*

Pages

Thursday, 30 April 2020

Ust. Salim A. Fillah - Zaman Khulafaur Rasyidin (Part 1) bag. 1


Artikel ini berisi ringkasan materi atas ilmu yang diperoleh, dengan harapan membagikannya menjadikan amal jariyah dan menjadi pengingat dikala lupa. Allahumma aamiin.
Do’akan semoga istiqamah, ya!

“Zaman Khulafaur Rasyidin (Part 1)”
Bagian 1
Oleh: Ustadz Salim A. Fillah


Pada tahun ke-10 H, Rasulullah SAW, sepulang dari haji wada, beliau memberikan isyarat bahwa akan segera meninggalkan umat. Dengan pada suatu hari berkhutbah di masjid Nabawi, beliau membacakan Q.S. AN-Nasr. Mendengar ayat ini dibacakan sayyidina Umar menangis tersedu-sedu, sedangkan yang lainnya bertakbir dan bertahmid, karena mendengarkan kabar gembira atas datangnya pertolongan Allah dan kemenangan, dapat dilihat bahwa orang-orang berbondong-bondong memasuki agama Allah SWT. Abu Bakar R.A. yang menangis tersedu-sedu, “ya Rasulullah, seandainya boleh. Akan kami jadikan ayah dan ibu kami sebagai tebusan untukmu ya Rasulullah.”. Kemudian orang-orang bertanya kepada Abu Bakar R.A., mengapa dirinya menangis padahal yang diberitakan adalah kabar yang baik. Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan, “bukankah dengan begitu artinya tugas beliau telah selesai? Dan jika tugas beliau telah selesai, bukankah artinya beliau akan segera meninggalkan kita”.

Suatu hari Rasulullah SAW merasakan sakit kepala yang luar biasa, sehingga harus mengencangkan ikatan sorban di kepalanya agar berkurang rasa sakitnya. Rasulullah SAW berkata, “seorang hamba diberikan pilihan oleh Allah SWT untuk menjadi Rasul dan raja atau Rasul dan hamba, maka ia memilih untuk menjadi Rasul dan hamba. Dan Allah SWT memberikan pilihan: apakah kehidupan dunia dan kejayaannya atau ar-rafiqul ‘a-la, dan ia memilih ar-rafiqul ‘a-la”. Mendengar kata-kata Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian orang-orang bertanya, “mengapa kau ini, Rasulullah SAW bercerita tentang orang yang diberikan pilihan-pilihan, tapi kau menangis.” Kemudian Abu Bakar R.A. mengatakan, “tidakkah kalian tahu siapakah yang diberikan pilihan itu? Itu adalah Rasulullah SAW, yang beliau telah memilih ar-rafiqul ‘a-la yang berarti teman yang paling tinggi (yakni Allah SWT). Dia memilih untuk kembali kepada Allah SWT.”

Tidak lama kemudian Rasulullah SAW mulai sakit, sakit yang disertai demam tinggi dan kepalanya sakit. Sehingga beliau hanya bisa berbaring di rumah, mulai tidak bisa ke masjid. Rasulullah SAW memerintahkan agar Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. yang mengimami shalat berjamaah.

Pada suatu hari Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. datang terlambat ke masjid, karena jarak dari rumahnya menuju masjid yang cukup jauh. Sehingga Umar bin Khattab R.A. telah mengumandangkan takbir bersiap untuk mengimami shalat, karena orang-orang menyuruhnya. Rasulullah SAW mendengar bahwa bukan suara Abu Bakar R.A., beliau terbangun seraya berkata, “demi Allah! Allah dan Rasul-Nya tidak ridha kecuali Abu Bakar.”. Hal ini disampaikan ke masjid, sehingga Umar yang mendengar hal ini mundur dari pengimamannya kemudian menangis tersedu-sedu dan sangat ketakutan, “celakalah kalian! Kalian telah mendorongku ke tempat yang tidak seharusnya. Celakalah kalian! Mengapa kita tidak menunggu Abu Bakar datang.”, kemudian Abu Bakar datang dan mengimami orang shalat.

Hari berganti hari, penyakit Rasulullah SAW semakin parah. Sebagian mu’arrif (ahli sejarah) berpendapat bahwa racun yang dulu dibubuhkan oleh perempuan Yahudi dalam perang Khaibar itu turut memperparah kondisi Rasulullah SAW di akhir hayatnya tersebut.

Pada suatu hari, Rasulullah SAW merasa mulai agak enakan dan berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah. Al-Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Rasulullah SAW) dan Ali bin Abi Thalib (sepupu Rasulullah SAW) memapah beliau untuk ke masjid. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. bertakbir, Rasulullah SAW didudukkan di belakang Abu Bakar Ash-Shiddiq. Merasa Rasulullah SAW ada di belakangnya, beliau mundur dari pengimaman. Namun Rasulullah SAW, menolaknya dengan mendorongnya kembali ke pengimaman. Abu Bakar maju sejauh pendorongan tangan Rasulullah SAW, tetapi ketika tangannya terlepas Abu Bakar kembali mundur. Begitu terus sampai tiga kali. Kemudian Abu Bakar R.A. duduk di samping Rasulullah SAW dengan mundur sedikit, dan beliau mengisyaratkan kepada jama’ah untuk melaksanakan shalat secara duduk. Agar Rasulullah SAW dapat mengimami shalat. Karena jikalau imamnya duduk, maka makmumnya juga harus duduk. Maka Rasulullah SAW mengimami shalat dalam keadaan duduk. Setelah shalat Rasulullah SAW menegur Abu Bakar, “ya Abu Bakar, mengapa engkau mundur? Padahal telah kuperintahkan kau menjadi imam.”, kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. menjawab, “sungguh ya Rasulullah, lebih baik tanah di depanku terbuka dan aku terperosok ke dalamnya, lalu bumi menghimpitku sampai aku binasa. Daripada aku menjadi imam, padahal di belakangku ada Rasulullah SAW”. Itu adalah bentuk adab penghormatan beliau kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pun bersabda, “jikalau boleh mengambil khalil (kekasih) dari kalangan manusia, maka akan kujadikan Abu Bakar sebagai khalil-ku”. Tetapi Allah SWT telah cukupkan diantara kami persahabatan dan persaudaraan.

Kemudian Rasulullah SAW menyampaikan beberapa wasiat kepada para sahabat. Beliau berkata, “aku tinggalkan kalian dengan dua perkara ini. Kalian tidak akan tersesat jika berpegang pada kedua perkara tersebut, yakni a-qur’an dan sunnah.”

Tidak lama kemudian Rasulullah SAW wafat. Kabar tersebut begitu mengguncang Madinah, sebagian orang tidak percaya bahwa Rasulullah SAW wafat. Sayyidina Umar bin Khattab merasa sangat terguncang pula atas berita tersebut, karena betapa besarnya cintanya terhadap Rasulullah SAW. Didepan rumah ibunda Aisyah (tempat Rasulullah SAW menghembuskan nafas terakhir), Umar dengan menghunus pedangnya berjalan bolak-balik kian kemari, mengancam oang-orang yang mengatakan,”demi Allah! Rasulullah tidak wafat. Rasulullah hanya sedang menghadap Allah dan nanti akan kembali. Dulu juga Musa A.S. dikatakan mati, karena beliau bertemu dengan Allah selama 40 hari. Demi Allah! Rasulullah SAW pun demikian. Siapa orang munafik yang mengatakan Rasulullah wafat, maju kemari, akan kupotong lidahnya!”. Hingga akhirnya Abu Bakar (ayah dari Aisyah) datang dan masuk kedalam rumah. Sedangkan Umar tidak dapat masuk karena tidak ada hubungan dengan pemilik rumah, yaitu Aisyah. Beliau melihat dan mencium jasad Nabi seraya berkata, “betapa harumnya dirimu ya Rasulullah ketika engkau masih hidup. Dan betapa harumnya engkau ketika telah wafat. Jika ini kematianmu ya Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengumpulkan dua kematian padamu. Maka, selamat tinggal dan sampai jumpa, ya Rasulullah.”. Kemudian Abu Bakar keluar untuk menenangkan orang-orang. Umar masih tidak mau tenang hingga dibacakan sebuah ayat yang berarti, “siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad mati. Siapa yang menyembah Allah, maka Allah kekal. Sesungguhnya Muhammad adalah rasul. Dan sebelumnya telah banyak rasul. Apakah setelah Muhammad mati kalian akan kembali ke belakang?”. Setelah mendengar ayat tersebut, Umar terkulai lemas dan berlutut, “seakan-akan ayat itu baru turun ketika Abu Bakar bacakan. Padahal ayat tersebut sering kami baca.”. Maka Abu Bakar berhasil mengatasi krisis pertama yang terjadi, yakni krisis ketika Rasulullah wafat. Abu Bakar memimpin pengurusan jenazah Rasulullah SAW, bersama Al-Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Rasulullah SAW), Ali bin Abi Thalib (sepupu Rasulullah SAW), Fadl bin Abbas (putra sayyidina Abbas) dan Usamah bin Zaid di dalam rumah Rasulullah SAW. Kemudian orang-orang berdatangan untuk menyolatkan Rasulullah SAW.

Bersambung......

Wallahu ‘alam bissawab.

Catatan: Menit 0:0 hingga 12:15



Share:

Wednesday, 29 April 2020

[Book Review] I am Sarahza


Judul Buku          :    I am Sarahza
Penulis                 :    Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit               :    Republika
Tahun                  :    September 2018 (Cetakan keempat)
Jumlah Halaman  :    368 hlm.




Dari alam rahim, aku menyaksikan bagaimana kedua orangtuaku jatuh bangun memperolehku. Melewati puluhan terapi, menghadapi ratusan jarum suntik, sayatan pisau operasi, berkali inseminasi, dan gagal bayi tabung, bahkan sampai menuai badai depresi.

Meski segala ilmu manusia akhirnya bertekuk lutut pada Pencipta Ilmu Segala Ilmu, kedua orangtuaku tak menyerah. Bahkan setelah ibu menjadi ‘tak sempurna’ karena upayanya.

Tahukah apa yang membuat Pencipta bisa luluh pada hamba-Nya? Dengan segala usaha dan penyerahan diri sepenuhnya, takdirku ke dunia dihantarkan oleh ribuan malaikat yang bersujud pada manusia-manusia yang sabar dan berupaya.

Inilah kisahku. I am Sarahza.
--------

I am Sarahza merupakan sebuah buku yang berisi kisah perjalanan panjang sepasang suami istri demi mencapai ‘kesempurnaan’ seorang orangtua, yakni memperoleh buah hati.
Adapun daftar isi dari buku ini adalah sebagai berikut:



  • Overture
  • Tahun Pertama Pernikahan
  • Tahun Kedua Pernikahan
  • Tahun Ketiga Pernikahan
  • Tahun Keempat Pernikahan
  • Tahun Kelima Pernikahan
  • Tahun Keenam Pernikahan
  • Tahun Ketujuh Pernikahan
  • Tahun Kedelapan Pernikahan
  • Tahun Kesembilan Pernikahan
  • Tahun Kesepuluh Pernikahan
  • Tahun Kesebelas Pernikahan
  • Epilog


QUOTES

“Aku yakin, seorang calon manusia yang dituliskan di Lauhul Mahfuzh tengah menanti ditempatkan dalam rahimmu. Aku hanya punya keyakinan yang terus kupelihara!” – hlm. 7

“Suamimu bilang ingin nemenin kamu cek darah. Katanya hari ini untuk cek darah rutin, kalau nanti kamu diambil darah lagi, dia akan cek darah untuk kolesterol, lalu untuk asam urat.....” – hlm. 95

Dadu itu kotak, bola itu bundar.
Probabilitas dadu bisa diprediksi dengan mudah, tapi tidak halnya dengan bola yang bundar.  Semua kemugkinan bisa terjadi. Bola itu bundar, sama bundarnya dengan sel telur dan inti sel sperma. Apakah rekayasa manusia lewat inseminasi ini bisa diprediksi secara sempurna? Aku tak perlu menjawabnya. Karena pusat kesempurnaan adalah milik Allah. – hlm. 99

Menulis itu menyembuhkan. – hlm. 115

“Suamiku berusaha mengadang ribuan anak panah yang berhamburan di belakangku selama ini?” - hlm.128

Ia tak boleh kalah oleh waktu. Bahkan ketika waktu terpaksa mengkhianatinya untuk menguji keteguhannya. Ia masih memiliki Rangga. – hlm. 129

Dariku: Tidak semua dapat di-quote, tetapi dengan membaca seluruh isinya membuat kita dapat memahami dan mengambil hikmah-hikmahnya.


PERSPEKTIF SAYA

MashaaAllah. Ini adalah kata yang dapat saya lontarkan saat ini.

Pertama kali saya mengenal karya pasangan tersebut adalah dari buku yang diangkat ke layar lebar. Ya, 99 Cahaya di Langit Eropa. Sekali menonton filmnya membuat saya berdecak kagum. “Mereka penulis berkualitas”, ujar saya. Saya yang jatuh cinta pada tontonan pertama, membuat saya penasaran ingin membaca buku-bukunya. Kemudian, lahirlah buku ini. Nuansa yang dihadirkan kali ini cukup berbeda dari dua karya dari sejoli ini yang telah saya baca (99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika). Saya agak curiga. Dari cover bukunya pun terlihat jelas, bahwa cerita yang akan ditampilkan 180˚ berbeda. Membuat saya semakin penasaran. Meski sinopsisnya sudah berseliweran di jagat maya dan saya telah mengetahui garis besar ceritanya bagaimana.

Cukup mencengangkan! Baru saja membaca halaman pertama berhasil membuat air mata ini merembes, mengalir deras. Sakit hati turut menghujam sukma. Kisah yang disuguhkan cukup berliku. Tapi dari membaca buku ini semakin menyadarkan saya, bahwa pada hakikatnya seperti itulah pernikahan. Saling menyeimbangkan. Di kala yang satu dirundung kesedihan, bagaimana respon pasangannya agar mampu menghibur belahan jiwanya tersebut. Tidak saya ragukan, benar-benar banyak sekali hikmah yang saya pelajari dari buku ini. Sedia tisu sebelum membaca ya! Banjir air mata sekaliiii! MashaaAllah.

Hats off untuk pasangan ini. Mbak Hanum, yang dengan tegarnya melawan ketakutan-ketakutannya, dan selalu berusaha untuk bangkit dan bangkit lagi. Mas Rangga, seorang pasangan yang benar-benar supportif, jenaka dan menjaga agar perasaan sang belahan jiwanya senantiasa bahagia. Semoga dengan hadirnya buku ini dapat menguatkan Hanum-Hanum lainnya dan menciptakan pria-pria tangguh nan suportif seperti mas Rangga, di kala Hanumnya membutuhkan bahu untuk bersandar dan menangis, ia tiba tanpa diminta. Belum lagi pertemuan pertama mereka yang luar biasa. Kesan pertama yang benar mengesankan bagi para pembacanya.

Jangan pula setelah membaca buku ini berharap memiliki pasangan bagai mas Rangga maupun mbak Hanum, jika kamu bahkan tidak mau menerima dan melewati kenyataan yang tak mudah seperti yang telah mereka lalui. Jangan lantas meningkatkan standar pasangan yang ingin dimiliki ya, tapi tinggikanlah standar dan kualitas diri agar senantiasa siap dan mampu menjalani bahtera rumah tangga yang bahkan lamanya melebihi waktu kita tinggal bersama kedua orangtua.

Highly recommended!

Share:

Tuesday, 28 April 2020

Ustadz Felix Siauw - Ngaji Jomblo : Biar Nggak Nyesel Setelah Nikah


Artikel ini berisi ringkasan materi atas ilmu yang diperoleh, dengan harapan membagikannya menjadikan amal jariyah. Allahumma aamiin.
Do’akan semoga istiqamah, ya!

Seri Ngaji Jomblo
" Biar Nggak Nyesel Setelah Nikah "
Oleh: Ustadz Felix Siauw


Seringkali muncul pertanyaan, bagaimana cara kita untuk mencari seorang pasangan?

Sebelumnya dikisahkan tentang seseorang yang diminta untuk mencari sebuah kayu terbaik di hutan. Syaratnya hanya satu, yakni harus selalu jalan ke depan, tidak boleh kembali berbalik ke belakang. Ketika ia memasuki hutan tersebut, ia menemukan sebuah kayu yang cukup bagus. Namun ternyata ia tidak memilih kayu tersebut untuk dibawa kembali, melainkan berpikir,
“Ini baru permulaan, disini aja sudah ada kayu yang bagus. Mungkin di depan ada lagi kayu yang lebih baik dari ini”, tukasnya.
Ia meninggalkan kayu tersebut, kemudian kembali berjalan ke depan. Ia menemukan kayu yang lebih bagus dari kayu pertama, namun dengan alasan dan harapan yang sama, ia memilih untuk mengabaikan kayu tersebut. Hal tersebut terus ia lakukan hingga tibalah di tengah hutan. Setelah di tengah hutan, ia berujar pada dirinya,
“Wah disini aja kayunya sebagus ini. Lebih cerah warnanya, lebih kokoh. Pasti didepan ada yang lebih bagus lagi”.
Betul memang didepan ia temui kayu yang lebih bagus. Namun dengan dalih yang sama ia terus berjalan ke depan hingga tak terasa dia telah sampai ke ujung hutan, ia berpikir,
“Baiklah, kali ini, kalau saya mendapatkan kayu seperti kayu kedua yang saya temukan, akan saya ambil dan bawa pulang.”.
Namun ternyata sampai ke luar hutan, kayu yang ada tidak sebaik kayu-kayu sebelumnya, sehingga ia tidak dapat membawa kayu ke rumahnya.

Hal tersebut menggambarkan orang yang mau menikah namun tidak tahu alasan dan tujuan menikah. Terus-menerus berharap, mungkin nanti di depan ada yang lebih baik. Hingga akhirnya nanti menyesal akan harapan-harapannya yang tidak pasti. Karena manusia senantiasa berada diantara harapan dan penyesalan.
Bagaimana caranya agar tidak panjang angan-angan dan menyesal?
1.   Perjelas alasan menikah, atas dasar apa menikah, dan apa yang ingin dilakukan setelah menikah maka semuanya akan semakin mudah.
2.  Orang seperti apa yang akan saya perlukan. Tidak perlu mencari yang sempurna. Namun jika terdapat kelebihan misal cantik / tampan, itu sebagai bonus. Bagaimanapun memilih adalah tentang kecenderungan.
3. Jangan keras kepala hanya inginkan si dia. Jika seperti itu, maka nafsu yang terlibat disana, bukan syariah. Jika inginkan si dia untuk menggapai ridha Allah, maka tidak akan ada rasa kecewa jika takdir berkata lain.

Wallahu ‘alam bissawab.


Share:

Monday, 27 April 2020

Surat untuk Konawe

Yang selalu terbesit dalam benak adalah bagaimana caranya agar aku dapat membantu memberikan perubahan kepada sekitar, meski hanya dengan sedikit saja yang dapat kuberikan. Ya, semoga dengannya menjadi wasilah bagiku di akhirat kelak. Hingga tibalah suatu hari seorang teman saya yang sedang bertugas di Konawe mengatakan bahwa kita dapat menulis surat untuk anak-anak disana. Saya sangat senang! Merasa bahwa ini adalah kesempatan saya.
Berikut adalah surat yang saya kirimkan.

Mohon maaf karena saya bermaksud untuk membuat surat tersebut nampak menarik untuk dibaca, namun tampaknya saya kurang berbakat dalam hal mendesain. Hehehe



Lembar pertama

Lembar kedua
Lembar ketiga
Lembar keempat
Lembar terakhir

Belum banyak yang dapat kulakukan bagi generasi penerus bangsa, namun semoga sedikit dariku ini bisa memercikkan api semangat pada jiwa mereka.
Allahumma aamiin.

A little things matter.






Share:

Sunday, 26 April 2020

Masih pantaskah kami, duhai Aleppo?


“Udah jam 9 malem nih, tidur duluan ah ya!”, ujarku pada kawan sekamarku.
“Iya.”, jawabnya lembut sambil terus menatap layar telepon genggamnya.
Perkiraanku, tepat sepuluh menit setelah aku mematikan lampu kamar, kemudian tergantikan dengan cahaya rembulan yang menyusup malu-malu lewat tirai, kawanku juga turut bergegas mengistirahatkan seluruh otot-ototnya yang cukup mengencang, setelah seharian beraktivitas di musim panas terik kota metropolitan Turki, Ankara.
“Kriiiiiiiiiiiiiinggggg...”
Telepon genggamku berdering dengan sangat kencang dan membuatku terperanjat. Dari balik telepon aku mendengar sebuah keresahan dan kegelisahan yang mendalam, diiringi dengan pertanyaan bertubi dan emosi yang meninggi,
“Wits, kamu lagi apa?”, tanyanya buru-buru.
“Ehhh.... Lagi ti...”, belum lengkap aku menyelesaikan kalimatku.
“Jangan bilang kamu lagi tidur?! Wits!!! Diluar lagi ada rame-rame! Bisa-bisanya kamu tidur?”, pertanyaan yang cukup tendensius terlontar dari mulut kakak kelasku.
“Eh iya, ada apa ini? Biar aku ke kak Jes.”, jawabku seketika tersadar.
“Yaudah. Kontak terus ya kalau ada apa-apa. Assalamu ‘alaikum.”.
Aku masih agak bengong, masih sedikit bergetar, bukan karena dikagetkan dengan telepon yang mendadak di tengah malam. Tapi karena hingar bingar yang tercipta dari luar. Kulihat jam yang terpampang jelas di hape-ku -----pukul sebelas malam-----. Apa yang terjadi diluar sana?
“Maw.. bangun! Itu diluar ada ribut-ribut. Bangun dulu yuk, eh. Cepet!”, ujarku meraih badannya yang masih terbujur kaku dibalik selimut kegelapan malam.
Aku bergegas menemui kakak kelasku yang sedang duduk termangu menatap nanar ke layar komputer lipatnya.
“Kudeta.”, ujarnya.
“Hah? Apa kak?”, tanyaku tak mengerti.
“Iya, lagi terjadi kudeta. Tentara Turki sedang berusaha mengambil alih pemerintahan, masyarakat mengamuk, semua kacau.”, jelasnya terpatah-patah.
“Tapi kenapa? Nga....”, belum sempat aku menyambung kata.
Debum!!!!!!!!
Terdengar sebuah debuman sangat keras yang cukup menggetarkan jendela-jendela flat kami. Dentuman saling bersahutan satu dengan yang lainnya. Dilansir bahwa beberapa oknum telah berulah.
Sonic boom. Itulah dentuman yang berkali-kali kami dengar. Cukup membuat jantung serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Sonic boom adalah suara yang berasal dari gerakan suatu benda yang kecepatannya melebihi kecepatan suara. Biasanya, suara-suara tersebut dihasilkan oleh pesawat yang berkecepatan tinggi, contohnya supersonic. Sebelum mengangkat kaki ke atas ranjang sungguh aku telah curiga dengan pesawat-pesawat yang terbang sangat rendah dan terdengar sampai flat kami ini.
Araya bi gidelim1!”, sahut teman Turki kami, yang artinya ayo pergi ke lorong.
Seraya memberikan instruksi kepada kami agar tidak berdekatan dengan jendela. Sonic boom itu lagi-lagi terdengar, kini diikuti dengan shalawat yang terdengar hawar-hawar dari pengeras suara di masjid. Tak lama, terdengar sebuah pengumuman dari pengeras suara tersebut. Berisi ajakan dan himbauan kepada seluaruh masyarakat untuk berbondong-bondong turun ke jalan, simbol perlawanan atas upaya penaklukan yang dilancarkan oleh beberapa anggota tentara Turki. Lalu, sonic boom kembali terdengar.
Seketika itu aku langsung menghubungi keluargaku, untuk sekedar mengatakan aku baik-baik saja atas kekeacauan yang sedang terjadi di tanah ranntau ini, serta meminta maaf atas segala salah, dan memasrahkan diri atas apa yang sedang dan akan terjadi. Dengan harapan, jika terjadi sesuatu padaku, maka keluargaku sudah mengikhlaskannya sedari waktu itu. Jantungku terus berdetak dengan cepatnya.
Tiba-tiba sekelibat ingatan akan kejadian dan kejahatan kemanusiaan di Aleppo membayangiku. Air mata ini tak terbendung lagi dari pelupuk. Ia menjatuhkan diri. Bukan karena aku takut akan apa yang terjadi. Tapi pikiranku saat itu hanya tentang aku disini yang baru mendengar sonic boom dan beberapa keributan saja sudah sangat kocar-kacir dan ingin kembali ke tanah air. Apalagi saudara kita disana, yang sehari-harinya mendengar dentuman bom. Mayat berjatuhan didepan mata. Gedung-gedung yang sudah tidak seperti sedikala. Segala fasilitas yang sudah tak berdaya. Tak ada tempat lain yang dapat mereka sebut sebagai ‘rumah’. Karena rumah-rumah mereka lah yang diluluh-lantakkan oleh manusia-manusia tidak bertanggung jawab. Tidak. Tidak bertanggung jawab sangatlah kurang sesuai, keji. Ya, rumah-rumah mereka diluluh-lantakkan oleh manusia-manusia yang keji. Tidak beradab.
Lalu, bagaimana dengan kami? Masih pantaskah kami mengaku-ngaku saudaramu, Aleppo? Masih pantaskah kami yang sering mati denyut simpati dan empatinya mengaku-ngaku saudaramu, Aleppo? Masih pantaskah? Masih pantaskah Allah SWT menghitung setiap tetes air mata kami yang terjatuh untukmu, Aleppo? Masih pantaskah?
Semoga tak pernah terlambat bagi kami untuk menyuarakan suara kalian yang tak pernah didengar. Semoga tak pernah terlambat bagi kami untuk menghidupkan kembali roh-roh yang mengaku bernama simpati dan empati di hati saudara-saudara kami. Semoga tak pernah terlambat bagi kami untuk memikirkanmu, duhai Aleppo.
Maafkan atas hati yang sempat tertutup debu. Atas mata yang tertutup pembatas tak berwujud. Semoga masih ada kesempatan bagi kami untuk menyelamatkanmu, Aleppo.
***

Pernah dikirimkan untuk berkontribusi dalam buku Antologi Cinta Untuk Aleppo*
29/12/2016 16:32 TRT
*Namun tidak ada informasi lebih lanjut.

Share:

Saturday, 25 April 2020

BEDUG tanpa SAHUR


“Dug..dug..dug.. Sahuuurr...sahuur...”
Senyum simpul dari bibir tipisku disela ketiadaannya cahaya malam itu, membuatku tak lupa untuk senantiasa mengucap syukur pada Sang Maha Kuasa atas masih diberikannya usia. Alhamdulillaaaaahhhh….
***
Brukk!!!
“Ah hanya bunga tidur.”, ujarku seraya menempas kesedihan.
Ini adalah Ramadan ketigaku di tanah orang. Sebuah negara yang keindahannya selalu dielu-elukan oleh siapa saja yang mendengarnya. Negara yang pertama kali membudidayakan bunga tulip, bunga berwarna-warni nan cantik yang memiliki kelopak bunga yang ramping dan lancip, serta memiliki jarak antar helai yang cukup sempit.
Belanda? SALAH BESAR. Aku tidak sedang berdiaspora ke negara kincir angin tersebut, melainkan Turki. Dalam benak beberapa orang masih sangat mungkin tertanam sebuah paradigma bahwa bunga tulip itu berasal dari Kompeni. Faktanya, orang-orang Turki lah yang pertama kali membudidayakan bunga ini pada masa pemerintahan kekhalifahan Ustmaniyah, lebih tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Ahmed III (1703-1730), sampai-sampai masa itu disebut sebagai “Era Bunga Tulip”. Lalu, mengapa bunga tulip bisa tersohor dari Belanda? Karena bunga-bunga tulip tersebut dibawa ke Belanda oleh kapal-kapal yang berasal dari Istanbul, dan dengan segala kelihaiannya, Kompeni membudidayakan dan mengekspor bunga tulip secara meluas. Bahkan, tulip menjadi salah satu komoditi andalan Negeri van Oranje tersebut!
Tiga kali menemui Ramadan di perantauan memang benar dapat memberikan indikasi yang sangat berbahaya bagi yang mengalaminya. Homesick menggejala, baper ----istiah yang digunakan oleh "remaja akhir zaman" yang merupakan sebuah akronim dari bawa perasaan---- merajalela, dan terkadang terasa menggigil sepanjang malam (ada survey yang mengatakan bahwa orang yang kesepian cenderung selalu merasa kedinginan).
Sejujurnya, tahun lalu aku sempat berpulang ke tanah air, meski hanya sekedar untuk melepas rindu akan masakan ibu ataupun demi mencium debu kampung halaman. Separuh Ramadan kemarin kuhabiskan di bumi pertiwi, hingga membuatku termenung, mengingatkanku akan sesuatu,
“Aku rindu mendengar bedug sahur..”, ujarku dengan air mata yang terbendung di pelupuk.
Huh..
Kulirik jam yang berdetik dari arloji-ku, ah baru pukul satu malam.
Kebanyakan orang disini berusaha untuk tidak terlelap hingga waktu sahur tiba. Imsak yang diikuti dengan adzan shubuh sekitar pukul 03.29 EET dan fajar yang terbenam sekitar pukul 20.29 EET ini mengharuskan umat muslim disini untuk menahan dahaga, lapar, serta hawa nafsu selama lebıh kurang 17 jam lamanya. Belum lagi terik matahari yang senantiasa menemani kemanapun kaki ini melangkah, menambah cobaan bagi siapapun yang melaksanakan titah-Nya.
Aku terbiasa mempersiapkan sahur sekitar pukul dua dini hari. Itu artinya masih ada satu jam tersisa hingga waktunya tiba. Kunyalakan handphone-ku untuk sekedar membaca artikel-artikel yang telah kusimpan secara offline yang kuanggap menarik. Akupun beralih bertadarus akan kalimat-kalimat-Nya. Ketika sedang tenggelam bersama kalam-Nya, sebuah suara mengalihkan perhatianku. Malam yang panas menuntutku untuk membuka lebar jendela kamarku 24/7. Dan suara itu benar-benar menyelusup kedalam kamarku tanpa filter.
“Dug..dug dug dug..dug dug..”, suara drum ditabuh saling bersahutan.
Aku menyembulkan kepalaku diantara tirai-tirai yang menutupi jendela kamarku, mata ini mencoba mencari sumber suara. Menatapnya nanar. Kini tak mampu kubendung lagi…
“Disini juga ada bedug sahur…..meski tanpa teriakan sahur”, ucapku pelan seraya menghapus air mata.
***

Tulisan ini pernah saya kirimkan ke sebagai bentuk kontribusi PPI Turki dan PPI Sudan
30/06/2016 22:01 TRT
Disunting kembali 21/04/2020 17:50 WIB

Share:

Friday, 24 April 2020

"Berkarya!" adalah jawabnya


"Berkarya!" adalah jawabnya

Ayah dan Ibu pernah berkata,
Indonesia adalah tanah yang kaya
Kaya akan hasil pangannya
Hasil lautnya
Keindahan alamnya
Budayanya
Bahkan hasil kerajinan tangannya

Terkadang aku bertanya
Apakah Indonesia terlalu kaya?
Hingga akhirnya
Penebangan liar dimana-mana
Kebakaran hutan merajalela
Pengeksploitasian membabi buta
Dan, orang asing yang jadi bos protek-proyek besar kita!

Miris.. Miris hati ini
Ingin sekali mengubah negeri ini
Namun bagimana lagi?
Kita tak lebih dari seorang mahasiswi
Hanya potongan kecil dari bumi pertiwi

Tidak! Siapa bilang pelajar tak bisa berbuat apa-apa
Kita bisa mengubah negara yang kita cinta
Bagaimana?
"Berkarya!" adalah jawabnya
Karena….
Karya berbicara lebih tajam dan nyata




Puisi ini pernah saya kirimkan untuk LOMBA CIPTA PUISI FAM
14/01/2015 22:48 TRT
Share:

Ust. Salim A. Fillah - Iman Sebelum Al-Qur'an


Artikel ini berisi ringkasan materi atas ilmu yang diperoleh, dengan harapan membagikannya menjadikan amal jariyah. Allahumma aamiin.
Do’akan semoga istiqamah, ya!

"Iman Sebelum Al-Qur'an"
Oleh: Ustadz Salim A. Fillah

 

🎵 Iman tak dapat diwarisi 🎵
Sunan at-tirmidzi dalam suatu kaidah dalam bukunya, “Iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun, menguat dan melemah. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiaatan.”. Sehingga, cara menjaga iman adalah dengan ketaatan. Ini merupakan lingkaran malaikat, seperti diilustrasikan sebagai berikut.
 
Circle flow lingkaran malaikat
Courtesy: 
https://wfawitsqa.blogspot.com/

Begitu terus seharusnya. Tetapi sebagai manusia terkadang alpa, futur, sehingga ketika seperti itu, minimal kita tetap beribadah dengan tidak kehilangan yang fardhu (wajib) nya.

Cara menjaga fardhu, diantaranya:
1.    Menjaga komitmen kepada Allah SWT
2.    Bersama orang-orang yang benar / berada di lingkungan yang baik
     Karena ketika bersama orang, setidaknya ada yang mengingatkan, berbeda jika sendiri.
3.     Al-qur’an menyuburkan / menjaga keimanan
     Dari Ibnu Mas’ud, “Kami dahulu belajar iman dulu, baru al-qur’an turun. Maka iman kami menjadi kuat karena al-qur’an.”. Al-qur’an adalah penyembuh berbagai penyakit di dalam jiwa, misal sombong, dengki, tamak, rakus. Apa yang mau dipersombongkan? Ibadah? Tentu saja sudah kalah dari Iblis yang 4000 tahun berdiri, 4000 tahun rukuk, 4000 tahun sujud, itupun berakhir su’ul khatimah. Bahkan, nabi Sulaiman A.S. yang bahkan Jin saja tunduk padanya, berdo’a selalu berdo’a agar selalu dapat bersyukur pada-Nya.

Wallahu ‘alam bissawab.


Share:

Thursday, 23 April 2020

Buat Lu: Sani! (Jeritan Hati Seorang Sahabat)



“Nanda! Lu gak bisa ya pergi kemana-mana sendiri? Maunya ditemenin mulu.”, ujar Sani ketus.
Gue Nanda, 21 tahun, Mahasiswi Perfilman tahun terakhir, akhir-akhir ini gue udah terbiasa ngedenger omongannya Sani yang suka celetuk gitu aja. Kadang tanpa mikirin perasaan si lawan bicara. Gue gak tau, dari belahan bumi mana anak itu lahir, bisa jadi ampe kayak begitu. Yang jelas itu anak, kadang bikin gue keki, geleng-geleng kepala sendiri ampe puyeng.
Sebenernya Sani itu anak yang cerdas, pintar, cantik, baik, dan yang terpenting care sama sohib-sohibnya. Tapi, semua berubah semenjak negara api menyerang, eh, maksud gue semua berubah semenjak ada cowok yang berhasil mencuri hatinya dan merobohkan benteng pertahanan yang ia buat dengan susah payah dan sangat kuat.
Sebelum bareng sama si doi, Sani sering banget hangout sama gue. Kalau diibaratkan tuh ya, kita itu kayak sepatu deh! Yang gak mungkin jalan masing-masing. Pasti kudu ada sepasang. Gue cerita kayak gini bukan karna gue iri soalnya Sani udah ada yang ngegaet. Tapi ini udah keterlaluan. Kelewat batesan. Menyalahi hak asasi persahabatan yang udah kami berdua ikrarkan dibawah pohon cabe dibelakang rumahnya mpok Sari, yang cerewetnya minta ampun dah!
Emang semenjak sama si doi, Sani jadi rajin masak, dan makin cewek banget. Masakannya? Hmmm… Jangan ditanya. Maknyus dah! Kalah deh itu hotel bintang-bintang sama masakannya sohib gue yang satu ini. Yaaaa….. Itu awalnya doang sih, si Sani rajin masak makanan enak, terus gue disuruh jadi tester nya dulu sebelum mendarat di lidah sang pujaan hati. Gue mah seneng banget lah disuruh begituan. Makan enak dan gratis. Yuhuu. Eh, semakin lama hubungan mereka berjalan, Sani kayaknya lupa punya sahabat macem gue. Ketika dia masak, gue dikasih gorengan sebiji,  lah doi-nya? Sewadah. Itu juga hasil gue pasang wajah mupeng (muka pengen) aja di hadapan dia.
Sani bener-bener udah gak punya lagi waktu ama gue. Buat sekedar ngupil bareng juga kagak ada (ups Sorry!). Suatu hari gue ngajak dia buat makan diluar, karena di kost-an emang lagi kagak ada apa-apa dan gue lagi males berjibaku di dapur.
“San, maksi (makan siang) yuk! Lu yang traktir gue deeh. Heheh”, ajak gue sembari cengengesan.
“Lu pergi aja sendiri, gue mau makan bareng ama yayang gue nih.”, jawab dia lempeng.
“Lu beneran ya….”, ujar gue sungkan buat ngelanjutin.
“…”, dia cuma asik duduk sms-an sembari ketawa-ketiwi kayak mak lampir digelitikin bulu ayam.
***

Kali ini gue ngobrol santai ama Sani di kost-an.
“Eh, gue belum pernah ke taman jomblo loh. Gimana sih caranya kesana?”, tanya gue penasaran sembari ngarep dia mau nemenin gue kesana.
“Oh itu mah gampang. Lu tinggal jalan aja dari yang tulisan DAGO ampe sono. Pergi aja lu sendiri kesono, rame deh.”, jawab Sani super duper singkat.
Jleb! Biar gue tekenin lagi, Sani bilang, “…pergi aja lu sendiri kesono…”, sendiri! Oke cukup tau. Semenjak itulah gue kalau kemana-mana langsung cabut aja sendiri. Kagak pernah ajak-ajak orang.
San.. Kalau lu mau tau, bukannya gue gak suka melakukan apa-apa ataupun pergi kemana-mana sendiri. Tapi kalau sama lu (sahabat gue), bukankah hal sederhana bakal kerasa lebih menyenangkan?
***


Tulisan ini pernah saya kirimkan ke basabasi.co

02/09/2015 21:38 TRT
Disunting kembali pada 21/04/2020 17.31 WIB


Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam setiap postingan artikel yang saya buat.
Semoga dapat diambil manfaatnya..



Share:

Wednesday, 22 April 2020

Persahabatan dibawah janji Illahi


Halo perkenalkan, namaku Dhila. Aku adalah putri kedua dari dua orang bersaudara. Ya, aku si bungsu. Namun, tidak seperti anak bungsu pada umumnya, aku mandiri dan tidak manja, loh! Aku berani jamin deh. Alhamdulillah, aku terlahir dari keluarga yang memegang erat agama Islam. Jadi, kurang lebihnya aku sedikit memahami tentang Islam. Aku adalah mahasiswa tingkat tiga semester ganjil jurusan Statistika di salah satu Universitas ternama didaerahku. Sudah cukup kan berkenalan denganku?
Inilah hariku.
“cuit…cuit…cuit…”
Kicauan burung yang bertengger dekat jendela kamar di pagi hari ini membangunkanku dari tidur lelapku.
“Alhamdulillah. Sudah pagi.”, ujarku dengan penuh rasa semangat.
Tiba-tiba saja aku merasa ada yang kurang dipagi hari yang indah ini.
“Astagfirullah. Jam berapa ini? Duhhh..kesiangan shalat shubuh kan, Dhil!! Cepetan shalat, cepetan shalat.”
Lalu aku lekas mengambil air wudhu dan shalat shubuh. Tak peduli itu jam berapa, yang penting aku tak mau meninggalkan shalatku. Aku tahu, yang aku lakukan itu tak sepenuhnya benar, namun apa mau dikata, daripada tidak samasekali, kan?
Seusai shalat, aku bersiap-siap untuk bergabung sarapan bersama dengan keluargaku yang sederhana ini. Aku menuruni tangga untuk mencapai ruang makan keluarga kami.
“Selamat pagi, anandaku tersayang.”, sapa ibuku dengan penuh senyuman kehangatan, sembari menyiapkan sarapan untuk kami.
“Hari ini hari Sabtu, kamu ada acara gak, nak?”, tanya ayahku yang sedang asyik membaca koran pagi.
“Hmm…Rasanya aku punya janji. Oh, iya temanku dari luar kota mau datang kemari, mau menginap disini, boleh kan? Dhila juga mau ajak dia jalan-jalan disini.”, jawabku.
Tiba-tiba datang sesosok laki-laki bertubuh tambun dengan rambut agak keriting dan agak acak-acakan seperti belum disisir. Siapa lagi? Tidak lain tidak bukan, dia adalah kakak laki-lakiku, Ari.
“Ciye..asik nih yang temennya mau datang. Dari luar kota lagi! Cantik gak? Boleh dong, dikenalin sama kakak.”, timpalnya.
“Wuuh… maunya!!”, jawabku ketus.
***

Seusai sarapan aku bergegas kembali ke kamarku yang nyaman. Kutengok jam yang mengalun berdenting.
“Jam 8? Waaah.. harus cepat-cepat ini. Dhila kamu tuh ya..”, ujarku mengomeli diri sendiri.
Ya, ketika melakukan kesalahan ataupun lalai, aku terbiasa memarahi diri sendiri. Dan berharap keesokannya takkan terulang lagi. Namanya manusia, tidak 100% seperti apa yang diinginkan. Hehehe..
Janjiku bertemu dengan Lestari di stasiun kereta pukul 9 pagi ini, tak ingin aku hancurkan. Seusai mandi dan bersiap, aku dengan mengendarai motor bebek kesayanganku melesat ke stasiun Kereta Api di kawasan Cimanuk.
“Pukul 09.05 WIB, aduh aku terlambat nih. Sekar dimana ya? Jangan-jangan saking lamanya dia nunggu dia balik lagi deh ke Surabaya. Aduh gimana nih ya Allah? Sekar dimana sih kamu?”, bisikku pada diri sendiri.
“DORR!!! Dhilaaaaa…. Finally, kita ketemu lagi Dhil. Kangen kamu pake banget deh Dhil.”
“Duh.. kamu emang paling bisa ya ngagetin orang, tuh! Huh!”, aku berpura-pura marah padanya.
Sekar adalah temanku sewaktu di SMA Nusa Bangsa dulu. Kami bukan sekedar teman, aku merasa dia sudah seperti saudaraku sendiri. Kami memang dekat, sangat dekat. Sekar lebih memilih melanjutkan kuliah perfilman di Surabaya sana. Semenjak lulus SMA, kami berpisah. Raga boleh berpisah, namun hati tetap satu, kami tetap menjaga silaturahmi kami. Pernah pula aku mengunjungi dia di Surabaya, karena memang waktu itu ada saudaraku yang melangsungkan pelaminan di Surabaya.
“Yuk antar aku ke Otista.”, Sekar mengangkat bicara.
Otista itu adalah nama kerennya dari Otto Iskandar Dinata. Sebuah daerah di kotaku tecinta ini, Bandung.
“Ngapain ke Otista? Mau langsung jalan-jalan? Apa gak lebih baik simpan dulu barang-barang kamu, baru kita jalan?”, tanyaku penuh keheranan.
“Aku gak mau nginep ditempat kamu, ah! Ntar abang kamu gangguin aku lagi. Hehehe. Bercanda, Dhil. Keluarga sepupuku yang dari Jakarta rumahnya di Otista. Mereka baru pindah beberapa pecan lalu. Aku juga diamanatin buat nginep disana aja sama papa dan mamaku.”, ujarnya menjelaskan.
“Oh..”, jawabku singkat tanda aku mengerti.
Tanpa pikir panjang, langsung kutancap gas. Melesatlah kami ke Otista.
***

Aku tak pernah tahu Sekar punya sepupu laki-laki. Rafli namanya, tubuhnya semampai menjulur ke langit bak tangga untuk manjat pohon. Penampilannya rapi dan sopan, juga cukup menawan. Hus, istigfar!
“Kenalin ini bestfriend aku, Raf, namanya Dhila. Dhil, ini sepupu aku Rafli, ganteng kan? Hahaha. Rafli ini satu kampus loh sama kamu, Dhil. Dia satu tahun diatas kita, gak tau tuh makannya apaan dia pinter banget, SD sampai SMA kerjaannya dapet kelas akselerasi melulu. Makanya, jangan aneh ya kalau dia panggil aku mba.”, Sekar menjelaskan seluk-beluk sepupunya itu.
“Salam kenal. Aku Dhila, tahun ketiga jurusan Statistika.”, aku berusaha berkenalan dengan sesopan-sopannya.
“Aku Rafli. Jurusan Teknik Komputer. Tahun terakhir.
Eh, mba Sekar, makan dulu yuk. Terus nanti aku kenalin sama dua orang temanku.”, ujar Rafli yang kemudian mengacuhkanku, seolah aku tak ada.
“Mba udah makan, makasih Raf. Sekarang mba pengen beres-beres dulu terus mau jalan-jalan sama Dhila. Kamu sama teman-temanmu mau ikut?”, tawar Sekar kepada Rafli yang tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu.
Aku menatap Sekar berharap telepati hadir diantara kita. Namun, tidak, Sekar tidak memahamiku saat itu. Satu jam kemudian kami semua bersiap untuk jalan-jalan ke sebuah taman rekreasi. Berbekalkan makanan lezat yang dibuat oleh ibunya Rafli, kami berlima berangkat dengan mobil milik Rafli. Oh iya, hampir saja lupa. Kedua temannya Rafli bernama Fahmi dan Aditya.
Aku tidak berekspektasi terlalu banyak mengenai jalan-jalan kami hari ini. Namun, aku merasa ada yang berbeda. Sikap cuek Rafli memang tiada tara. Tapi tidak tahu mengapa, hati ini sedikit bergetar ketika berada didekatnya. Oh, Rafli….. Tidak!! Aku belum mau jatuh cinta. Ini belum saatnya. Jalanku masih panjang, banyak hal lain yang lebih penting yang harus kupikirkan.
Hari itu benar-benar indah, kami makan bersama dan berfoto bersama. Kuberikan flashdisk Toshiba 4GB yang berwana hitam milikku itu untuk meng-copy semua foto yang mengukir kenangan indah di hari itu. Entah aku yang berprasangka lebih atau apa. Kuakui setelah hari itu, Rafli tak pernah lekang dari pikiranku. Sungguh menggelikan! Tidak suka dengan keadaan seperti ini. Aku takut semua hanya anganku saja.
Kupandang lekat-lekat foto-foto kami berlima itu. Di beberapa foto kami berdiri berdampingan. Aku yang memiliki postur tubuh sedikit lebih tinggi daripada Rafli itu terlihat sangat menggelikan jika disandingkan berdua. Tidak! Khayalanku teramat jauh. Sudah melampaui batas. Kuputuskan untuk tidak menghiraukan getaran yang aku rasakan di hari itu. Mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin karena selama ini aku jarang sekali berdekatan dengan lawan jenis sedekat itu. Ya, itu benar. Mungkin karena diluar kebiasaanku, jadi muncul perasaan diluar biasanya.
Hari demi hari berlalu, tak pernah kuhiraukan perasaan itu merajai kalbu. Kuacuhkan semua rasaku. Karna aku tahu pasti, perasaan ini salah, tak sebaiknya ada di waktuku sekarang ini. Jalanku masih panjang, banyak hal yang belum kutempuh. Hal sekecil ini tak boleh melenakanku.
Sayangnya, tekadku yang kuat itu berdiri tegap tanpa tameng penghalang. Sedikit sedikit aku mulai goyah. Setiap paginya aku selalu bertemu Rafli, tak bisa kuurungkan, rasanya ingin meledakkan perasaan ini. Aku berusaha menahan semuanya agar dalam kendali. Aku ingat Sang Illahi, memohonkan petunjuk untuk rasa yang membuatku gundah gulana berhari-hari. Hingga akhirnya kuputuskan, bersikap seperti biasa saja. “Ya!! Aku pasti bisa…”, ujarku meyakinkan diri sendiri.
***
Hingga tibalah di suatu hari yang cerah. Angin sepoi menyapu pipi ini, kami sedang terdiam di halaman kampus kami. Benar-benar tanpa sepengetahuanku Rafli ada disitu juga. Rasanya ingin melarikan diri dari tempat itu. Namun, aku bukanlah kucing yang takut dikejar anjing, aku berusaha biasa saja, seolah tidak menyadari kehadirannya. Lama kelamaan, terdengar suara langkah kaki mendekat, ya suara sepatu kets yang tidak asing di telingaku. Siapa lagi, kalau bukan Rafli. Dia mendekat, semakin mendekat. Jantungku berdetak cepat, rasanya ingin pergi dari sini L
“Dhila, sebenarnya aku suka padamu, bukan sejak awal kita berkenalan. Tapi semenjak awal masuk kuliah. Sadarkah kamu? Aku selalu memerhatikan gerak-gerik dirimu. Pertama kali aku melihatmu, biasa saja, namun seiring berjalannya waktu aku jatuh hati padamu. Kamu tau kenapa? Kamu sosok wanita yang shalehah, namun tidak mau terlihat lemah, itu yang aku kagumi pada dirimu. Kamu itu berbeda. Sangat berbeda. Kurang lebih tiga tahun aku memendam rasaku ini padamu, Dhil. Jangankan untuk menyatakan perasaanku padamu, untuk sekedar menyapa saja aku malu. Sekarang aku tlah mengumpulkan semua keberanianku, aku sudah menyatakan perasaanku yang sesungguhnya padamu dan sekarang aku ingin menanyakan sesuatu padamu, Dhila maukah kamu menjadi kekasihku?”, tanya Rafli, setelah ia panjang lebar mengungkapkan perasaannya kepadaku.
Aku terdiam. Tenggorokanku seperti tercekat beberapa saat.
“Jujur, aku terkejut dan tersanjung, aku tak menyangka kamu menyukaiku selama ini. Dan sebenarnya aku juga memiliki perasaan yang sama padamu. Diawali pada saat kita berlima berjalan-jalan bersama. Tapi, aku ragu, Raf, aku takut. Setiap harinya aku berusaha menghilangkan perasaanku yang aku anggap salah ini. Sebenarnya perasaan ini tak salah, tapi kamu tahu kan didalam Islam tidak ada istilah pacaran? Aku takut, aku takut sama Allah, Raf. Aku harap kamu mengerti, Raf. Maaf L”, jawabku tanpa ingin sedikitpun menyakiti hatinya.
“Aku mengerti maksudmu, Dhil.”, senyum kecut tersungging di wajah rupawan Rafli.
“Mmmm.. Kali ini aku yang mau menyatakan sesuatu, boleh kan? Maukah kamu menjadi sahabatku, Rafli?”, tanyaku dengan suara agak bergetar.
Bisu tak ada jawaban, senyuman mengiris merekah dari bibir Rafli. Isyarat ia bersedia. Hati ini pun turut teriris namun merasa lega. Harapku, semoga inilah yang terbaik bagi kami. Persahabatan dibawah janji Illahi.
***

“Maukah kamu menjadi sahabat hidupku sampai akhir hayatku, Rafli.”, ujarku didalam hati, tak berani aku ungkapkan. Inilah yang sesungguhnya terbisik didalam hati, yang tak mampu, tak mungkin, dan belum saatnya untuk diungkapkan.
Ya Allah, jika dia jodohku dekatkanlah kami dimasa yang engkau ridhai dengan caraMu yang engkau ridhai pula. Namun jika dia bukan jodohku, maka berikanlah ia kebahagiaan dan berikanlah jodoh yang shalehah dan terbaik yang akan menemaninya hingga akhirat kelak.
“Nantikanku di batas waktu, Raf”, bisikku lagi didalam hati.

Lantunan lagu Edcoustic yang berjudul Nantikanku di Batas Waktu menemaniku seraya menutup hari itu.
***

“Aku akan selalu menunggumu Dhila, aku akan terus bersamamu hingga penghujung hidupku. Aku tahu, kamulah yang terbaik untukku. Kamulah tulang rusukku yang hilang.”, bisikan hati Rafli diam-diam.
***



Tulisan ini pernah saya kirimkan ke basabasi.co
02/09/2015 21:38 TRT
Disunting kembali pada 21/04/2020 17.31 WIB


Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam setiap postingan artikel yang saya buat.
Semoga dapat diambil manfaatnya..

Share:

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Archives

Another Blog

Blog Archive

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...