Artikel ini berisi ringkasan materi atas
ilmu yang diperoleh, dengan harapan membagikannya menjadikan amal jariyah dan menjadi
pengingat dikala lupa. Allahumma aamiin.
Do’akan semoga istiqamah, ya!
“Siapa Orang yang Berusia 1400 Tahun?”
Oleh: Ustadz Hanan Attaki
Salah satu manfaat dari mempelajari
sejarah terdapat pada Q.S. Hud ayat 120 yang berbunyi,
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنۢبَآءِ
ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ ۚ وَجَآءَكَ فِى هَٰذِهِ ٱلْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ
وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
Terjemah: “Dan semua kisah dari
rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami
teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ =
meneguhkan hati
Atau dengan kata lain, manfaat dari mempelajari
sejarah adalah mempertajam nalar. Jadi ketika kita melihat sesuatu, kita mampu
untuk langsung menyimpulkan dan memutuskan sikap apa yang harus diambil. Karena
sesuatu tersebut bukanlah hal yang baru, melainkan pernah terjadi dan sudah ada
hasilnya.
Sehingga, orang yang senang membaca
sejarah bukanlah orang yang hidup 60 tahun, melainkan ribuan tahun. Sudah memiliki
banyak pengalaman, sehingga takkan gelagapan dalam menghadapi suatu
permasalahan. Ia bisa berusia 1000 tahun, 2000 tahun, tergantung sepanjang apa
sejarah yang ia baca. Sejarah itu selalu terulang. Karena itu sunatullah. Jika mengikuti
Rasulullah maka ini hasilnya. Jika mengingkari maka ini hasilnya.
Alur dampak dari banyak membaca sejarah |
Realitas yang baru tetap harus dianalisa
dan diperhatikan. Namun semua itu tidak terlepas dari pola kejadian sejarah. Realitas
yang baru mungkin muncul pada hal-hal yang detail. Namun secara garis besar,
hal tersebut pernah terjadi. Ingat pula kata para ahli, ”Siapa yang kehilangan
akar / akses sejarah, maka ia kehilangan referensi bersikap.
Wallahu ‘alam bissawab.
Catatan: Tujuan
saya menuliskan ceramah dari ustadz-ustadz yang saya dengar adalah sebagai obat
saat terlupa. Baik itu lupa karena tidak dapat mengingat dengan baik, ataupun
lupa karena khilaf. Terkhusus bagi saya, saya termasuk orang yang pelupa (tidak
dapat mengingat dengan baik). Padahal saya sangat senang mendengarkan cerita
sejarah, namun perihal nama tokoh dan waktu saya kurang dapat mengingatnya
dengan baik. Harapannya dengan menuliskannya dapat menjadi obat. Obat ketika
lupa dengan membacanya kembali atau dengan klik tautan videonya.
Dari
penulis blog ini
Pada suatu waktu, saya
sedang memiliki beban yang dirasa cukup berat dan dapat dikatakan cukup stressful
dalam menghadapinya. Ternyata hal tersebut mempengaruhi ibu dan ayah saya
dirumah, karena mereka senantiasa melihat aktivitas saya selama dirumah. Saya sungguh
merasa bersalah karena membuat mereka memikirkan keadaan saya atas apa yang
sedang saya rasakan saat itu, saya tidak pernah bermaksud melibatkan mereka. Segala
cara telah ditempuh demi saya dapat merasa lebih tenang lagi dalam menjalani
hari-hari. Alhamdulillah cukup berbuah. Meski kali ini saya lebih berhati-hati
dikarenakan sesungguhnya tekanan itu masih ada, tapi saya coba sembunyikan dari
mereka agar tidak membebani pikiran mereka yang pada dasarnya sudah memiliki
banyak hal lain yang dipikirkan.
Situasi ini terjadi
setelah sistem karantina dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19 dicanangkan,
sehingga kami sekeluarga dapat shalat berjamaah dirumah lebih sering. Meski jadwal
work from home (WFH) nya ayah silih bergantian dengan kolega kerjanya. Suatu
hari, sebelum mendirikan shalat, ayah saya pernah bertanya kepada saya,
“Ka, apakah bisa ketika ada
suatu masalah, terus bisa selesai gitu aja tanpa kita perlu ngapa-ngapain?”
Saya pun berpikir sejenak,
karena saya menerka-nerka jawaban yang
ingin ayah dengar adalah candaan ataukah serius. Lalu saya menjawab,
“Kalau pakai logika
manusia, nggak mungkin sih, yah. Tapi, kalau mau mengingat ke sirah nabawiyyah,
kisahnya siti Maryam. Yang tiba-tiba Allah hadirkan buah-buahan....”
Belum juga saya menamatkan
kalimat saya, ayah langsung memotong,
“Sip. Cukup. Nah itu
paham, ya.”
“Rezeki itu datangnya dari
arah tidak disangka-sangka”, saya ingin melanjutkan, namun ayah sudah langsung
mengisyaratkan kepada saya agar segera mengumandangkan iqamah.
Disitu saya paham, sesungguhna
orangtua saya juga sudah kebingungan untuk meng-encourage saya. Maafkan anandamu
ini ya, ayah, ibu. Saya tak pernah bermaksud seperti itu.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih