“Hehe.. enggak jadi, teh.”,
katanya ringan.
Aku terbelalak, “APA?
KENAPA?”
***
Hari itu seorang temanku
terlihat sangat berseri-seri, lain dari biasanya. Dia baru saja menuntaskan
pendidikan S1 dan langsung bekerja di sebuah rumah sakit sebagai bagian
kerohanian. Jujur, itu merupakan hal yang sangat baru kudengar. Entah aku yang
kurang awas atau memang tak pernah bersinggungan dengan topik divisi kerohanian
di rumah sakit. Divisi kerohanian di rumah sakit bertugas untuk membimbing pasien-pasien
yang tengah meregang nyawa. Membimbingnya dengan mengingat kalamullah dengan
talqin maupun lainnya. Tentu banyak kewajiban lainnya pula yang dapat
kusebutkan satu per satu.
“Oh mungkin dia berseri
karena itu”, ujarku sekenanya dalam hati.
Hingga terlontarlah
sebuah pertanyaan dari kawanku yang lainnya,
“Gimana teh? Jadi kalau
nikahnya kapan?”, tanyanya.
“InshaaAllah, do’akan ya teh,
semoga tahun ini.”, jawabnya semakin berseri.
MashaaAllah rupanya ada
kabar membahagiakan lainnya. Alhamdulillah aku turut berbahagia. Jawabannya sangat
mantap, membuatku semakin yakin bahwa memang ia telah memiliki calon pemimpin
dan pendamping hidupnya.
Lama sekali tak bertemu
dengannya. Kesibukannya dengan pekerjaannya membuat ia jarang hadir
bercengkrama bersama kami. Hingga suatu hari qadarullah ia menampakkan
lagi diri. Teteh bertubuh mungil, bersuara lembut, yang kebaikan hatinya
terpancar dari senyuman ikhlasnya. Ah terkadang aku merasa...... belum cukup
menjadi wanita sebaik-baiknya wanita (secara dzahir), meragukan kelemah
lembutan, suara terkadang sebesar toa masjid (maklum, mantan danton Paskibra
hehe, alesan.). Entah krisis kepercayaan diri melandaku ataukah aku hanya memberikan
makan rasa penasaranku, sampai-sampai aku bertanya pada kakak laki-lakiku yang
memang memiliki istri dengan suara dan tingkah yang lemah lembut,
“A, laki-laki tuh sukanya
perempuan yang lemah lembut gitu ya? Duh gimana dong, ade kan gak gitu-gitu
banget. Jauh. Bakal ada yang suka gak ya?”, tanyaku polos.
Kakakku hanya tersenyum
dan mengusap pelan kepalaku seraya berkata,
“Ya ada, lah.”, jawabnya singkat.
Kalau kalian pernah baca
cerita tentang kakakku, kalian akan mengerti kenapa ia menjawab sesingkat itu
saja. Hehe.
Akhirnya pada suatu hari
kami dipertemukan lagi, kami berpelukan erat seperti orang yang telah bertahun-tahun
tidak bertemu. Kami mengobrol banyak. Tidak, banyaknya mendengarkan pengarahan.
Karena kami semua akan diberi tugas untuk acara besar yang akan diselenggarakan.
Hingga pada suatu kesempatan aku bertanya, yang entah apa dengan pertanyaanku
ini melukai hatinya atau tidak. Tapi jika aku tidak bertanya padanya, aku tidak
akan mempelajari suatu pelajaran hidup yang berharga.
“Teh, bagaimana rencana
pernikahannya?”, tanyaku sambil memerhatikan ekspresinya.
Tenggorokannya nampak tercekat.
Waduh, aku salah besar malah nanya!
Dia tersenyum, “Qadarullah
teh, bukan jodohnya. Tidak jadi.”, ia menyunggingkan senyum manisnya.
“Ih teh maaf malah nanya.
Harusnya Witsqa gak nanya ya teh. Tapi, kalau boleh tahu aja ini mah, dan tidak
menyakitkan teteh. Kenapa nggak jadi?”, tanyaku masih penasaran sekaligus ada
perasaan sedih menyempil dalam hati.
“Tenang ih teh. Nggak
apa-apa kok. Ya gitu teh, jadi tante saya satu kantor gitu sama ikhwannya. Dan di
kantor pun nampak perilakunya tidak terlalu baik. Jadi tante saya sarankan
untuk jangan teruskan. Jadi nggak kami teruskan.”, jawabnya panjang lebar.
Terlihat ia menolak menyebutkan
bentuk perilaku yang tidak terlalu baiknya itu seperti apa. Namun aku juga
sudah tak sampai hati bertanya lebih jauh.
“Teh, teteh sedih nggak?”,
tanyaku dengan wajah penuh kesedihan.
Karena jujur mendengarnya
menyayat hatiku.
“Alhamdulillah nggak lah
teh. Alhamdulillah Allah tunjukkan di waktu kami belum naik pelaminan, kalau
udah? Wah bakalan jauh lebih susah kan.”, katanya dengan senyum yang pasti.
Disitu aku yakin betul
bahwa kawanku itu memang tidak terluka sama sekali. Keyakinan dan
kebergantungannya kepada Allah SWT yang membuatnya teguh. Aku yakin.
Alhamdulillah tsumma alhamdulillah.
Usia seperempat abad
memang sudah cukup rawan akan topik ini. dorongan akan stigma masyarakat
terkadang menghantui, menghasilkan sebuah krisis, bernama quarter-life
crisis. Aku termasuk yang menolak adanya krisis semacam itu, selama aku
berdiri diatas kakiku dengan bersandar pada Yang Maha Esa dan terus
berusaha, aku merasa tak perlu ada yang
di khawatirkan. Namun terkadang, inner circle dengan segala tuntutannya
membuat diri tak bisa bersantai dalam menjalani hidup. Sebuah hal yang perlu
dievaluasi sampai ke akarnya.
Dari cerita kawanku ini,
membuat aku teringat akan sebuah nasihat. Jika kita gagal dalam suatu hubungan
yang akan mencapai jenjang yang serius, “you are one step closer to the right
person”. Biarkan Allah yang pilihkan berdasarkan penglihatan-Nya, apa yang
terlihat baik di mata kita, itu hanya luarnya saja. Allah lebih tahu isi hati,
luar dan dalam setiap hamba-Nya. Itu yang selalu kupegang teguh. Lagipula, apa-apa
yang Allah takdirkan untukku, takkan pernah melewatkanku.
Kalau kata QS Al-Insyirah
: 8 mah,
“Dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
“Tapi kudu usaha!”, ujar
Ibu berulang kali. Hehehehehe.
***
Wits, kamu ngomong macem
begini kayak yang pernah mengalami aja deh.
Who knows! 😉
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih