suara tersebut.
Berisi ajakan dan himbauan kepada seluaruh masyarakat untuk berbondong-bondong
turun ke jalan, simbol perlawanan atas upaya penaklukan yang dilancarkan oleh
beberapa anggota tentara Turki. Lalu, sonic
boom kembali terdengar.
Seketika
itu aku langsung menghubungi keluargaku, untuk sekedar mengatakan aku baik-baik
saja atas kekeacauan yang sedang terjadi di tanah ranntau ini, serta meminta
maaf atas segala salah, dan memasrahkan diri atas apa yang sedang dan akan
terjadi. Dengan harapan, jika terjadi sesuatu padaku, maka keluargaku sudah
mengikhlaskannya sedari waktu itu. Jantungku terus berdetak dengan cepatnya.
Tiba-tiba
sekelibat ingatan akan kejadian dan kejahatan kemanusiaan di Aleppo
membayangiku. Air mata ini tak terbendung lagi dari pelupuk. Ia menjatuhkan
diri. Bukan karena aku takut akan apa yang terjadi. Tapi pikiranku saat itu
hanya tentang aku disini yang baru mendengar sonic boom dan beberapa keributan saja sudah sangat kocar-kacir dan
ingin kembali ke tanah air. Apalagi saudara kita disana, yang sehari-harinya
mendengar dentuman bom. Mayat berjatuhan didepan mata. Gedung-gedung yang sudah
tidak seperti sedikala. Segala fasilitas yang sudah tak berdaya. Tak ada tempat
lain yang dapat mereka sebut sebagai ‘rumah’. Karena rumah-rumah mereka lah
yang diluluh-lantakkan oleh manusia-manusia tidak bertanggung jawab. Tidak.
Tidak bertanggung jawab sangatlah kurang sesuai, keji. Ya, rumah-rumah mereka
diluluh-lantakkan oleh manusia-manusia yang keji. Tidak beradab.
Lalu,
bagaimana dengan kami? Masih pantaskah kami mengaku-ngaku saudaramu, Aleppo? Masih
pantaskah kami yang sering mati denyut simpati dan empatinya mengaku-ngaku
saudaramu, Aleppo? Masih pantaskah? Masih pantaskah Allah SWT menghitung setiap
tetes air mata kami yang terjatuh untukmu, Aleppo? Masih pantaskah?
Semoga
tak pernah terlambat bagi kami untuk menyuarakan suara kalian yang tak pernah
didengar. Semoga tak pernah terlambat bagi kami untuk menghidupkan kembali roh-roh
yang mengaku bernama simpati dan empati di hati saudara-saudara kami. Semoga
tak pernah terlambat bagi kami untuk memikirkanmu, duhai Aleppo.
Maafkan
atas hati yang sempat tertutup debu. Atas mata yang tertutup pembatas tak
berwujud. Semoga masih ada kesempatan bagi kami untuk menyelamatkanmu, Aleppo.
***
Pernah dikirimkan untuk berkontribusi dalam buku Antologi Cinta Untuk Aleppo*
29/12/2016 16:32 TRT
*Namun tidak ada informasi lebih lanjut.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih