“Saya terima nikah dan kawinnya Dila Fernandha binti Tika Punggawa
dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan uang tunai sebesar Rp 16.022.016,-
dibayar tunai.”
Berdesir semua rasa di dada. Jantungku hendak melompat meninggalkan
tempatnya. Aku hampir tak bisa bernafas. Perasaan bahagia ini sungguh
menyelimuti seluruh jiwaku. Apakah ini mimpi kemarin sore? Dia, pria yang sudah
kukagumi bertahun-tahun lamanya, akhirnya dengan gagah berani mendatangi kedua
orang tuaku dengan maksud untuk memperoleh ridha keduanya agar ia dapat
bersanding bersamanya dan menemaninya hingga akhir hayatnya.
Usia kami terpaut beberapa tahun. Ia lebih dewasa dariku tentunya.
Ketika ia telah wisuda, aku hanya bisa tersenyum bahagia, haru dan……sedih.
Bahagia dan terharu karena ia telah berhasil menyelesaikan kuliahnya, namun di
sisi lain rasa egoisku ini menyeruak meletup-letup menghadapi kenyataan bahwa
aku takkan bisa melihatnya lagi. Di asrama aku hanya dapat termenung diatas
sajadahku, seraya berdo’a, “Ya Rabb, Ya Tuhan kami Yang Maha Pengasih dan
Penyayang, ridhailah atasnya perjalanan indah baginya. Bahagiakanlah dan
berkahilah dimanapun kemanapun ia melangkah. Dan satu permohonanku Ya Rabb,
jika ia memanglah jodohku, maka dekatkanlah kami dengan caramu yang halal yang
tak terduga-duga. Namun, jika dia bukanlah jodohku, maka jauhkanlah ia dari
benak, asa, dan pikiran hamba-Mu yang lemah ini. Aamiin”.
Tak kusangka, satu dasawarsa lamanya, atas izin dan kehendak-Nya kami
dipertemukan kembali. Dengan cara yang benar-benar tak pernah kusangka. Tetiba
saja ia bersama keluarga besarnya langsung mendatangi kediamanku dengan membawa
maksud baik.
Alhamdulillah semua benar indah pada waktunya. Kini ia dengan gagahnya
mengenakan kopiah berwarna hitam pilihan ayahku sedang tersenyum manis menahan
perasaan nerveousnya. Dia yang…………..
“Bruukkkkk…”, seseorang menjatuhkan minumannya tepat di gaun
pengantinku.
Gedebukkk!!!! Gedebukkk!!!!
“Huaaaaaah….sakit duhhhh…. Eh?”, teriakku ketika menyadari badan ini
sempurna tergeletak bak anak kucing tak berindung di lantai yang suhunya
mungkin mencapai -5°C ini.
“Abang….? Mana abang?”, teriakku penuh tanya.
“TIDAAAAAAAAAK!!!! Ini semua cuma mimpiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…”,
teriakku memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya.
waaahh endingnya nggk kebayang sebelumnya, bagus nih di bikin cerpen. sukses selalu😊😊😊
ReplyDeleteTerima kasih. Bikin tulisannya buru-buru terus. Belum manage waktu dengan benar ehehe..
Delete