*

Pages

Monday, 7 September 2015

[Studying Abroad] Perkuat Ilmu Agama

Bismillah…
Apa kabar, kawan-kawan? Semoga selalu sehat yaaaaa J

Saya teringat pada masa-masa ketika msih duduk di bangku persiapan Bahasa Turki atau yang biasa disebut TOMER.
Jadwal TOMER di Hacettepe University saya akui sangatlah padat. Diawali dari pukul 09.00 hingga pukul 16.00 waktu setempat. Dengan waktu istirahat shalat dan makan siang sekitar pukul 12.00 – 13.00 waktu setempat. Dan terkadang kami diberi bonus tambahan pelajaran (semacam matrikulasi sebelum memasuki dunia perkuliahan yang sesungguhnya) dari pukul 16.00-17.00 waktu setempat.
Hari itu, setelah dipersilahkan untuk istirahat shalat dan makan siang saya bergegas untuk turun menuju kafetaria kampus. Namun sebuah sosok mencegah saya. Ya, ia adalah salah satu teman baik saya dikelas, sebut dia Miew. Dia seorang gadis Thailand yang sangat baik hati. Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Tetiba saja ia berkata,
“Aku udah liat menu makanan hari ini di kafetaria, kurang enak! Jadi aku masak buat kita. Mending makan ini aja yuk disini.”, ajaknya.
Saya yang sangat bersemangat langsung mengangguk seraya mengiyakan.
Di ruangan itu yang tersisa tidak hanya kami, ada salah satu teman baikku lainnya, Nami namanya. Ia berasal dari Korea. Bahasa Turkinya? Jangan salah! Dia paling jago bahasa Turkinya, dibuat terpesonalah kita kalau mendengar dia ngomong Bahasa Turki. Super fasih! Kereeeen deh pokoknya..
Ia juga diajak oleh Miew untuk makan siang bersama kami. Sayangnya hari itu salah satu kawan Indo syaa tidak hadir, Linda. Ia melewatkan momen-momen indah nan ‘mencekam’ itu.
Mencekam? Bagaimana tidak? Saya yang baru mempelajari sedikit Bahasa Turki dituntut untuk banyak menjelaskan tentang keyakinan yang aku anut, yang disertai pertanyaan yang bertubi-tubi. Masih dalam suasana makan siang, kami menikmati hidangan hasil chef Miew sembari berdiskusi, yang dimulai dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Nami,
“Saya punya temen orang Turki. Ia muslim. Dan dia bilang, agama dia paling bener. Kalau begitu, gak ada toleransi beragama dong di agama kalian?”, pertanyaannya melesat kepada saya.
Saya yang terkaget diberikan pertanyaan seperti itu, berusaha untuk tidak panik (karena bingung harus jelasin gimana pake Bahasa Turki), saya mengunyah dan menelan baik-baik makanan di mulut saya, dan kemudian angkat bicara,
“Nggak.. sebenarnya tidak seperti itu. Yang benar adalah; Islam merupakan agama pelengkap. Melengkapi dan menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Kayak misalnya kitab suci, kitab suci kalian itu bener ----tidak ada yang salah---- lalu kemudian diturunkanlah al-qur’an yang menyempurnakan kitab suci kalian”, ujarku panjang lebar dengan Bahasa Turki yang pas-pasan dan sedikit tersengal karena menahan detak jantung yang semakin cepat.
Begitulah seterusnya, menit-menit makan siang terasa sedikit berat, karena kami beristirahat sembari diskusi mengenai agama masing-masing. Sebenarnya bukan diskusi mengenai agama masing-masing, tapi banyaknya mereka melontarkan banyak pertanyaan pada saya atas apa-apa yang mereka temukan dilingkungannya.
Dari situlah saya menyadari, selain Bahasa Turki yang harus fasih dan mengglobal dalam hal vocabulary, saya juga harus menguasai ilmu agama sepenuhnya. Agar dapat menjawab pertanyaan bagi setiap keraguan dengan mantap.

Suatu hari saya berkesempatan untuk berbincang santai bersama teman Turki saya. Kebetulan hari itu adalah International Student Day yang diselenggarakan oleh pihak pemberi beasiswa pemerintah Turki. Indonesia berkesempatan untuk membuka stand, yang Alhamdulillah tidak pernah sepi dikunjungi oleh orang-orang yang dipenuhi oleh rasa keingintahuan. Disana kami memamerkan bendera negara, mata uang kami, miniatur alat musik tradisional, berbagai baju daerah yang dapat dipakai oleh pengunjung untuk berfoto, dan lain sebagainya. Disitu juga kami menempel poster situs-situs wisata maupun tempat-tempat yang cukup mahsyur di Indonesia, seperti masjid Istiklal, candi Borobudur, candi prambanan, dan lain-lain.
“Kalian kan negara muslim, kok ada candi-candi sih.”, ujar kawan Turki saya.
“(Saya masih kurang yakin atas pe-label-an negara muslim yang diberikan kepada Indonesia. Jadi saya hanya jawab seperti ini;) Indonesia bukan negara muslim, namun penduduknya mayoritas muslim. Tapi banyak agama-agama resmi lain kok yang diakui di indo, kayak Kristen katolik, protestan, hindu, budha. Makanya, ada banyak candi juga di negara kita.”, jawab saya dengan tenang.
“Kok kalian bisa gitu? Saya sih gak suka sama yang non muslim.”, jawabnya nyelonong.
“Hush! Gak boleh gitu tau. Kita tuh harus toleransi. Menghormati orang lain yang mau nganut agama mereka. Alhamdulillah sih orang indo toleransi kalau urusan kayak gini.”, saya mencoba memberikan pengertian.
“Itulah orang Indonesia ya. Kami orang Turki sayangnya gak bisa kayak gitu tuh.”, ujarnya penuh keyakinan.
“Berusaha supaya gak gitu ya.”, tersenyum penuh arti.
Sebenarnya kita tidak bisa menge-general-kan berdasarkan sebuah sumber. Namun jika kita perhatikan, kedua cerita ini bisa menjadi pelengkap bagi satu-sama-lain.

Mengenai orang Turki tidak bisa toleransi agama. Alhamdulillah sampai saat ini saya tidak pernah melihat pertikaian atau apapun semacamnya yang disebabkan ketidaktoleransian. Mungkin teman saya itu bisa saja berkata, “Tidak bisa toleransi dalam agama.”, namun dalam tingkah laku? Nyatanya, ia tetap menghormati orang yang berkeyakinan berbeda dengannya.

Terima Kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembacanya.
Kritik dan saran bisa dilampirkan J

Mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan, karena tujuan saya hanya ingin sharing pengalaman.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...