Bismillah…
Apa kabar,
kawan-kawan? Semoga selalu sehat yaaaaa J
Saya teringat pada masa-masa ketika msih duduk di bangku persiapan
Bahasa Turki atau yang biasa disebut TOMER.
Jadwal TOMER di Hacettepe University saya akui sangatlah padat. Diawali
dari pukul 09.00 hingga pukul 16.00 waktu setempat. Dengan waktu istirahat
shalat dan makan siang sekitar pukul 12.00 – 13.00 waktu setempat. Dan
terkadang kami diberi bonus tambahan pelajaran (semacam matrikulasi sebelum
memasuki dunia perkuliahan yang sesungguhnya) dari pukul 16.00-17.00 waktu
setempat.
Hari itu, setelah dipersilahkan untuk istirahat shalat dan makan siang
saya bergegas untuk turun menuju kafetaria kampus. Namun sebuah sosok mencegah
saya. Ya, ia adalah salah satu teman baik saya dikelas, sebut dia Miew. Dia
seorang gadis Thailand yang sangat baik hati. Dia sudah kuanggap seperti
kakakku sendiri. Tetiba saja ia berkata,
“Aku udah liat menu makanan hari ini di kafetaria, kurang enak! Jadi aku
masak buat kita. Mending makan ini aja yuk disini.”, ajaknya.
Saya yang sangat bersemangat langsung mengangguk seraya mengiyakan.
Di ruangan itu yang tersisa tidak hanya kami, ada salah satu teman
baikku lainnya, Nami namanya. Ia berasal dari Korea. Bahasa Turkinya? Jangan
salah! Dia paling jago bahasa Turkinya, dibuat terpesonalah kita kalau
mendengar dia ngomong Bahasa Turki. Super fasih! Kereeeen deh pokoknya..
Ia juga diajak oleh Miew untuk makan siang bersama kami. Sayangnya hari
itu salah satu kawan Indo syaa tidak hadir, Linda. Ia melewatkan momen-momen
indah nan ‘mencekam’ itu.
Mencekam? Bagaimana tidak? Saya yang baru mempelajari sedikit Bahasa
Turki dituntut untuk banyak menjelaskan tentang keyakinan yang aku anut, yang
disertai pertanyaan yang bertubi-tubi. Masih dalam suasana makan siang, kami
menikmati hidangan hasil chef Miew sembari berdiskusi, yang dimulai dengan
pertanyaan yang dilontarkan oleh Nami,
“Saya punya temen orang Turki. Ia muslim. Dan dia bilang, agama dia
paling bener. Kalau begitu, gak ada toleransi beragama dong di agama kalian?”,
pertanyaannya melesat kepada saya.
Saya yang terkaget diberikan pertanyaan seperti itu, berusaha untuk
tidak panik (karena bingung harus jelasin gimana pake Bahasa Turki), saya
mengunyah dan menelan baik-baik makanan di mulut saya, dan kemudian angkat bicara,
“Nggak.. sebenarnya tidak seperti itu. Yang benar adalah; Islam
merupakan agama pelengkap. Melengkapi dan menyempurnakan agama-agama
sebelumnya. Kayak misalnya kitab suci, kitab suci kalian itu bener ----tidak
ada yang salah---- lalu kemudian diturunkanlah al-qur’an yang menyempurnakan
kitab suci kalian”, ujarku panjang lebar dengan Bahasa Turki yang pas-pasan dan
sedikit tersengal karena menahan detak jantung yang semakin cepat.
Begitulah seterusnya, menit-menit makan siang terasa sedikit berat,
karena kami beristirahat sembari diskusi mengenai agama masing-masing.
Sebenarnya bukan diskusi mengenai agama masing-masing, tapi banyaknya mereka
melontarkan banyak pertanyaan pada saya atas apa-apa yang mereka temukan
dilingkungannya.
Dari situlah saya menyadari, selain Bahasa
Turki yang harus fasih dan mengglobal dalam hal vocabulary, saya juga harus
menguasai ilmu agama sepenuhnya. Agar dapat menjawab pertanyaan bagi setiap
keraguan dengan mantap.
Suatu hari saya berkesempatan untuk berbincang santai bersama teman
Turki saya. Kebetulan hari itu adalah International Student Day yang
diselenggarakan oleh pihak pemberi beasiswa pemerintah Turki. Indonesia
berkesempatan untuk membuka stand, yang Alhamdulillah tidak pernah sepi
dikunjungi oleh orang-orang yang dipenuhi oleh rasa keingintahuan. Disana kami
memamerkan bendera negara, mata uang kami, miniatur alat musik tradisional,
berbagai baju daerah yang dapat dipakai oleh pengunjung untuk berfoto, dan lain
sebagainya. Disitu juga kami menempel poster situs-situs wisata maupun
tempat-tempat yang cukup mahsyur di Indonesia, seperti masjid Istiklal, candi
Borobudur, candi prambanan, dan lain-lain.
“Kalian kan negara muslim, kok ada candi-candi sih.”, ujar kawan Turki
saya.
“(Saya masih kurang yakin atas pe-label-an negara muslim yang diberikan
kepada Indonesia. Jadi saya hanya jawab seperti ini;) Indonesia bukan negara
muslim, namun penduduknya mayoritas muslim. Tapi banyak agama-agama resmi lain
kok yang diakui di indo, kayak Kristen katolik, protestan, hindu, budha.
Makanya, ada banyak candi juga di negara kita.”, jawab saya dengan tenang.
“Kok kalian bisa gitu? Saya sih gak suka sama yang non muslim.”,
jawabnya nyelonong.
“Hush! Gak boleh gitu tau. Kita tuh harus toleransi. Menghormati orang
lain yang mau nganut agama mereka. Alhamdulillah sih orang indo toleransi kalau
urusan kayak gini.”, saya mencoba memberikan pengertian.
“Itulah orang Indonesia ya. Kami orang Turki sayangnya gak bisa kayak
gitu tuh.”, ujarnya penuh keyakinan.
“Berusaha supaya gak gitu ya.”, tersenyum penuh arti.
Sebenarnya kita tidak bisa
menge-general-kan berdasarkan sebuah sumber. Namun jika kita perhatikan, kedua
cerita ini bisa menjadi pelengkap bagi satu-sama-lain.
Mengenai orang Turki tidak bisa toleransi agama. Alhamdulillah sampai saat
ini saya tidak pernah melihat pertikaian atau apapun semacamnya yang disebabkan
ketidaktoleransian. Mungkin teman saya itu bisa saja berkata, “Tidak bisa
toleransi dalam agama.”, namun dalam tingkah laku? Nyatanya, ia tetap
menghormati orang yang berkeyakinan berbeda dengannya.
Terima
Kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembacanya.
Kritik dan
saran bisa dilampirkan J
Mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan, karena tujuan saya
hanya ingin sharing pengalaman.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih