*

Pages

Friday, 1 May 2020

Ust. Hanan Attaki - Siapa Orang yang Berusia 1400 Tahun?


Artikel ini berisi ringkasan materi atas ilmu yang diperoleh, dengan harapan membagikannya menjadikan amal jariyah dan menjadi pengingat dikala lupa. Allahumma aamiin.
Do’akan semoga istiqamah, ya!

“Siapa Orang yang Berusia 1400 Tahun?”
Oleh: Ustadz Hanan Attaki

 

Salah satu manfaat dari mempelajari sejarah terdapat pada Q.S. Hud ayat 120 yang berbunyi,
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ ۚ وَجَآءَكَ فِى هَٰذِهِ ٱلْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
Terjemah: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”

مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ = meneguhkan hati
Atau dengan kata lain, manfaat dari mempelajari sejarah adalah mempertajam nalar. Jadi ketika kita melihat sesuatu, kita mampu untuk langsung menyimpulkan dan memutuskan sikap apa yang harus diambil. Karena sesuatu tersebut bukanlah hal yang baru, melainkan pernah terjadi dan sudah ada hasilnya.

Sehingga, orang yang senang membaca sejarah bukanlah orang yang hidup 60 tahun, melainkan ribuan tahun. Sudah memiliki banyak pengalaman, sehingga takkan gelagapan dalam menghadapi suatu permasalahan. Ia bisa berusia 1000 tahun, 2000 tahun, tergantung sepanjang apa sejarah yang ia baca. Sejarah itu selalu terulang. Karena itu sunatullah. Jika mengikuti Rasulullah maka ini hasilnya. Jika mengingkari maka ini hasilnya.

Alur dampak dari banyak membaca sejarah

Realitas yang baru tetap harus dianalisa dan diperhatikan. Namun semua itu tidak terlepas dari pola kejadian sejarah. Realitas yang baru mungkin muncul pada hal-hal yang detail. Namun secara garis besar, hal tersebut pernah terjadi. Ingat pula kata para ahli, ”Siapa yang kehilangan akar / akses sejarah, maka ia kehilangan referensi bersikap.
    
Wallahu ‘alam bissawab.


Catatan: Tujuan saya menuliskan ceramah dari ustadz-ustadz yang saya dengar adalah sebagai obat saat terlupa. Baik itu lupa karena tidak dapat mengingat dengan baik, ataupun lupa karena khilaf. Terkhusus bagi saya, saya termasuk orang yang pelupa (tidak dapat mengingat dengan baik). Padahal saya sangat senang mendengarkan cerita sejarah, namun perihal nama tokoh dan waktu saya kurang dapat mengingatnya dengan baik. Harapannya dengan menuliskannya dapat menjadi obat. Obat ketika lupa dengan membacanya kembali atau dengan klik tautan videonya.

Dari penulis blog ini
Pada suatu waktu, saya sedang memiliki beban yang dirasa cukup berat dan dapat dikatakan cukup stressful dalam menghadapinya. Ternyata hal tersebut mempengaruhi ibu dan ayah saya dirumah, karena mereka senantiasa melihat aktivitas saya selama dirumah. Saya sungguh merasa bersalah karena membuat mereka memikirkan keadaan saya atas apa yang sedang saya rasakan saat itu, saya tidak pernah bermaksud melibatkan mereka. Segala cara telah ditempuh demi saya dapat merasa lebih tenang lagi dalam menjalani hari-hari. Alhamdulillah cukup berbuah. Meski kali ini saya lebih berhati-hati dikarenakan sesungguhnya tekanan itu masih ada, tapi saya coba sembunyikan dari mereka agar tidak membebani pikiran mereka yang pada dasarnya sudah memiliki banyak hal lain yang dipikirkan.
Situasi ini terjadi setelah sistem karantina dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19 dicanangkan, sehingga kami sekeluarga dapat shalat berjamaah dirumah lebih sering. Meski jadwal work from home (WFH) nya ayah silih bergantian dengan kolega kerjanya. Suatu hari, sebelum mendirikan shalat, ayah saya pernah bertanya kepada saya,
“Ka, apakah bisa ketika ada suatu masalah, terus bisa selesai gitu aja tanpa kita perlu ngapa-ngapain?”
Saya pun berpikir sejenak, karena saya menerka-nerka jawaban yang  ingin ayah dengar adalah candaan ataukah serius. Lalu saya menjawab,
“Kalau pakai logika manusia, nggak mungkin sih, yah. Tapi, kalau mau mengingat ke sirah nabawiyyah, kisahnya siti Maryam. Yang tiba-tiba Allah hadirkan buah-buahan....”
Belum juga saya menamatkan kalimat saya, ayah langsung memotong,
“Sip. Cukup. Nah itu paham, ya.”
“Rezeki itu datangnya dari arah tidak disangka-sangka”, saya ingin melanjutkan, namun ayah sudah langsung mengisyaratkan kepada saya agar segera mengumandangkan iqamah.
Disitu saya paham, sesungguhna orangtua saya juga sudah kebingungan untuk meng-encourage saya. Maafkan anandamu ini ya, ayah, ibu. Saya tak pernah bermaksud seperti itu.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...