Pernahkah kamu bertanya-tanya, “kenapa sih suka ada orang yang tidak berkenan memasang foto yang visual dirinya di ranah publik, feed instagram misalnya?
Mungkin ada pendapat yang
saling sahut-menyahut seperti, “wah, doi insecure ini mah, pasti.” atau “ukhti-ukhti,
wajar.” atau “nggak ada kuota kali ya”, dll.
Terlepas dari apapun
alasannya, hal mendasar yang harus kita pahami adalah bahwa itu merupakan hak
dirinya pribadi. Mau nge-post sesuatu atau tidak, tidak lantas membuat
pengaruh yang signifikan dalam hidupmu, bukan? Lagipula, sudah seharusnya kita
untuk selalu berusaha berhusnudzan kepada semua orang. Biar nggak bikin ribet
diri sendiri, gitu aja sih.
Aku akan kilas balik ke
kejadian beberapa tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku kuliah S1. Mungkin
ingatanku kurang sempurna dalam menggambarkan setiap detailnya, namun aku bertujuan
untuk menyampaikan poin pentingnya.
Hari itu cukup cerah, betapa
sumringah dan merekahnya hati ini ketika mendapatkan informasi bahwa akan ada
kegiatan yang diselenggarakan di Wisma Duta KBRI Ankara. Bagaikan angin segar
bagi para diaspora Indonesia disana, aku dengan sangat antusias ingin menghadirinya.
“Modus” bagi para perantau yang berkesempatan hadir di kegiatan-kegiatan KBRI adalah
bisa membayar rindu akan masakan nusantara yang agak sulit untuk di-eksekusi di
dapur apartemennya masing-masing.
Tak kusangka selain hari
yang cerah, hari tersebut juga cukup baik untuk mengubah persepsiku atas
sesuatu yang awalnya tak kuanggap “serius”. Seusai kegiatan di Wisma, kami
semua bergegas untuk kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Bukan maksud
hati mencuri dengar, tapi memang terdengar dengan sangat jelas di telingaku,
sebuah percakapan yang membuatku tak enak hati jika tak bereaksi apa-apa. Percakapan
antar anak lelaki sebayaku,
“eh, kamu tahu nggak si AAA
(menyebut nama seorang gadis)?”, tanya anak laki-laki pertama.
“nggak, kenapa? Cantik nggak
anaknya?”, tanya anak laki-laki kedua.
“beuh.. cantik banget. Gak
percaya? Nih liat instagramnya.”, anak laki-laki pertama menunjukkan sesuatu.
“wah... si BBB juga oke tau
(sambil mencoba mencari instagramnya)”, anak laki-laki kedua menyela.
Entah kalian mau menilai
aku apa atas responku kemudian, tetapi aku sebagai seorang perempuan yang mendengar
degan jelas hal tersebut, dan mereka tahu aku sedang berada di lingkungannya,
merasa....sangat.....tidak....nyaman. Aku pun berkata halus pada mereka,
“ih kalian teh liat-liat
instagram cewek.”, sambil berusaha mengontrol kata-kata yang akan kulontarakan.
“ya gak apa-apa lah, kan
dianya juga upload (sembil terus scroll, karena ingin memperlihatkan
foto yang katanya ‘oke’ tersebut)”, jawab laki-laki kedua santai sambil terus
menatap layar telepon genggam di tangannya.
DEG! Disitu aku merasa TEMAN-TEMANKU
TERSEBUT SEDANG MELIHAT-LIHAT KATALOG, terus scroll up - scroll down.
Yep katalog? Yang menjual suatu produk. Dan aku tidak ingin menyamakan diri ini
dengan sebuah produk, yang bisa sesuka hati dilihat-lihat.
Hari itu merupakan turning
point bagiku. Aku disadarkan akan dark side dari media sosial,
meskipun tidak sekelam itu. Tapi hal tersebut cukup memberikan tamparan yang
keras bagiku. Memang akupun masih belum sempurna. Masih ada pula fotoku yang
bertebaran, bahkan terkadang memang sengaja publikasi untuk tujuan “have fun”.
Namun jauh di lubuk hati, aku inginkan untuk meminimalisir hal tersebut. Aku tidak
ingin orang dengan mudahnya melihat-lihat “katalog” beratasnamakan diriku.
Oh iya, tentang kedua
temanku tersebut. Tenang, mereka sesungguhnya anak yang sangat baik. Hanya berbeda
perspektif denganku. Bisa jadi juga mereka memiliki intention lain dari
hal tersebut. Kisah ini mengingatkan aku juga akan perkataan yang disampaikan oleh
seorang teman yang lain,
“Wits, kamu kan aktif
banget ya anaknya. Selalu ada di setiap kegiatan. Tapi kok nggak ada ya anak laki-laki
yang ngomongin kamu?”, tanya temanku.
Aku sangat kaget mendengar
pernyataan sekaligus diberikan pertanyaan seperti itu. Aku tidak menjawabnya,
hanya menjatuhkan pandangan isyarat aku tidak memahami maksud dari ucapannya
barusan.
“Iya kan kita cowok-cowok
kalau kumpul tuh suka ngomongin cewek. Misalnya sih teteh A karena blablabla, teteh
B karena bliblibli, atau C karena blublublu (secara fisik, karakteristik, dsb).
Tapi kamu tuh nggak sama sekali. Aku nggak pernah denger ada yang bicara
tentang kamu.”, katanya panjang lebar.
Sebenarnya itu hak mereka
dan bukan urusanku juga. Tapi disitu, hati ini tidak bisa merasa tenang. Aku
kesal karena merasa harga diri sebagai perempuan sedang dicabik-cabik saat itu.
Meski yang dibicarakan bukanlah tentangku, tapi aku merasa tidak sampai hati mendengar
yang dibicarakan tentang teman-temanku. Jujur setelah hari itu aku jadi seperti
illfeel. Saat itu mataku juga seperti membendung air mata, tak kuasa
menahan sesak di dada, namun aku tak boleh keluarkan. Aku menjawab,
“Hah? Kalian kalau
ngumpul suka ngomongin perempuan? Kayak nggak ada kerjaan aja deh. Dan satu
lagi, nggak ada cowok yang ngomongin aku? Alhamdulillah banget ya Allah. Aku mah
bersyukur banget. Karena aku nggak mau dan nggak berharap juga ada cowok-cowok
yang ngomogin aku untuk perihal semacam itu (bukan dalam konteks yang penting
dan bermanfaat).”, cecarku.
Tidak ada sedikitpun rasa
iri karena perempuan lain lebih sering dibicarakan. Aku malah akan merasa
sangat takut jika ada orang yang membicarakanku dalam konteks seperti itu. Well,
setidaknya hari itu aku jadi mengetahui setitik debu sudut dunia yang lain,
dunianya anak laki-laki.
Dia malah bertanya lagi, “kalian
kalau cewek-cewek suka ngomongin cowok nggak pas lagi ngumpul?”
“nggak lah (dalam konteks
yang seperti mereka lakukan). Ngapain juga.”, jawabku yang mulai agak sewot dan
malas menjawab pertanyaannya.
Dua kejadian yang bisa
kukatakan cukup menaikkan pitamku namun memberikanku banyak ruang untuk
membentuk sudut pandang yang baru agar lebih bijak lagi dalam bertindak. Kalau kalian
perhatikan, aku menyebut teman-temanku tersebut sebagai “anak laki-laki”,
karena imo not mature enough for doing such things. inshaaAllah di hari
ini aku yakin, para “anak laki-laki” itu sudah menjadi para “pria” yang pastinya
menghargai perempuan. Allahumma aamiin.
Kalau kata temenku, “I need a man, not
a boy”.
Eh bentar kok jadi gak nyambung ya? Maap
maap. WKWK
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih