*

Pages

Tuesday, 16 February 2016

Ijab Tak Kabul

“Saya terima nikah dan kawinnya Dila Fernandha binti Tika Punggawa dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan uang tunai sebesar Rp 16.022.016,- dibayar tunai.”
Berdesir semua rasa di dada. Jantungku hendak melompat meninggalkan tempatnya. Aku hampir tak bisa bernafas. Perasaan bahagia ini sungguh menyelimuti seluruh jiwaku. Apakah ini mimpi kemarin sore? Dia, pria yang sudah kukagumi bertahun-tahun lamanya, akhirnya dengan gagah berani mendatangi kedua orang tuaku dengan maksud untuk memperoleh ridha keduanya agar ia dapat bersanding bersamanya dan menemaninya hingga akhir hayatnya.
Usia kami terpaut beberapa tahun. Ia lebih dewasa dariku tentunya. Ketika ia telah wisuda, aku hanya bisa tersenyum bahagia, haru dan……sedih. Bahagia dan terharu karena ia telah berhasil menyelesaikan kuliahnya, namun di sisi lain rasa egoisku ini menyeruak meletup-letup menghadapi kenyataan bahwa aku takkan bisa melihatnya lagi. Di asrama aku hanya dapat termenung diatas sajadahku, seraya berdo’a, “Ya Rabb, Ya Tuhan kami Yang Maha Pengasih dan Penyayang, ridhailah atasnya perjalanan indah baginya. Bahagiakanlah dan berkahilah dimanapun kemanapun ia melangkah. Dan satu permohonanku Ya Rabb, jika ia memanglah jodohku, maka dekatkanlah kami dengan caramu yang halal yang tak terduga-duga. Namun, jika dia bukanlah jodohku, maka jauhkanlah ia dari benak, asa, dan pikiran hamba-Mu yang lemah ini. Aamiin”.
Tak kusangka, satu dasawarsa lamanya, atas izin dan kehendak-Nya kami dipertemukan kembali. Dengan cara yang benar-benar tak pernah kusangka. Tetiba saja ia bersama keluarga besarnya langsung mendatangi kediamanku dengan membawa maksud baik.
Alhamdulillah semua benar indah pada waktunya. Kini ia dengan gagahnya mengenakan kopiah berwarna hitam pilihan ayahku sedang tersenyum manis menahan perasaan nerveousnya. Dia yang…………..
“Bruukkkkk…”, seseorang menjatuhkan minumannya tepat di gaun pengantinku.
Gedebukkk!!!! Gedebukkk!!!!
“Huaaaaaah….sakit duhhhh…. Eh?”, teriakku ketika menyadari badan ini sempurna tergeletak bak anak kucing tak berindung di lantai yang suhunya mungkin mencapai -5°C ini.
“Abang….? Mana abang?”, teriakku penuh tanya.

“TIDAAAAAAAAAK!!!! Ini semua cuma mimpiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…”, teriakku memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya.
Share:

2 comments:

  1. waaahh endingnya nggk kebayang sebelumnya, bagus nih di bikin cerpen. sukses selalu😊😊😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih. Bikin tulisannya buru-buru terus. Belum manage waktu dengan benar ehehe..

      Delete

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Archives

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...