*

Pages

Sunday, 28 June 2020

Witsqa Masak: Rabokki (Ramyeon + Tteokbokki)

Rabokki merupakan akronim dari Ramyeon dan Tteokbokki, termasuk snack yang biasa dihidangkan di negeri ginseng. Ternyata membuatnya nggak sulit! Ada solusi sebagai pengganti dari gochujang, yang cukup pricy jika di Indonesia. Karena saya orang sunda, jadi emang seneng banget ama si tteok ini. Cobain deh! Semoga cocok juga ya di lidah kalian. Bahan-bahannya cukup mudah untuk ditemukan.
DISCLAIMER! Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasal dari mana saja; youtube, blog, resep turun-temurun, dll. Selamat mencoba!
Rabokki

Bahan-bahan:
Tteokbokki
·  Tepung beras 6 sdm
·  Tepung Tapioka 5sdm
·  Air mendidih 13-14 sdm
·  Garam ½ sdm

Saus
  • Saos sambal 3 sdm
  • Saus tiram 1 sdm
  • Saus tomat 1 sdm
  • Kecap manis 1 sdm
  • Cabe bubuk 1 sdm
  • Gula pasir 1 sdm
  • Air 250 ml
·        Ekstra
  •       Telur
  •       Mie instan kering
  •       Keju
·      
      Langkah-langkah:
Tteok
  1.  Sangrai tepung beras yang akan digunakan.
  2.  Campurkan tepung beras yang telah disangrai, tepung tapioka dan garam. Aduk merata.
  3.  Masukkan air mendidih.
  4.  Uleni hingga kalis.
  5.  Dipotong-potong seukuran tteok sesuai selera Anda.
  6.  Rebus tteok hingga matang

 Rabokki
  1.   Masukkan bahan sausnya ke dalam wajan.
  2.   Tuangkan 250 ml air, aduk hingga merata.
  3.   Masukkan tteok yang telah matang, telur yang telah direbus, mie instan kering, keju.
  4.   Tunggu hingga mie nya matang.
  5.   Rabokki siap dihidangkan.

 Tips:
  • Menyangrai tepung beras tujuannya untuk menghilangkan bau. Tapi, saya kelupaan nggak sangrai dulu, tapi tetap aman. Karena tepung tapioka yang digunakannya cukup banyak.
  • Uleni selagi panas. Jangan menunggu dingin. (harus gunakan air panas)
    Kalau terlalu panas, gunakan sendok dulu, kemudian setelah menghangat uleni dengan tangan sampai berbentuk adonan.
  • Supaya menjamin tteoknya matang hingga bagian dalam. Dapat dilubangi dengan tusuk gigi ataupun tusuk sate.
  • Untuk ekstra dapat menggunakan bahan-bahan sesuai selera. Bisa gunakan sosis, bisa taburkan daun bawang dan wijen, dll. 


Referensi:

Berikut adalah resep diatas dalam bentuk gambar




Share:

Wednesday, 10 June 2020

Diet Sosial Media dan Gadget

Pernah nggak sih kalian ngerasa penat banget? Tapi nggak tahu apa penyebabnya dan bagaimana solusinya? Disini aku bakalan share opiniku mengenai hal tersebut and how I cope with it.

Kesehatan atas pikiran kita adalah tanggung jawab dari diri kita masing-masing, setuju nggak? Di era yang semudah sentuhan jari untuk memperoleh berbagai informasi ini, nampaknya tidak selalu memberikan dampak yang positif. At least, buat aku. Hal ini aku sadari semenjak aku duduk di bangku kuliah S1, tidak ingat betul sejak tahun ke berapa, namun aku benar-benar mulai merutinkan self-detox dalam bentuk diet sosmed itu di awal tahun ketiga.

Aku merasa terlalu banyak informasi yang kuterima dengan aku membuka sosial media. Bahkan ada masanya informasi yang menurutku seharusnya aku bisa saja tidak mengetahuinya, jadi malah tahu. Contoh real-nya nih ya, di sosial media kan aku terhubung dengan teman-temanku dan ternyata dia disitu ada membagikan fotonya dengan seorang pria yang katanya kekasih hatinya. Di satu sisi, aku merasa tidak perlu mengetahui informasi semacam itu dan takutnya dari situ terpercik lah dosa meski sedikit demi sedikit. Intinya itu yang ada di mindset aku sewaktu dahulu. Kalian mungkin bakalan pikir, I was too naive. Tapi itu yang benar-benar aku pikirkan saat itu.

Aku nggak merutinkan diet sosmed-ku secara teratur sih. Hanya jika sudah mulai merasa overflowing by informations yang ditandai dengan emosi kurang stabil dan hilangnya kedamaian dalam pikiran. I stop for awhile. Lebih dari itu nggak hanya diet sosmed, aku juga lakukan diet gadget (utamanya handphone). Biasanya maksimal aku nggak lihat handphone itu sampai tiga hari (dengan kondisi memang tidak ada hal penting yang sedang kukerjakan yang menuntut koordinasi dengan orang lain), tapi untuk diet sosmed minimal durasinya selama satu minggu. Setelah itu biasanya aku merasa lebih segar lagi.

Tanpa disadari, banyak banget hal yang lebih bermanfaat yang kulakukan ketika diet sosmed dan gadget. Aku bisa lebih banyak bermuhasabah / berkontemplasi, banyak membaca (baik itu buku, berita maupun artikel), dan masih banyak lagi.

Aku mencoba mengidentifikasi lagi, apakah itu dikarenakan aku terlalu banyak bermain sosial media? Tidak juga. Aku mengatur batas waktu untuk tiap jenis aplikasi yang kugunakan. Yaaaa suka ngelanggar juga sih (soalnya alokasi waktu yang aku kasih hanya 1 jam untuk sosmed itu, guys wkwk), tapi aku merasa masih dalam batas manusiawi. Mungkin karena memang informasi-informasi telah terlalu bertumpuk di kepalaku tanpa kusadari, atau kondisiku pada saat itu sedang banyak yang harus dikerjakan, idk either. Kalau diilustrasikan, saat-saat seperti itu kepalaku itu isinya seperti benang yang kusut. Sehingga beberapa waktu berjarak dengan mereka adalah sebagai upaya untuk mengatur benang kusut tersebut agar kembali rapi dan lurus.

Ingat sekali ketika berkesempatan untuk diskusi dengan beberapa kakak angkatanku (ciwi-ciwi) saat S1 dulu, kami membahas tentang platform instagram. Seorang kakak kelasku mengatakan dengan penuh antusias bahwa instagram itu untuk refreshing. Scroll scroll untuk refreshing. Kemudian aku mengemukakan pendapatku yang sebaliknya, bahwa terkadang ia menambah kepenatan. Namun nampaknya aku minoritas disitu wkwk, bahkan hanya aku saja yang memiliki perspektif seperti itu. Oh iya, kenapa mesti banget aku mention kalau aku diskusi dengan ciwi-ciwi aka perempuan? Karena cara berpikir perempuan dan laki-laki itu jauh berbeda, katanya. Bisa jadi menurut laki-laki, hal sepele seperti ini mah bodo amat, yaaa aku nggak tahu.

Mungkin kalian bakal mikir, "njeh Witsqa ribet amat, yaudah close aja tuh sosial media."
Aku udah pernah lakukan itu berkali-kali, bukan karena engaging yang membuat aku kembali membukanya, tetapi dikarenakan masih ada kewajiban yang mengharuskanku memiliki sosial media dan banyak juga akun-akun yang aku ikuti dan memberikan faedah yang cukup banyak, yang nggak bakal lama aku temukan jika hanya mengurut dari buku bacaan. That's it. Mungkin aku yang harus lebih mengontrol diri aja dan menyaring informasi-informasi yang aku terima. Aku masih butuh banyak belajar. Apakah kalian memiliki pendapat?

Ini ceritaku, nggak ada yang benar dan nggak ada yang salah, yang ada hanya yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan, setuju?!

Wallahu a'lam
Share:

Cerita tentang Berfokus

Beberapa waktu yang lalu, saya berjalan didalam rumah kemudian terduduk di bangku ruang tengah. Saya fokus dengan makanan yang sedang saya nikmati, karena saya purna menyelesaikan shaum saya di hari itu (bandelnya saya tidak makan di meja makan hari itu). Sewaktu saya berjalan, saya merasa kaki saya menginjak sesuatu, dan lagi-lagi cerobohnya saya, saya hanya coba singkirkan tanpa melihatnya. Saya yang sedang terfokus dan asyik dengan hidangan yang sedang dinikmati merasakan ada yang aneh dengan telapak kaki saya itu, seperti terasa perih.  

Ilustrasi

Saya pun melirik telapak kaki saya, kaget bukan main karena darah terlihat keluar dari telapak kaki saya tersebut. Saya kaget melihat darah sendiri dan badan ini seperti membeku. Ternyata bisa jadi serpihan kaca tersebut berasal dari jam dinding yang tergedor saat kami sedang memindahkan barang-barang beberapa hari sebelumnya.

Setelah direnungkan, value yang dapat disimpulkan dari kisah ini adalah....
Jika kita fokus dengan apa yang kita kerjakan, distraksi apapun dari luar bisa terabaikan.

Starve your distractions, feed your focus 😃

Note: I am still learning though
Share:

Thursday, 4 June 2020

Kematian




Hari ini tiba-tiba ibu membahas mengenai hal ini, kemudian kami bicara. 
"Ibu nggak mau kalau ditinggal ayah, maunya ibu yang duluan", sembari menitikkan air mata. 
"Kamu nggak tau rasanya, berbeda antara ditinggal orangtua dan pasangan.", melanjutkan.
Ya, mungkin karena kita hanya tinggal dengan orangtua hingga seperempat abad, namun bersama pasangan hingga penghujung usia. Oleh sebab itu pernikahan disebut dengan ibadah terlama.
"Dia yang sudah memahami baik buruknya kita dan bersabar dengannya, bersabar pula dalam menuntun menuju kebaikan. Teman yang selalu ada membersamai."
Aku hanya dapat menatap wajah ibu.

Usut punya usut, rupanya pagi sekali ayah membuka topik mengenai hal ini.
"Ayah gak bisa kayaknya kalau ditinggal ibu, ibu harus sehat. Inginnya nanti ayah yang duluan", katanya.
Ibu yang mendengar ucapan ayah merespon, “yaudah, berdoanya biar bareng-bareng aja”. 
Aku sesungguhnya tak kuasa menahan air mata saat itu. 

***

Teringat beberapa tahun silam ibu pernah mengungkapkan keinginannya untuk menghembuskan nafas terakhir di tanah suci. Alhamdulillah ibu sempat diberangkatkan haji pada tahun 2015, namun terpisah dengan ayah yang diberangkatkan pada tahun 2016, karena kekeliruan urusan administrasi membuat ayah dan ibu terpisah jauh.

Ingat kan apa yang terjadi pada angkatan haji tahun 2015? Terdapat kejadian crane yang roboh. Sesaat setelah mendengar informasi tersebut, aku sangat tidak tenang. Aku pun sulit menghubungi ibu. Ku telepon-telepon tapi tak ada jawaban. Sampai-sampai orang-orang yang mengetahui bahwa ibuku sedang beribadah di tanah suci, menghubungiku secara beruntun, menanyakan kabar dan keadaannya (ada beberapa yang langsung menasihati untuk siap bersabar dengan segala ketentuan-Nya).

Aku menangis dan menangis takut ibu dilanda kesulitan, tak pernah berani memikirkan kemungkinan terburuk. Saat itu tak ada ayah yang menemani ibu. Ibu berangkat seorang diri (meski pada praktiknya bersama rombongan). Aku pun teringat harapan ibu yang selalu diungkapkan di hari-hari sebelum keberangkatannya, tentang ibu yang ingin menghembuskan nafas terakhir di tanah suci.

Aku mengangkat kedua tanganku dengan berat dan namun terus berurai air mata, 
“ya Allah aku ikhlaskan segala ketentuan-Mu atas ibuku. Aku ikhlaskan segala skenario-Mu.”
Berat sekali aku mengungkapkan kalimat-kalimat itu. Tercekat di tenggorokanku. Tapi di lain sisi, muncul ketakutanku, jika doa-doaku sebelumnya malah memberatkan ibu. Ibu yang ingin menghembuskan nafas terakhir di tanah suci. Karena memang setiap berdoa aku selalu menyatakan ketidakmauanku ditinggalkan ibu, sangat tidak mau. Setelah itu, aku mempertanyakan diriku sendiri, 
"Apakah selama ini aku bukanlah anak baik? Karena tidak mengikhlaskan dan mengamini keinginan ibunya sendiri."

Tak berselang lama, beberapa jam atau hari setelah itu rasanya (aku lupa). Ada telepon masuk, ternyata dari ibuku! Beliau hanya dapat berbicara sebentar. Karena saat keberangkatan aku tidak di Indonesia, aku tidak dapat memastikan segala kebutuhan ibuku terutama mengenai komunikasi. Sehingga komunikasi kami seperti benar-benar terputus.

Setelah ibu menelpon, aku langsung mengisi pulsa telepon internasional dan menelpon ibuku. Rupanya selama ini ibuku terlalu memfokuskan diri beribadah sehingga tidak menyadari ada telepon dariku. Lalu, aku bermaksud memastikan keadaan ibuku dan menanyakan tentang kejadian crane jatuh tersebut. Qadarullah, Allah maha baik. Crane terjatuh sesaat setelah ibuku kembali ke tempat istirahat, kurang lebih satu jam selisih waktunya. Tipis sekali. 

Hanya sepuluh menit kami dapat berbicara, karena terbatas atas pulsaku yang habis dan ibu yang ingin melanjutkan beribadah. Tetapi hal tersebut sudah cukup membuatku merasa lega.

***

Mengingat kejadian tersebut, aku yang biasanya langsung menyatakan, "Jangan berdo'a kayak gitu"
Hanya bisa terdiam. Karena aku mulai memahami, bisa jadi itu adalah cita-cita tertinggi seorang hamba. Hamba dengan tulang rusuknya. Aku hanya bisa menangis dan memeluk ibuku erat.






Share:

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...