Naskah ini pernah saya kirimkan ke media majalah nurhidayah Solo pada 07
Desember 2015 bertemakan Aku dan Ayah. Namun dikarenakan tidak ada informasi lebih lanjut, saya kira
saya dapat mempublikasikannya disini. Naskah ini telah saya sunting kembali di
April 2020.
“Penghujung
Keresahan”
Oleh Witsqa Fadhilah Adnan
Tik tik tik..
Kulirik jam tangan yang menempel di pergelangan
tangan kananku, yang sedari tadi
berdetik seolah memahami suasana hati ini. Detikannya hanya menambah kegelisahan
hati yang dibanjiri perasaan gundah gulana. Inilah aku, yang sudah berjam-jam
lamanya diliputi perasaan gelisah akan suatu hal yang akan dihadapinya sesaat
kemudian.
Aku berdiri termangu. Menatap penuh harap ke tiap sudut ruangan. Ya,
disini aku sedang menunggu bagasiku menyembulkan dirinya. Bagasiku yang dijelmakan
sebagai koper setiaku yang usang, berwana ungu cerah berukuran sedang. Tepat di
ruang pengambilan bagasi di bandara Internasional Soekarno Hatta. Bersama
puluhan orang lainnya kami berdesakkan, mondar-mandir tak sabar akan kemunculan
koper dari masing-masing kami tersebut. Bagaimana tidak gelisah? Sewaktu melakukan
transit di bandara Internasional Dubai aku dengan suka-ria dan penuh percaya
diri mengabarkan bahwa aku akan tiba di Jakarta sekitar pukul 16.00 WIB, sesuai
dengan apa yang tercantum di boarding
pass yang ada didalam genggamanku, dan kini waktu telah menunjukkan tepat
pukul 17.00 WIB! Aku sangat terlambat. Aaarrrghh! Sejujurnya, hal yang paling
tidak kusukai adalah membuat orang lain menunggu. Terlebih membuat ia menunggu
diriku untuk kesekian kalinya. Setelah lebih dari dua tahun ia harus menunggu
kedatanganku, bahkan kali ini ia rela harus menungguku lagi selama lebih kurang
dua jam. Atau lebih tepatnya aku membuatnya menunggu.
Bandara Dubai |
Pengap dan panasnya cuaca ibukota hari itu cukup mengendorkan ‘sedikit’ parameter
kesabaranku di awal kedatangan di tanah air tercinta. Ya, aku sedang berjuang menimba
ilmu nun jauh disana. Dan pada liburan musim panas kali ini aku bermaksud untuk
pulang ke tanah air demi membayar dua tahun kebrsamaan yang hilang khusus
diperuntukkan pada dirinya, orang yang sangat kusayangi.
“Ah itu dia! Alhamdulillah ya Allah..”, ucapku setengah berbisik.
Koper gembul yang terlihat seperti akan memuntahkan isinya dan
didominasi dengan warna ungu yang dihiasi tali pelangi itu seketika menarik
perhatianku. Tidak seperti saat berada di penerbangan Dubai, disana orang-orang
berusaha membantuku untuk mengambil barangku, disini semua acuh. Sibuk bersiaga
dengan mata elangnya yang siap mendeteksi keberadaan koper pribadinya
masing-masing. Aku yang berbadan kurus seperti lidi nan jangkung ini berusaha
menarik koperku, lalu…
“Buuum…”
Suara berdebum yang bersumber dari koperku sebagai bukti aku berhasil
mendaratkannya di lantai bandara petang itu. Suara yang cukup bisa mengalihkan
perhatian khalayak jika saja disana tidak dipenuhi dengan kebisingan hiruk-pikuk
pencarian bagasi.
“Fiuuuuh…Alhamdulillah….Aduh harus cepet-cepet iniiii..”, bisikku pada
diri sendiri.
Aku pun segera bergegas membawa koper, serta kantong ajaibku, eh maksudku kantong ransel khas lelaki yang
berwarna hitam dan berukuran super jumbo.
Sembari tergopoh-gopoh menggeret koper gembulku, aku melirik kanan dan kiri.
Celigukan kebingungan, mencari tahu bagaimana caranya untuk keluar dari bandara
ini. Aku harus segera menemuinya! Titik.
Ilustrasi bawaan saya di tahun 2018,
tapi koper yang saya gunakan di tahun 2015 sama
|
Ku aktifkan Wi-Fi di telefon genggamku, namun tidak ada tanda-tanda
terlacaknya sebuah jaringan Wi-Fi disekitar gedung tersebut. Bagaimana bisa aku
menghubunginya? Untuk sekedar memberikan kabar bahwa aku telah sampai di
Jakarta dan bermaksud untuk menanyakan dimana persisnya ia menungguku.
Setelah melewati berbagai proses imigrasi yang cukup memakan waktu tidak
sebentar, kutemukan dua buah pintu yang masing-masing saling berlawanan arah.
Aku kebingungan. Namun kulihat, kebanyakan orang memilih pintu kanan. Tak ada
satupun yang memutuskan untuk keluar melalui pintu lainnya. Akhirnya kuputuskan
untuk memilih keluar dengan menggunakan pintu sebelah kanan.
Setengah tergesa. Sembari berjalan mata ini berusaha mencari-cari sosok
lelaki itu. Lelaki yang telah lama tak kutemui. Lelaki yang biasa menjadi
tempat curahan hatilku. Pemberi solusi atas segala masalahku. Yang tak pernah
lelah mengingatkanku agar selalu dekat dengan-Nya. Yang selama dua tahun terakhir
ini hanya bisa bertanya kabar dan saling menguntai rindu lewat pesan.
Bak anak panah yang menancap pada sasaran tembak, pandanganku menancap
pada sesosok lelaki yang berperawakan jangkung, jauh melebihi tinggi badanku,
ia mengenakan kaus santai berhiaskan topi dengan segala kekhasannya yang tak
pernah berubah sedari dua tahun yang lalu. Wajahnya yang mengisyaratkan kelelahan,
dan kantung mata yang sangat besar tepat menggantung dibawah kelopak matanya,
serta wajahnya yang dipenuhi dengan keriput-keriput halus bukti nyata akan banyaknya
ia mengecap asam garam kehidupan. Namun wajahnya tersebut dihiasi dengan pandangan
penuh keteduhan dan lidah yang senantiasa berdzikir mengucap asma-Nya, serta
matanya yang berbingkai kacamata itu sangat awas mencari dengan teliti dimana
putrinya berada. Menunggu dan mencari keberadaan putrinya diantara ratusan
orang yang keluar dari pintu tersebut.
“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaah……”
Aku berlari disertai detak jantung tak menentu. Hentakan sepatuku yang
berkolaborasi dengan decitan koper usangku bagaikan duet maut ditengah-tengah
konser kehidupan. Aku mendarat tepat dipelukannya. Pelukannya masih sehangat dahulu.
Aku menangis sejadi-jadinya dalam peluknya. Sudah dua tahun aku tak pernah
merasakan pelukan sehangat ini. Aku sangat merindukan lelaki ini, aku sangat
merindukan ayah.
Bersamaan dengan elektron dalam tubuhku yang meletup-letup tak karuan.
Meletup pulalah semua memori-memori indah bersamanya. Hari dimana aku mengeluh
karena kesusahan menghafal ayat suci-Nya, namun ia senantiasa membantuku,
memungkinkan hal yang awalnya kuanggap tak mungkin.
“Udah tak ada yang perlu ditangisi, Qa.. Kan ayah udah disini..”,ujar
ayahku menenangkanku seraya membelai halus kepalaku yang dibalut dengan
kerudung pashmina.
Ia adalah alasan keresahanku beberapa waktu yang lalu. Ia alasan mengapa
aku harus kembali ke tanah pertiwi. Melangkah dengan pasti. Karena hanya bumi
pertiwi-lah tempatku kembali. Disini aku mempunyai sesuatu yang kusebut
“rumah”.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih