*

Pages

Monday, 25 May 2020

Restarting my Life

Alhamdulillah, kemarin hari Ahad 25 Mei 2020, umat muslim telah merayakan hari kemenangannya. Meski raga sesama saudara tak dapat saling mendekat, semoga kita tetap mampu untuk memaknai Ramadan dan Idul Fitri 1441 H tahun ini. Allahumma aamiin. Semoga Ramadan kali ini menjadi Ramadan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Pernah muncul sebuah topik obrolan yang cukup menarik antara saya dan seorang teman saya. Teman saya berhasil mengaktifkan kembali sebuah sisi dari pribadi saya yang rasanya hilang beberapa saat (sebenarnya dapat dikatakan cukup lama hehe), Alhamdulillah tsumma Alhamdulillah. Terima kasih atas perantara-Nya tersebut. Jadi, saya merasa ada beberapa 'ghirah' yang dahulu sempat sangat menggebu-gebu dan saya sendiri sangat antusias dalam menyambut dan menjalaninya, namun hilang begitu saja, seiring dengan tekanan duniawi yang semu dan menjemukan. Ya, saya sangat akui dan sepenuhnya sadar akan hal tersebut.


This is what are we gonna talk about.

Dari ilustrasi diatas sudah jelas terlihat tentang apa yang ingin saya utarakan disini. To be exact: After Ramadan Resolutions.
"Oh, setelah Ramadan.", ujar saya dalam hari.
Menarik. Mungkin sudah saatnya bagi saya untuk memperbaharui resolusi dan misi hidup ini. Alhamdulillahnya selama saya merasa kehilangan 'ghirah' ini saya tidak pernah barang sedetik pun terlupa akan visi hidup yang selalu saya genggam. Belajar dari masa-masa berjuang di S1 dahulu. Ada seorang kakak senior yang mengingatkan kalau terkadang terlupa akan visi hidup. Semenjak itu, saya selalu simpan lekat dalam pikiran dan hati. Agar diri mampu untuk tetap on the right track. On the left track juga gak masalah sih. yang penting masih dalam track, hehe. Paham sama jokes aku nggak ya? Haha.

Pada intinya adalah membuat resolusi setelah Ramadan di setiap tahunnya. Saya yang akhirnya tergerak untuk 'mencoba lagi' pun bangkit dan membuka buku planner yang pernah saya buat beberapa tahun lalu. Ya. Buku tersebut berisi rencana lima tahunan saya. Saya pandang lekat-lekat, baru dua yang saya beri check mark, serta satu buah yang saya coret (tanda tidak berhasil dipenuhi), dari sekian list yang saya tuliskan. Tulisan tersebut saya buat di tahun 2017, sekarang 2020, artinya saya masih memiliki kurang lebih dua tahun lagi untuk memenuhi perencanaan-perencanaan saya tersebut, inshaaAllah jika Allah izinkan dan ridhai.

So, poin penting yang bisa kita uraikan disini dan berdasarkan yang saya jalani adalah:

  1. Miliki, jaga dan pelihara visi hidup
  2. Tentukan misi dalam mencapai visi hidup (buat list yang banyak, realistis ataupun fantastis tak apa. inshaaAllah rezeki Allah dari hal yang tidak disangka-sangka.)
  3. Buat perencanaan tahunan
    Tak apa buat perencanaan setinggi mungkin. Sehingga kita akan mengusahan berbagai cara (yang diridhai Allah tentunya) untuk dapat memenuhinya.
  4. Buat perencanaan lima tahunan
  5. Evaluasi dari setiap perencanaan kita saat sudah masuk waktu jatuh tempo
Mohon maaf dikarenakan tulisan kali ini mungkin agak kurang terstruktur dengan baik. Tapi besar harapan saya dapat dipetik ilmunya yang hanya sedikit ini.
Share:

Thursday, 21 May 2020

Tasbih / Tally Counter



Apa yang terbesit dalam benak kalian ketika membaca judul yang aku sematkan? Sebagian besar dari kalian pasti bakalan jawab, ya itu mah alat bantu supaya pas lagi zikiran nggak lupa itungan aja sih ya. Atau ternyata ada hal lain? Boleh banget di-share di kolom komentarnya. Hehe



Disini aku nggak akan ‘men-tarbiyah’ tasbih itu apa, dzikir itu apa, dst. Tapi aku bermaksud membagikan hal yang mungkin terdengar biasa saja di telinga kalian, tapi ini tuh benar-benar membuat aku melek dan lebih aware lagi. Ini tentang hubunganku dengan mereka, tasbih digital itu, atau yang punya nama keren tally counter. Yang aku pahami tuh, yang namanya ibadah baiknya gak perlu diumbar-umbar, yes, pasti setuju semua dong. Nah, tapi aku sempat merasa ada satu hal yang kontradiksi gitu, “lah kok katanya jangan diumbar-umbar, tapi kenapa tasbih / tally counter ada di tangan, kan orang jadinya bisa liat”. Aku bertanya-tanya, tapi tetap dalam ruang husnudzan, inshaaAllah. Waktu itu mungkin aku juga lagi lupa, kalau ada sebuah hadits yang bunyinya seperti berikut. 

عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِDari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Lagian kenapa pula aku mesti merhatiin sekitar ampe segitunya, kan? Tapi yang namanya kepo, tuh bikin pingin tahu banget (yaiyalah wkwk, kalau bikin jadi nggak pingin tahu malah aneh). Cuma gak mungkin juga kan tiba-tiba tanya stranger kayak gitu, bisa-bisa langsung kabur dianya.

Nah qadarullah, Allah tuh baik banget, ngasih aja gitu momen yang pas ke aku. Saat itu, aku lagi kumpul sama teman-teman, dan diantara teman yang ada tuh ada seseorang yang aku anggap paling paham dan ilmunya tinggi. Kutanya lah apa yang mengganjal di hati dan pikiranku selama ini. Kemudian dia diam sejenak dan menarik napas, lalu menjawab

“Gini teh. Memang betul segala bentuk ibadah itu baiknya hanya kita dan Allah saja yang mengetahui. Namun untuk kasus yang teteh tanyakan itu, situasinya agak berbeda. Berbedanya bagaimana? Kita ini manusia, seringnya lupa dan tak luput dari dosa. Jadi dengan adanya tasbih / tally counter di tangan kita, membuat kita yang awalnya sedang bengong aja itu, jadi ingat untuk merubah haluan jadi dzikiran. Anggap aja alat-alat tersebut itu sebagai perantara pengingat supaya tetap dan terus berdzikir. Gitu teh.”

Beliau menjawab dengan tenang, tertata dan lembut. Iya juga sih, terkadang kan ketika kita melakukan perjalanan dari rumah entah ke market, kampus, atau kemanapun itu, nah, pada saat di perjalanan mungkin malah bengong aja, memikirkan hal yang nggak jelas juga, tahu-tahu udah sampai aja di tempat tujuan. Agak sayang juga ya sama waktu yang ada yang sebenarnya bisa lebih bermanfaat.

Lagipula, berdzikir itu adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selain dapat menenangkan hati, berdzikir juga bermanfaat untuk memberikan ketenangan pikiran. Rasulullah SAW juga sering menggunakan waktu luangnya untuk berdzikir. Karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk ibadah dan bisa dilakukan sebanyak-banyaknya. Sebagaimana yang tertulis dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 41, yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.”

Kemudian ibunda Aisyah r.a. berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Artinya: “Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Nah mungkin dari hal tersebut bakalan memicu pertanyaan selanjutnya, yaitu kalau nggak ada tasbih / tally counter bagaimana?
Inget ya, benda-benda tersebut tuh hanya perantara. Jangan sampai harus banget ada benda-benda tersebut (khawatir tanpa sengaja, kita jadi malah mencederai akidah jika bergantung pada keberadaannya). Jadi, dzikir itu mesti jalan terus ketika ada maupun tidak ada tasbih / tally counter ya! Tapi kalau tujuannya ingin keep on track udah berapa banyak dzikir kita, ini ada tips dari Wirda Mansur yang pernah aku lihat di channel youtube nya, diantaranya:
1.         Gunakan kertas yang disobek-sobek menjadi 33 bagian (kecil-kecil saja)
2.         Kemudian kertas-kertas tersebut dibuat bola-bola
3.         Ketika mau mulai berdzikir, simpan bola-bola tersebut di kanan (misal).
4.         Jika mulai menghitung, pindahkan bolanya ke kiri.
5.         Dan seterusnya.
Ada rasa menyenangkan juga, karena serasa sembari memainkan bola-bola tersebut, katanya.

Cerita Tentang Dzikir
Mungkin kita semua sudah tidak asing lagi dengan hadits berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi SAW bersabda,
كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
“Dua kalimat yang dicintai oleh Ar Rahman, ringan diucapkan di lisan, namun berat dalam timbangan (amalan) yaitu subhanallahi wa bihamdih, subhanallahil ‘azhim (Maha Suci Allah, segala pujian untuk-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 7563 dan Muslim no. 2694)

Nah, ada seorang temenku tuh yang mengamalkan ini, dia dawamkan terus. Voila! Kemudahan selalu menghampirinya. Lagi jalan, mau turun pakai lift (karena dia tinggal di lt. 5), eh liftnya langsung datang tanpa perlu dia nunggu lama. Ketika mau naik bis, sesampainya dia di halte tepat bersamaan dengan bis yang ingin ditujunya tiba. MashaaAllah banget lah kekuatan dzikir tuh.

Yaaa.... Aku memang belum ahlul dzikir, diantara kalian juga mungkin ada yang belum. Setidaknya kita semua berusaha ya! Kalau sudah ada kawan yang ahlul dzikir dan baca artikel ini, doakan kami para pejuang dzikir ini ya. Hehe

Oh ya, apakah teman-teman sudah pernah mendengar kisah Imam Ahmad bin Hanbal dan tukang roti? Kisah ini tuh benar-benar melekat banget dipikiranku. Aku akan ceritakan ulang yaaa. Biar tidak menghilangkan esensinya, ceritanya ini akan aku sadur dari link ini.
Begini ceritanya...

Imam Ahmad bin Hanbal r.a. (murid Imam Syafi’i) yang dikenal sebagai Imam Hanbali. Di masa akhir hidup beliau bercerita, 
  “Suatu ketika (ketika saya sudah usia tua) saya tidak tahu kenapa ingin sekali menuju ke salah satu kota di Irak –dalam manaqib Imam Ahmad beliau menuju Bashrah.” 
Padahal tidak ada janji sama orang dan tidak ada hajat. Akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal r.a. berangkat sendiri menuju ke kota Bashrah. 

Beliau meriwayatkan 
  “Saat tiba di sana waktu Isya’, saya ikut salat berjamaah isya di masjid, hati saya merasa tenang, kemudian tiba-tiba saya ingin istirahat.”
Selepas salat dan jamaah bubar, Imam Ahmad ingin tidur di masjid, tiba-tiba sang marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya,
  “Kenapa Syaikh, mau ngapain di sini?" 
term “Syaikh” dalam tradisi Arab bisa dipakai untuk 3 panggilan, bisa untuk orang tua, orang kaya ataupun orang yang berilmu. Panggilan Syaikh dikisah ini panggilan sebagai orang tua, karena imam Ahmad kelihatan sebagai orang tua.

Marbot tidak mengetahui kalau beliau adalah Imam Ahmad, dan Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya. Di Irak, semua orang kenal siapa Imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadis, beliau hafal sejuta hadis, sangat saleh dan zuhud. Ketika itu belum ada teknologi kamera dan media sosial seperti sekarang, sehingga orang tidak tahu wajahnya, hanya saja namanya sudah terkenal. Kata Imam Ahmad bin Hanbal r.a., 
  “Saya ingin istirahat, saya musafir.” 
  “tidak boleh, tidak boleh tidur di masjid.”, jawab marbotnya.  
Imam Ahmad melanjutkan bercerita, 
  “Saya didorong-dorong oleh orang itu disuruh keluar dari masjid. Setelah keluar masjid, maka dikuncilah pintu masjid. Lalu saya ingin tidur di teras masjid.” 
Ketika sudah berbaring di teras masjid marbotnya datang lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad.
  “Mau ngapain lagi, Syaikh?” tanya marbot. 
  “Mau tidur, saya musafir,” jawab Imam Ahmad. 
Lalu marbot berkata, 
  “Di dalam masjid tidak boleh, di teras masjid juga tidak boleh.” 
Imam Ahmad diusir. 

(Disini sesungguhnya aku agak keki, kok gitu amat ngusir-ngusirnya. Tapi Allah Maha Tahu yang terjadi selanjutnya...)

Imam Ahmad bercerita, 
  “Saya didorong-dorong sampai jalanan”. 
Di samping masjid ada penjual roti (rumah kecil sekaligus untuk membuat dan menjual roti). Penjual roti ini sedang mengolah adonan roti, sambil melihat kejadian Imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tadi. Saat Imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh, 
  “Mari Syaikh, anda boleh nginap di tempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil.” 
Imam Ahmad menyetujuinya. Imam Ahmad masuk ke rumahnya, duduk di belakang penjual roti yang sedang membuat roti (dengan tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir). 

Penjual roti ini punya perilaku yang bisa dibilang unik, kalau Imam Ahmad mengajak berbicara, maka ia jawab. Kalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar. Saat meletakkan garam mengucap istighfar, memecahkan telur dengan istighfar, mencampur gandum mengucap lagi istighfar. Selalu mengucap istighfar. 

Imam Ahmad memperhatikan terus. Lalu imam Ahmad bertanya, 
  “Sudah berapa lama kamu lakukan ini?” 
Orang itu menjawab, 
  “Sudah lama sekali Syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan.”
Imam Ahmad bertanya, 
  “Apa hasil dari perbuatanmu ini?”
Orang itu menjawab, 
  “(berkah wasilah istighfar) tiada hajat yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. Semua yang saya minta ya Allah, langsung dikabulkan”.

Nabi SAW pernah bersabda: “Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya”. 
Lalu orang itu melanjutkan, 
  “Semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah kabulkan.”
Imam Ahmad penasaran kemudian bertanya, 
  “Apa itu?”
Penjual roti menjawab, 
  “Saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad bin Hanbal.”
Sejurus kemudian Imam Ahmad bin Hanbal bertakbir, 
  “Allahu Akbar, Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan karena istighfarmu.”

Penjual roti terperanjat, memuji Allah, ternyata yang di depannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Wallahu A’lam.

***

Jujur! Membaca kisah ini berkali-kali selalu memberikan efek yang sama ketika tiba di bagian akhir bacaan. Merinding dan terharu. Selalu begitu.

inshaaAllah kita juga bisa bercermin dari tersebut. Misal sedang cuci piring. Setiap sudah membasuh sebuah piring disertai satu istigfar, shalawat, maupun dzikir lainnya. Semoga dan semoga Allah senantiasa istiqamah dan dawamkan ya!
Allahumma aamiin.



Share:

Saturday, 9 May 2020

Kekuatan dari Bersandar pada-Nya



“Hehe.. enggak jadi, teh.”, katanya ringan.
Aku terbelalak, “APA? KENAPA?”
***

Hari itu seorang temanku terlihat sangat berseri-seri, lain dari biasanya. Dia baru saja menuntaskan pendidikan S1 dan langsung bekerja di sebuah rumah sakit sebagai bagian kerohanian. Jujur, itu merupakan hal yang sangat baru kudengar. Entah aku yang kurang awas atau memang tak pernah bersinggungan dengan topik divisi kerohanian di rumah sakit. Divisi kerohanian di rumah sakit bertugas untuk membimbing pasien-pasien yang tengah meregang nyawa. Membimbingnya dengan mengingat kalamullah dengan talqin maupun lainnya. Tentu banyak kewajiban lainnya pula yang dapat kusebutkan satu per satu.
“Oh mungkin dia berseri karena itu”, ujarku sekenanya dalam hati.
Hingga terlontarlah sebuah pertanyaan dari kawanku yang lainnya,
“Gimana teh? Jadi kalau nikahnya kapan?”, tanyanya.
“InshaaAllah, do’akan ya teh, semoga tahun ini.”, jawabnya semakin berseri.
MashaaAllah rupanya ada kabar membahagiakan lainnya. Alhamdulillah aku turut berbahagia. Jawabannya sangat mantap, membuatku semakin yakin bahwa memang ia telah memiliki calon pemimpin dan pendamping hidupnya.
Lama sekali tak bertemu dengannya. Kesibukannya dengan pekerjaannya membuat ia jarang hadir bercengkrama bersama kami. Hingga suatu hari qadarullah ia menampakkan lagi diri. Teteh bertubuh mungil, bersuara lembut, yang kebaikan hatinya terpancar dari senyuman ikhlasnya. Ah terkadang aku merasa...... belum cukup menjadi wanita sebaik-baiknya wanita (secara dzahir), meragukan kelemah lembutan, suara terkadang sebesar toa masjid (maklum, mantan danton Paskibra hehe, alesan.). Entah krisis kepercayaan diri melandaku ataukah aku hanya memberikan makan rasa penasaranku, sampai-sampai aku bertanya pada kakak laki-lakiku yang memang memiliki istri dengan suara dan tingkah yang lemah lembut,
“A, laki-laki tuh sukanya perempuan yang lemah lembut gitu ya? Duh gimana dong, ade kan gak gitu-gitu banget. Jauh. Bakal ada yang suka gak ya?”, tanyaku polos.
Kakakku hanya tersenyum dan mengusap pelan kepalaku seraya berkata,
“Ya ada, lah.”, jawabnya singkat.
Kalau kalian pernah baca cerita tentang kakakku, kalian akan mengerti kenapa ia menjawab sesingkat itu saja. Hehe.
Akhirnya pada suatu hari kami dipertemukan lagi, kami berpelukan erat seperti orang yang telah bertahun-tahun tidak bertemu. Kami mengobrol banyak. Tidak, banyaknya mendengarkan pengarahan. Karena kami semua akan diberi tugas untuk acara besar yang akan diselenggarakan. Hingga pada suatu kesempatan aku bertanya, yang entah apa dengan pertanyaanku ini melukai hatinya atau tidak. Tapi jika aku tidak bertanya padanya, aku tidak akan mempelajari suatu pelajaran hidup yang berharga.
“Teh, bagaimana rencana pernikahannya?”, tanyaku sambil memerhatikan ekspresinya.
Tenggorokannya nampak tercekat. Waduh, aku salah besar malah nanya!
Dia tersenyum, “Qadarullah teh, bukan jodohnya. Tidak jadi.”, ia menyunggingkan senyum manisnya.
“Ih teh maaf malah nanya. Harusnya Witsqa gak nanya ya teh. Tapi, kalau boleh tahu aja ini mah, dan tidak menyakitkan teteh. Kenapa nggak jadi?”, tanyaku masih penasaran sekaligus ada perasaan sedih menyempil dalam hati.
“Tenang ih teh. Nggak apa-apa kok. Ya gitu teh, jadi tante saya satu kantor gitu sama ikhwannya. Dan di kantor pun nampak perilakunya tidak terlalu baik. Jadi tante saya sarankan untuk jangan teruskan. Jadi nggak kami teruskan.”, jawabnya panjang lebar.
Terlihat ia menolak menyebutkan bentuk perilaku yang tidak terlalu baiknya itu seperti apa. Namun aku juga sudah tak sampai hati bertanya lebih jauh.
“Teh, teteh sedih nggak?”, tanyaku dengan wajah penuh kesedihan.
Karena jujur mendengarnya menyayat hatiku.
“Alhamdulillah nggak lah teh. Alhamdulillah Allah tunjukkan di waktu kami belum naik pelaminan, kalau udah? Wah bakalan jauh lebih susah kan.”, katanya dengan senyum yang pasti.
Disitu aku yakin betul bahwa kawanku itu memang tidak terluka sama sekali. Keyakinan dan kebergantungannya kepada Allah SWT yang membuatnya teguh. Aku yakin. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah.
Usia seperempat abad memang sudah cukup rawan akan topik ini. dorongan akan stigma masyarakat terkadang menghantui, menghasilkan sebuah krisis, bernama quarter-life crisis. Aku termasuk yang menolak adanya krisis semacam itu, selama aku berdiri diatas kakiku dengan bersandar pada Yang Maha Esa dan terus berusaha,  aku merasa tak perlu ada yang di khawatirkan. Namun terkadang, inner circle dengan segala tuntutannya membuat diri tak bisa bersantai dalam menjalani hidup. Sebuah hal yang perlu dievaluasi sampai ke akarnya.
Dari cerita kawanku ini, membuat aku teringat akan sebuah nasihat. Jika kita gagal dalam suatu hubungan yang akan mencapai jenjang yang serius, “you are one step closer to the right person”. Biarkan Allah yang pilihkan berdasarkan penglihatan-Nya, apa yang terlihat baik di mata kita, itu hanya luarnya saja. Allah lebih tahu isi hati, luar dan dalam setiap hamba-Nya. Itu yang selalu kupegang teguh. Lagipula, apa-apa yang Allah takdirkan untukku, takkan pernah melewatkanku.
Kalau kata QS Al-Insyirah : 8 mah,
“Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

“Tapi kudu usaha!”, ujar Ibu berulang kali. Hehehehehe.
***

Wits, kamu ngomong macem begini kayak yang pernah mengalami aja deh.
Who knows! 😉

Share:

Friday, 1 May 2020

Ust. Hanan Attaki - Siapa Orang yang Berusia 1400 Tahun?


Artikel ini berisi ringkasan materi atas ilmu yang diperoleh, dengan harapan membagikannya menjadikan amal jariyah dan menjadi pengingat dikala lupa. Allahumma aamiin.
Do’akan semoga istiqamah, ya!

“Siapa Orang yang Berusia 1400 Tahun?”
Oleh: Ustadz Hanan Attaki

 

Salah satu manfaat dari mempelajari sejarah terdapat pada Q.S. Hud ayat 120 yang berbunyi,
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ ۚ وَجَآءَكَ فِى هَٰذِهِ ٱلْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
Terjemah: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”

مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ = meneguhkan hati
Atau dengan kata lain, manfaat dari mempelajari sejarah adalah mempertajam nalar. Jadi ketika kita melihat sesuatu, kita mampu untuk langsung menyimpulkan dan memutuskan sikap apa yang harus diambil. Karena sesuatu tersebut bukanlah hal yang baru, melainkan pernah terjadi dan sudah ada hasilnya.

Sehingga, orang yang senang membaca sejarah bukanlah orang yang hidup 60 tahun, melainkan ribuan tahun. Sudah memiliki banyak pengalaman, sehingga takkan gelagapan dalam menghadapi suatu permasalahan. Ia bisa berusia 1000 tahun, 2000 tahun, tergantung sepanjang apa sejarah yang ia baca. Sejarah itu selalu terulang. Karena itu sunatullah. Jika mengikuti Rasulullah maka ini hasilnya. Jika mengingkari maka ini hasilnya.

Alur dampak dari banyak membaca sejarah

Realitas yang baru tetap harus dianalisa dan diperhatikan. Namun semua itu tidak terlepas dari pola kejadian sejarah. Realitas yang baru mungkin muncul pada hal-hal yang detail. Namun secara garis besar, hal tersebut pernah terjadi. Ingat pula kata para ahli, ”Siapa yang kehilangan akar / akses sejarah, maka ia kehilangan referensi bersikap.
    
Wallahu ‘alam bissawab.


Catatan: Tujuan saya menuliskan ceramah dari ustadz-ustadz yang saya dengar adalah sebagai obat saat terlupa. Baik itu lupa karena tidak dapat mengingat dengan baik, ataupun lupa karena khilaf. Terkhusus bagi saya, saya termasuk orang yang pelupa (tidak dapat mengingat dengan baik). Padahal saya sangat senang mendengarkan cerita sejarah, namun perihal nama tokoh dan waktu saya kurang dapat mengingatnya dengan baik. Harapannya dengan menuliskannya dapat menjadi obat. Obat ketika lupa dengan membacanya kembali atau dengan klik tautan videonya.

Dari penulis blog ini
Pada suatu waktu, saya sedang memiliki beban yang dirasa cukup berat dan dapat dikatakan cukup stressful dalam menghadapinya. Ternyata hal tersebut mempengaruhi ibu dan ayah saya dirumah, karena mereka senantiasa melihat aktivitas saya selama dirumah. Saya sungguh merasa bersalah karena membuat mereka memikirkan keadaan saya atas apa yang sedang saya rasakan saat itu, saya tidak pernah bermaksud melibatkan mereka. Segala cara telah ditempuh demi saya dapat merasa lebih tenang lagi dalam menjalani hari-hari. Alhamdulillah cukup berbuah. Meski kali ini saya lebih berhati-hati dikarenakan sesungguhnya tekanan itu masih ada, tapi saya coba sembunyikan dari mereka agar tidak membebani pikiran mereka yang pada dasarnya sudah memiliki banyak hal lain yang dipikirkan.
Situasi ini terjadi setelah sistem karantina dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19 dicanangkan, sehingga kami sekeluarga dapat shalat berjamaah dirumah lebih sering. Meski jadwal work from home (WFH) nya ayah silih bergantian dengan kolega kerjanya. Suatu hari, sebelum mendirikan shalat, ayah saya pernah bertanya kepada saya,
“Ka, apakah bisa ketika ada suatu masalah, terus bisa selesai gitu aja tanpa kita perlu ngapa-ngapain?”
Saya pun berpikir sejenak, karena saya menerka-nerka jawaban yang  ingin ayah dengar adalah candaan ataukah serius. Lalu saya menjawab,
“Kalau pakai logika manusia, nggak mungkin sih, yah. Tapi, kalau mau mengingat ke sirah nabawiyyah, kisahnya siti Maryam. Yang tiba-tiba Allah hadirkan buah-buahan....”
Belum juga saya menamatkan kalimat saya, ayah langsung memotong,
“Sip. Cukup. Nah itu paham, ya.”
“Rezeki itu datangnya dari arah tidak disangka-sangka”, saya ingin melanjutkan, namun ayah sudah langsung mengisyaratkan kepada saya agar segera mengumandangkan iqamah.
Disitu saya paham, sesungguhna orangtua saya juga sudah kebingungan untuk meng-encourage saya. Maafkan anandamu ini ya, ayah, ibu. Saya tak pernah bermaksud seperti itu.

Share:

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...