Suasana keramaian KJRİ İstanbul |
Keinginan saya yang teramat besar untuk dapat mengikuti upacara
pengibaran bendera merah-putih membuat saya memutuskan untuk mereservasi tiket
kepulangan ke tanah perantauan jauh lebih cepat. 15 Agustus 2015. Merupakan
tanggal yang teramat awal dan tak lazim untuk dipilih oleh mahasiswa/i yang
sedang menghabiskan liburan musim panasnya di tanah air. Kebanyakan universitas di Turki ini memulai
tahun ajaran barunya di tahun ini pada pertengahan bahkan akhir bulan
September. Tak heran, banyak orang yang bertanya-tanya dengan penuh rasa keingintahuan
akan alasan yang sesungguhnya mengapa saya memutuskan untuk kembali ke tanah
penimbaan ilmu begitu cepatnya.
Ada beberapa alasan pribadi mengapa akhirnya saya memutuskan untuk
kembali kemari dengan memilih tanggal yang terhitung awal, yang tidak dapat
saya paparkan disini.
15 Agustus 2015, ketika waktu telah menunjukan sekitar pukul 7 malam
waktu sekitar. Dengan jam tangan analog yang terbelit mantap di tangan kiri
saya, yang belum sempat saya atur ulang setibanya saya di destinasi akhir. Saya
kebingungan akan langkah awal yang akan saya lakukan ketika telah menapaki
tanah kota yang terletak diatas dua benua ini. Saya pun bergegas untuk
menyambangi mesin ATM bank Turki dan bermaksud untuk mengisi pulsa dan mengaktifasi
paket bulanan di telefon genggam saya. Dengan maksud, agar dapat memberikan
kabar kepada kakak kelas saya yang berbaik hati akan datang untuk menjemput di
bandar udara Ataturk.
Kurang lebih satu jam saya menunggu kedatangannya, hingga akhirnya sang
kakak kelas tersebut muncul dihadapan saya sembari menampakan senyum manisnya.
Gaya khasnya yang tomboy namun berusaha terlihat feminin itu tetap tidak bisa
mengelabui kedua bola mataku, menyembunyikan akan tabiatnya yang sudah
tercitrakan tomboy sedari masa di bangku menengah atas dahulu.
“Wits, gak lama kan nunggunya? Tadi teh
uji lagi ada urusan di KJRI (Konsulat Jendral Republik Indonesia). Tapi pas kan
ya perhitungan uji? Kamu gak nunggu lama?”, tanyanya setengah percaya diri.
“Iya nggak kok, teh. Teh, ada minum nggak? Haus nih. Heu..”, serobotku
singkat setengah kehausan.
Tangan kurusnya menyodorkan minuman rasa buah pada saya. Saya terdiam
sejenak. Lengang. Sunyi. Senyap.
“Gak ada air putih ya, teh?”, ujarku bak adik kelas tak tahu diuntung.
Singkat cerita kami memutuskan untuk menyegerakan menuju tempat tinggal
kakak kelas saya tersebut. Saya bermaksud untuk menginap selama beberapa hari
di Istanbul. Selain ingin merasakan upacara pengibaran bendera merah-putih 17
Agustus di KJRI, saya juga ingin menunaikan beberapa amanat yang diberikan
kepada saya. (Seperti membuat video kondisi didalam masjid Blue Mosque, maupun
membuat tulisan yang kemudian difoto bersama ikon Turki).
Keesokan harinya, 16 Agustus 2015. Saya yang awalnya hanya ingin
bersantai dan beristirahat saja, membanting stir dan memutuskan untuk pergi ke
KJRI dan mengikuti beberapa rangkaian perlombaan khas 17 Agustus yang rutin
dilaksanakan di KJRI. Apakah saya menang? Wooo.. Jangan salah! Tentu saja saya
menang. Yap, MENANGgung malu!! Kenapa? Beginilah kronologis ceritanya….
Saya yang berstatus bukan warga Istanbul ini dengan percaya dirinya
datang dan bergabung bersama orang-orang yang asik mengikuti berbagai macam
perlombaan. Namun sayangnya, tak ada satupun perlombaan yang berhasil saya menangkan.
Mengikuti lomba makan simit (sejenis donat berukuran jumbo) yang diolesi
cokelat, malah cokelat-cokelatnya saling berlomba menghiasi wajah dan kerudung indah
saya. Menang? Tidak. Saya iseng aja ikut-ikut lomba itu.
Suasana Perlombaan |
Lomba lainnya yang saya ikuti adalah lomba makan mie. Para peserta
mempersiapkan perutnya yang kosong untuk mengikuti perlombaan tersebut,
termasuk saya. sesampainya pada urutan acara lomba makan mie, saya sedikit
terkaget, karena kami diharuskan memakan mie dengan menggunakan sedotan (Bayangiiiiiin….
Pake sedotaaaaan. Mau disedot aja ntu mie-mie? Hahaha). Kesulitan? Iya banget.
Hingga akhirnya saya dinobatkan sebagai peserta paling lambat dalam memakan mie
tersebut. Yap, saya makan dengan anggunnya dan alhasil mie yang tersisa di
piring kita bisa bawa dan kita bertanggung jawab untuk menghabiskannya. Fiuuuh.
Syukur deh, saya hanya sempat memakan kurang dari seperempat bagian itu, bisa
memakannya dengan kondisi yang tenang tanpa tekanan, apalagi tanpa harus
menggunakan sedotan-sedotan itu. Hehehe. Di akhir perlombaan makan mie
tersebut, sang pemandu acara yang keheranan melihat piring saya yang isinya
masih utuh itu berkomentar, “Nampaknya peserta kita yang satu ini emang sengaja
gak mau makan mie nya, biar bisa dibungkus. Hehehe..”, komentarnya setengah
tertawa.
Saya pun dengan anggunnya membawa piring saya lalu duduk dan melanjutkan
melahap makanan saya yang kemudian ditambahi dengan kentang goreng dan chicken
nugget. Ah! Dan tak lupa, saos sambal yang diberikan oleh Ibu Konjen yang baik hati
nan anggun itu. Alhamdulillah nikmatnyaaaaaa…. Hihihi
Sampailah kami semua di penghujung acara, dimana semua hadiah telah
diberikan kepada para pemenang. Tak berselang lama, sang pemandu acara
mempersilahkan kami semua untuk berdiri dan maju ke depan untuk berfoto bersama.
Saya beserta kakak kelas saya yang lain, yang baru saja tiba dari kota Trabzon
itu dengan penuh semangatnya berdiri dari kursi-kursi kami yang nyaman yang
terjajar rapi. Menyadari hanya kami saja yang berdiri dengan penuh semangat, tanpa
memberikan aba-aba sepatah katapun, kak Alfa ----kakak kelas yang baru tiba
dari kota Trabzon---- bergegas untuk kembali duduk di bangku nyamannya. Seperti
terkena last word syndrome, saya pun
spontan untuk kembali duduk. Namun……….. hal yang sangat tidak terduga terjadi.
Saya jatuh terjerembab keatas rerumputan hijau tak berdosa. Yang mungkin saja,
mereka sedang asyik-asyiknya bertasbih kepada Sang Maha Cinta terganggu atas
benturan yang terjadi. Kursi yang sedari tadi saya duduki lenyap begitu saja. Bukan
karena sihir harry potter kursi tersebut raib, tetapi memang ada seorang pria berperawakan
besar namun terlihat masih sangat muda yang ternyata adalah orang Turki yang
tanpa sengaja mengambil kursi tersebut dari tempatnya semula. Ia mengira saya
tidak akan kembali duduk. Saat itu suasana sedang hening, tak ada yang
mengeluarkan suaranya sedikitpun, bahkan kucing yang melintas pun tak sampai
hati untuk mengeluarkan eong-annya. Maka mengaduhnya saya, memecahkan kesunyian
di halaman muka KJRI tersebut. Tak henti-hentinya pula si Abi1
tersebut meminta maaf kepada saya atas apa yang telah terjadi. Ada yang
tertawa, ada yang berusaha ingin melihat kondisi saya, dan ada pula yang masih
berusaha untuk meminta maaf kepada saya.
Apa yang akan anda lakukan
ketika berada di posisi saya? Maluuu sekali rasanya. Ingin rasanya
saya langsung membeli tiket pulang ke Ankara detik itu juga, dan berharap tak
ada satupun orang yang mengingat wajah saya, terlebih lagi kejadian yang amat
memalukan itu.
Seusai berfoto bersama, saya pun bergegas menuju tempat shalat dan
mengurung diri disana (maaf agak hiperbol hehe), dan hari itu berlalu begitu
saja……….
Witsqa.. kapan sih kamu tidak mempermalukan dirimu sendiri?
1 Abi : Panggilan untuk kakak
laki-laki / yang dituakan (laki-laki)
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih