*

Pages

Friday 17 April 2020

A Life Story: "Penghujung Keresahan"


Naskah ini pernah saya kirimkan ke media majalah nurhidayah Solo pada 07 Desember 2015 bertemakan Aku dan Ayah. Namun dikarenakan tidak ada informasi lebih lanjut, saya kira saya dapat mempublikasikannya disini. Naskah ini telah saya sunting kembali di April 2020.

“Penghujung Keresahan”
Oleh Witsqa Fadhilah Adnan

Tik tik tik..
Kulirik jam tangan yang menempel di pergelangan tangan kananku, yang sedari tadi berdetik seolah memahami suasana hati ini. Detikannya hanya menambah kegelisahan hati yang dibanjiri perasaan gundah gulana. Inilah aku, yang sudah berjam-jam lamanya diliputi perasaan gelisah akan suatu hal yang akan dihadapinya sesaat kemudian.
Aku berdiri termangu. Menatap penuh harap ke tiap sudut ruangan. Ya, disini aku sedang menunggu bagasiku menyembulkan dirinya. Bagasiku yang dijelmakan sebagai koper setiaku yang usang, berwana ungu cerah berukuran sedang. Tepat di ruang pengambilan bagasi di bandara Internasional Soekarno Hatta. Bersama puluhan orang lainnya kami berdesakkan, mondar-mandir tak sabar akan kemunculan koper dari masing-masing kami tersebut. Bagaimana tidak gelisah? Sewaktu melakukan transit di bandara Internasional Dubai aku dengan suka-ria dan penuh percaya diri mengabarkan bahwa aku akan tiba di Jakarta sekitar pukul 16.00 WIB, sesuai dengan apa yang tercantum di boarding pass yang ada didalam genggamanku, dan kini waktu telah menunjukkan tepat pukul 17.00 WIB! Aku sangat terlambat. Aaarrrghh! Sejujurnya, hal yang paling tidak kusukai adalah membuat orang lain menunggu. Terlebih membuat ia menunggu diriku untuk kesekian kalinya. Setelah lebih dari dua tahun ia harus menunggu kedatanganku, bahkan kali ini ia rela harus menungguku lagi selama lebih kurang dua jam. Atau lebih tepatnya aku membuatnya menunggu.

Bandara Dubai
Sebenarnya hal itu sangatlah wajar, namun aku yang baru pertama kali pulang lagi ke tanah air dan memang sangat tidak banyak riwayat perjalananku di udara. Membuatku tidak memahami hal seremeh itu. Tapi nampaknya ia tak apa menungguku.
Pengap dan panasnya cuaca ibukota hari itu cukup mengendorkan ‘sedikit’ parameter kesabaranku di awal kedatangan di tanah air tercinta. Ya, aku sedang berjuang menimba ilmu nun jauh disana. Dan pada liburan musim panas kali ini aku bermaksud untuk pulang ke tanah air demi membayar dua tahun kebrsamaan yang hilang khusus diperuntukkan pada dirinya, orang yang sangat kusayangi.
“Ah itu dia! Alhamdulillah ya Allah..”, ucapku setengah berbisik.
Koper gembul yang terlihat seperti akan memuntahkan isinya dan didominasi dengan warna ungu yang dihiasi tali pelangi itu seketika menarik perhatianku. Tidak seperti saat berada di penerbangan Dubai, disana orang-orang berusaha membantuku untuk mengambil barangku, disini semua acuh. Sibuk bersiaga dengan mata elangnya yang siap mendeteksi keberadaan koper pribadinya masing-masing. Aku yang berbadan kurus seperti lidi nan jangkung ini berusaha menarik koperku, lalu…
“Buuum…”
Suara berdebum yang bersumber dari koperku sebagai bukti aku berhasil mendaratkannya di lantai bandara petang itu. Suara yang cukup bisa mengalihkan perhatian khalayak jika saja disana tidak dipenuhi dengan kebisingan hiruk-pikuk pencarian bagasi.
“Fiuuuuh…Alhamdulillah….Aduh harus cepet-cepet iniiii..”, bisikku pada diri sendiri.
Aku pun segera bergegas membawa koper, serta kantong ajaibku, eh maksudku kantong ransel khas lelaki yang berwarna hitam dan berukuran super jumbo.
Ilustrasi bawaan saya di tahun 2018,
tapi koper yang saya gunakan di tahun 2015 sama
Sembari tergopoh-gopoh menggeret koper gembulku, aku melirik kanan dan kiri. Celigukan kebingungan, mencari tahu bagaimana caranya untuk keluar dari bandara ini. Aku harus segera menemuinya! Titik.
Ku aktifkan Wi-Fi di telefon genggamku, namun tidak ada tanda-tanda terlacaknya sebuah jaringan Wi-Fi disekitar gedung tersebut. Bagaimana bisa aku menghubunginya? Untuk sekedar memberikan kabar bahwa aku telah sampai di Jakarta dan bermaksud untuk menanyakan dimana persisnya ia menungguku.
Setelah melewati berbagai proses imigrasi yang cukup memakan waktu tidak sebentar, kutemukan dua buah pintu yang masing-masing saling berlawanan arah. Aku kebingungan. Namun kulihat, kebanyakan orang memilih pintu kanan. Tak ada satupun yang memutuskan untuk keluar melalui pintu lainnya. Akhirnya kuputuskan untuk memilih keluar dengan menggunakan pintu sebelah kanan.
Setengah tergesa. Sembari berjalan mata ini berusaha mencari-cari sosok lelaki itu. Lelaki yang telah lama tak kutemui. Lelaki yang biasa menjadi tempat curahan hatilku. Pemberi solusi atas segala masalahku. Yang tak pernah lelah mengingatkanku agar selalu dekat dengan-Nya. Yang selama dua tahun terakhir ini hanya bisa bertanya kabar dan saling menguntai rindu lewat pesan.
Bak anak panah yang menancap pada sasaran tembak, pandanganku menancap pada sesosok lelaki yang berperawakan jangkung, jauh melebihi tinggi badanku, ia mengenakan kaus santai berhiaskan topi dengan segala kekhasannya yang tak pernah berubah sedari dua tahun yang lalu. Wajahnya yang mengisyaratkan kelelahan, dan kantung mata yang sangat besar tepat menggantung dibawah kelopak matanya, serta wajahnya yang dipenuhi dengan keriput-keriput halus bukti nyata akan banyaknya ia mengecap asam garam kehidupan. Namun wajahnya tersebut dihiasi dengan pandangan penuh keteduhan dan lidah yang senantiasa berdzikir mengucap asma-Nya, serta matanya yang berbingkai kacamata itu sangat awas mencari dengan teliti dimana putrinya berada. Menunggu dan mencari keberadaan putrinya diantara ratusan orang yang keluar dari pintu tersebut.
“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaah……”
Aku berlari disertai detak jantung tak menentu. Hentakan sepatuku yang berkolaborasi dengan decitan koper usangku bagaikan duet maut ditengah-tengah konser kehidupan. Aku mendarat tepat dipelukannya. Pelukannya masih sehangat dahulu. Aku menangis sejadi-jadinya dalam peluknya. Sudah dua tahun aku tak pernah merasakan pelukan sehangat ini. Aku sangat merindukan lelaki ini, aku sangat merindukan ayah.
Bersamaan dengan elektron dalam tubuhku yang meletup-letup tak karuan. Meletup pulalah semua memori-memori indah bersamanya. Hari dimana aku mengeluh karena kesusahan menghafal ayat suci-Nya, namun ia senantiasa membantuku, memungkinkan hal yang awalnya kuanggap tak mungkin.
“Udah tak ada yang perlu ditangisi, Qa.. Kan ayah udah disini..”,ujar ayahku menenangkanku seraya membelai halus kepalaku yang dibalut dengan kerudung pashmina.
Ia adalah alasan keresahanku beberapa waktu yang lalu. Ia alasan mengapa aku harus kembali ke tanah pertiwi. Melangkah dengan pasti. Karena hanya bumi pertiwi-lah tempatku kembali. Disini aku mempunyai sesuatu yang kusebut “rumah”.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Archives

Another Blog

Blog Archive

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...