*

Pages

Saturday, 9 May 2020

Kekuatan dari Bersandar pada-Nya



“Hehe.. enggak jadi, teh.”, katanya ringan.
Aku terbelalak, “APA? KENAPA?”
***

Hari itu seorang temanku terlihat sangat berseri-seri, lain dari biasanya. Dia baru saja menuntaskan pendidikan S1 dan langsung bekerja di sebuah rumah sakit sebagai bagian kerohanian. Jujur, itu merupakan hal yang sangat baru kudengar. Entah aku yang kurang awas atau memang tak pernah bersinggungan dengan topik divisi kerohanian di rumah sakit. Divisi kerohanian di rumah sakit bertugas untuk membimbing pasien-pasien yang tengah meregang nyawa. Membimbingnya dengan mengingat kalamullah dengan talqin maupun lainnya. Tentu banyak kewajiban lainnya pula yang dapat kusebutkan satu per satu.
“Oh mungkin dia berseri karena itu”, ujarku sekenanya dalam hati.
Hingga terlontarlah sebuah pertanyaan dari kawanku yang lainnya,
“Gimana teh? Jadi kalau nikahnya kapan?”, tanyanya.
“InshaaAllah, do’akan ya teh, semoga tahun ini.”, jawabnya semakin berseri.
MashaaAllah rupanya ada kabar membahagiakan lainnya. Alhamdulillah aku turut berbahagia. Jawabannya sangat mantap, membuatku semakin yakin bahwa memang ia telah memiliki calon pemimpin dan pendamping hidupnya.
Lama sekali tak bertemu dengannya. Kesibukannya dengan pekerjaannya membuat ia jarang hadir bercengkrama bersama kami. Hingga suatu hari qadarullah ia menampakkan lagi diri. Teteh bertubuh mungil, bersuara lembut, yang kebaikan hatinya terpancar dari senyuman ikhlasnya. Ah terkadang aku merasa...... belum cukup menjadi wanita sebaik-baiknya wanita (secara dzahir), meragukan kelemah lembutan, suara terkadang sebesar toa masjid (maklum, mantan danton Paskibra hehe, alesan.). Entah krisis kepercayaan diri melandaku ataukah aku hanya memberikan makan rasa penasaranku, sampai-sampai aku bertanya pada kakak laki-lakiku yang memang memiliki istri dengan suara dan tingkah yang lemah lembut,
“A, laki-laki tuh sukanya perempuan yang lemah lembut gitu ya? Duh gimana dong, ade kan gak gitu-gitu banget. Jauh. Bakal ada yang suka gak ya?”, tanyaku polos.
Kakakku hanya tersenyum dan mengusap pelan kepalaku seraya berkata,
“Ya ada, lah.”, jawabnya singkat.
Kalau kalian pernah baca cerita tentang kakakku, kalian akan mengerti kenapa ia menjawab sesingkat itu saja. Hehe.
Akhirnya pada suatu hari kami dipertemukan lagi, kami berpelukan erat seperti orang yang telah bertahun-tahun tidak bertemu. Kami mengobrol banyak. Tidak, banyaknya mendengarkan pengarahan. Karena kami semua akan diberi tugas untuk acara besar yang akan diselenggarakan. Hingga pada suatu kesempatan aku bertanya, yang entah apa dengan pertanyaanku ini melukai hatinya atau tidak. Tapi jika aku tidak bertanya padanya, aku tidak akan mempelajari suatu pelajaran hidup yang berharga.
“Teh, bagaimana rencana pernikahannya?”, tanyaku sambil memerhatikan ekspresinya.
Tenggorokannya nampak tercekat. Waduh, aku salah besar malah nanya!
Dia tersenyum, “Qadarullah teh, bukan jodohnya. Tidak jadi.”, ia menyunggingkan senyum manisnya.
“Ih teh maaf malah nanya. Harusnya Witsqa gak nanya ya teh. Tapi, kalau boleh tahu aja ini mah, dan tidak menyakitkan teteh. Kenapa nggak jadi?”, tanyaku masih penasaran sekaligus ada perasaan sedih menyempil dalam hati.
“Tenang ih teh. Nggak apa-apa kok. Ya gitu teh, jadi tante saya satu kantor gitu sama ikhwannya. Dan di kantor pun nampak perilakunya tidak terlalu baik. Jadi tante saya sarankan untuk jangan teruskan. Jadi nggak kami teruskan.”, jawabnya panjang lebar.
Terlihat ia menolak menyebutkan bentuk perilaku yang tidak terlalu baiknya itu seperti apa. Namun aku juga sudah tak sampai hati bertanya lebih jauh.
“Teh, teteh sedih nggak?”, tanyaku dengan wajah penuh kesedihan.
Karena jujur mendengarnya menyayat hatiku.
“Alhamdulillah nggak lah teh. Alhamdulillah Allah tunjukkan di waktu kami belum naik pelaminan, kalau udah? Wah bakalan jauh lebih susah kan.”, katanya dengan senyum yang pasti.
Disitu aku yakin betul bahwa kawanku itu memang tidak terluka sama sekali. Keyakinan dan kebergantungannya kepada Allah SWT yang membuatnya teguh. Aku yakin. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah.
Usia seperempat abad memang sudah cukup rawan akan topik ini. dorongan akan stigma masyarakat terkadang menghantui, menghasilkan sebuah krisis, bernama quarter-life crisis. Aku termasuk yang menolak adanya krisis semacam itu, selama aku berdiri diatas kakiku dengan bersandar pada Yang Maha Esa dan terus berusaha,  aku merasa tak perlu ada yang di khawatirkan. Namun terkadang, inner circle dengan segala tuntutannya membuat diri tak bisa bersantai dalam menjalani hidup. Sebuah hal yang perlu dievaluasi sampai ke akarnya.
Dari cerita kawanku ini, membuat aku teringat akan sebuah nasihat. Jika kita gagal dalam suatu hubungan yang akan mencapai jenjang yang serius, “you are one step closer to the right person”. Biarkan Allah yang pilihkan berdasarkan penglihatan-Nya, apa yang terlihat baik di mata kita, itu hanya luarnya saja. Allah lebih tahu isi hati, luar dan dalam setiap hamba-Nya. Itu yang selalu kupegang teguh. Lagipula, apa-apa yang Allah takdirkan untukku, takkan pernah melewatkanku.
Kalau kata QS Al-Insyirah : 8 mah,
“Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

“Tapi kudu usaha!”, ujar Ibu berulang kali. Hehehehehe.
***

Wits, kamu ngomong macem begini kayak yang pernah mengalami aja deh.
Who knows! 😉

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...