*

Pages

Friday 10 July 2020

Sebuah alasan.

Ini hanya sedikit opini dariku, seorang insan biasa yang masih sering melakukan salah dan dosa, tidak sempurna dalam mengamalkan apa yang keluar dari lisannya, tetapi selalu mengharap kasih-Nya. A note to myselfin case I forget why I decided this kind of choice.



Pernahkah kamu bertanya-tanya, “kenapa sih suka ada orang yang tidak berkenan memasang foto yang visual dirinya di ranah publik, feed instagram misalnya?

Mungkin ada pendapat yang saling sahut-menyahut seperti, “wah, doi insecure ini mah, pasti.” atau “ukhti-ukhti, wajar.” atau “nggak ada kuota kali ya”, dll.

Terlepas dari apapun alasannya, hal mendasar yang harus kita pahami adalah bahwa itu merupakan hak dirinya pribadi. Mau nge-post sesuatu atau tidak, tidak lantas membuat pengaruh yang signifikan dalam hidupmu, bukan? Lagipula, sudah seharusnya kita untuk selalu berusaha berhusnudzan kepada semua orang. Biar nggak bikin ribet diri sendiri, gitu aja sih.

 

Aku akan kilas balik ke kejadian beberapa tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku kuliah S1. Mungkin ingatanku kurang sempurna dalam menggambarkan setiap detailnya, namun aku bertujuan untuk menyampaikan poin pentingnya.

Hari itu cukup cerah, betapa sumringah dan merekahnya hati ini ketika mendapatkan informasi bahwa akan ada kegiatan yang diselenggarakan di Wisma Duta KBRI Ankara. Bagaikan angin segar bagi para diaspora Indonesia disana, aku dengan sangat antusias ingin menghadirinya. “Modus” bagi para perantau yang berkesempatan hadir di kegiatan-kegiatan KBRI adalah bisa membayar rindu akan masakan nusantara yang agak sulit untuk di-eksekusi di dapur apartemennya masing-masing.

Tak kusangka selain hari yang cerah, hari tersebut juga cukup baik untuk mengubah persepsiku atas sesuatu yang awalnya tak kuanggap “serius”. Seusai kegiatan di Wisma, kami semua bergegas untuk kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Bukan maksud hati mencuri dengar, tapi memang terdengar dengan sangat jelas di telingaku, sebuah percakapan yang membuatku tak enak hati jika tak bereaksi apa-apa. Percakapan antar anak lelaki sebayaku,

“eh, kamu tahu nggak si AAA (menyebut nama seorang gadis)?”, tanya anak laki-laki pertama.

“nggak, kenapa? Cantik nggak anaknya?”, tanya anak laki-laki kedua.

“beuh.. cantik banget. Gak percaya? Nih liat instagramnya.”, anak laki-laki pertama menunjukkan sesuatu.

“wah... si BBB juga oke tau (sambil mencoba mencari instagramnya)”, anak laki-laki kedua menyela.

Entah kalian mau menilai aku apa atas responku kemudian, tetapi aku sebagai seorang perempuan yang mendengar degan jelas hal tersebut, dan mereka tahu aku sedang berada di lingkungannya, merasa....sangat.....tidak....nyaman. Aku pun berkata halus pada mereka,

“ih kalian teh liat-liat instagram cewek.”, sambil berusaha mengontrol kata-kata yang akan kulontarakan.

“ya gak apa-apa lah, kan dianya juga upload (sembil terus scroll, karena ingin memperlihatkan foto yang katanya ‘oke’ tersebut)”, jawab laki-laki kedua santai sambil terus menatap layar telepon genggam di tangannya.

DEG! Disitu aku merasa TEMAN-TEMANKU TERSEBUT SEDANG MELIHAT-LIHAT KATALOG, terus scroll up - scroll down. Yep katalog? Yang menjual suatu produk. Dan aku tidak ingin menyamakan diri ini dengan sebuah produk, yang bisa sesuka hati dilihat-lihat.

Hari itu merupakan turning point bagiku. Aku disadarkan akan dark side dari media sosial, meskipun tidak sekelam itu. Tapi hal tersebut cukup memberikan tamparan yang keras bagiku. Memang akupun masih belum sempurna. Masih ada pula fotoku yang bertebaran, bahkan terkadang memang sengaja publikasi untuk tujuan “have fun”. Namun jauh di lubuk hati, aku inginkan untuk meminimalisir hal tersebut. Aku tidak ingin orang dengan mudahnya melihat-lihat “katalog” beratasnamakan diriku.

 

Oh iya, tentang kedua temanku tersebut. Tenang, mereka sesungguhnya anak yang sangat baik. Hanya berbeda perspektif denganku. Bisa jadi juga mereka memiliki intention lain dari hal tersebut. Kisah ini mengingatkan aku juga akan perkataan yang disampaikan oleh seorang teman yang lain,

“Wits, kamu kan aktif banget ya anaknya. Selalu ada di setiap kegiatan. Tapi kok nggak ada ya anak laki-laki yang ngomongin kamu?”, tanya temanku.

Aku sangat kaget mendengar pernyataan sekaligus diberikan pertanyaan seperti itu. Aku tidak menjawabnya, hanya menjatuhkan pandangan isyarat aku tidak memahami maksud dari ucapannya barusan.

“Iya kan kita cowok-cowok kalau kumpul tuh suka ngomongin cewek. Misalnya sih teteh A karena blablabla, teteh B karena bliblibli, atau C karena blublublu (secara fisik, karakteristik, dsb). Tapi kamu tuh nggak sama sekali. Aku nggak pernah denger ada yang bicara tentang kamu.”, katanya panjang lebar.

Sebenarnya itu hak mereka dan bukan urusanku juga. Tapi disitu, hati ini tidak bisa merasa tenang. Aku kesal karena merasa harga diri sebagai perempuan sedang dicabik-cabik saat itu. Meski yang dibicarakan bukanlah tentangku, tapi aku merasa tidak sampai hati mendengar yang dibicarakan tentang teman-temanku. Jujur setelah hari itu aku jadi seperti illfeel. Saat itu mataku juga seperti membendung air mata, tak kuasa menahan sesak di dada, namun aku tak boleh keluarkan. Aku menjawab,

“Hah? Kalian kalau ngumpul suka ngomongin perempuan? Kayak nggak ada kerjaan aja deh. Dan satu lagi, nggak ada cowok yang ngomongin aku? Alhamdulillah banget ya Allah. Aku mah bersyukur banget. Karena aku nggak mau dan nggak berharap juga ada cowok-cowok yang ngomogin aku untuk perihal semacam itu (bukan dalam konteks yang penting dan bermanfaat).”, cecarku.

Tidak ada sedikitpun rasa iri karena perempuan lain lebih sering dibicarakan. Aku malah akan merasa sangat takut jika ada orang yang membicarakanku dalam konteks seperti itu. Well, setidaknya hari itu aku jadi mengetahui setitik debu sudut dunia yang lain, dunianya anak laki-laki.

Dia malah bertanya lagi, “kalian kalau cewek-cewek suka ngomongin cowok nggak pas lagi ngumpul?”

“nggak lah (dalam konteks yang seperti mereka lakukan). Ngapain juga.”, jawabku yang mulai agak sewot dan malas menjawab pertanyaannya.

 

Dua kejadian yang bisa kukatakan cukup menaikkan pitamku namun memberikanku banyak ruang untuk membentuk sudut pandang yang baru agar lebih bijak lagi dalam bertindak. Kalau kalian perhatikan, aku menyebut teman-temanku tersebut sebagai “anak laki-laki”, karena imo not mature enough for doing such things. inshaaAllah di hari ini aku yakin, para “anak laki-laki” itu sudah menjadi para “pria” yang pastinya menghargai perempuan. Allahumma aamiin.

 

Kalau kata temenku, “I need a man, not a boy”.

Eh bentar kok jadi gak nyambung ya? Maap maap. WKWK


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...