Apa yang terbesit dalam benak kalian ketika
membaca judul yang aku sematkan? Sebagian besar dari kalian pasti bakalan
jawab, ya itu mah alat bantu supaya pas lagi zikiran nggak lupa itungan aja sih
ya. Atau ternyata ada hal lain? Boleh banget di-share di kolom
komentarnya. Hehe
Disini aku nggak akan ‘men-tarbiyah’
tasbih itu apa, dzikir itu apa, dst. Tapi aku bermaksud membagikan hal yang
mungkin terdengar biasa saja di telinga kalian, tapi ini tuh benar-benar membuat
aku melek dan lebih aware lagi. Ini
tentang hubunganku dengan mereka, tasbih digital itu, atau yang punya nama
keren tally counter. Yang aku pahami tuh, yang namanya ibadah baiknya
gak perlu diumbar-umbar, yes, pasti setuju semua dong. Nah, tapi aku
sempat merasa ada satu hal yang kontradiksi gitu, “lah kok katanya jangan
diumbar-umbar, tapi kenapa tasbih / tally counter ada di tangan, kan
orang jadinya bisa liat”. Aku bertanya-tanya, tapi tetap dalam ruang husnudzan,
inshaaAllah. Waktu itu mungkin aku juga lagi lupa, kalau ada sebuah hadits yang
bunyinya seperti berikut.
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ
إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِDari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya
mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang
hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka
hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam
Ahli Hadits)
Lagian kenapa pula aku mesti merhatiin
sekitar ampe segitunya, kan? Tapi yang namanya kepo, tuh bikin pingin tahu banget
(yaiyalah wkwk, kalau bikin jadi nggak pingin tahu malah aneh). Cuma gak
mungkin juga kan tiba-tiba tanya stranger kayak gitu, bisa-bisa langsung
kabur dianya.
Nah qadarullah, Allah tuh baik banget,
ngasih aja gitu momen yang pas ke aku. Saat itu, aku lagi kumpul sama
teman-teman, dan diantara teman yang ada tuh ada seseorang yang aku anggap
paling paham dan ilmunya tinggi. Kutanya lah apa yang mengganjal di hati dan
pikiranku selama ini. Kemudian dia diam sejenak dan menarik napas, lalu
menjawab
“Gini teh. Memang betul segala
bentuk ibadah itu baiknya hanya kita dan Allah saja yang mengetahui. Namun
untuk kasus yang teteh tanyakan itu, situasinya agak berbeda. Berbedanya
bagaimana? Kita ini manusia, seringnya lupa dan tak luput dari dosa. Jadi
dengan adanya tasbih / tally counter di tangan kita, membuat kita yang
awalnya sedang bengong aja itu, jadi ingat untuk merubah haluan jadi dzikiran.
Anggap aja alat-alat tersebut itu sebagai perantara pengingat supaya tetap dan
terus berdzikir. Gitu teh.”
Beliau menjawab dengan tenang, tertata dan
lembut. Iya juga sih, terkadang kan ketika kita melakukan perjalanan dari rumah
entah ke market, kampus, atau kemanapun itu, nah, pada saat di perjalanan
mungkin malah bengong aja, memikirkan hal yang nggak jelas juga, tahu-tahu udah
sampai aja di tempat tujuan. Agak sayang juga ya sama waktu yang ada yang
sebenarnya bisa lebih bermanfaat.
Lagipula, berdzikir itu adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Selain dapat menenangkan hati, berdzikir juga
bermanfaat untuk memberikan ketenangan pikiran. Rasulullah SAW juga sering
menggunakan waktu luangnya untuk berdzikir. Karena hal tersebut merupakan salah
satu bentuk ibadah dan bisa dilakukan sebanyak-banyaknya. Sebagaimana yang
tertulis dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 41, yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا
اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.”
Kemudian ibunda Aisyah r.a. berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Artinya: “Rasulullah selalu berdzikir
kepada Allah dalam setiap kesempatannya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Nah mungkin dari hal tersebut bakalan
memicu pertanyaan selanjutnya, yaitu kalau nggak ada tasbih / tally counter
bagaimana?
Inget ya, benda-benda tersebut tuh hanya
perantara. Jangan sampai harus banget ada benda-benda tersebut (khawatir
tanpa sengaja, kita jadi malah mencederai akidah jika bergantung pada
keberadaannya). Jadi, dzikir itu mesti jalan terus ketika ada maupun tidak ada
tasbih / tally counter ya! Tapi kalau tujuannya ingin keep on track
udah berapa banyak dzikir kita, ini ada tips dari Wirda Mansur yang pernah aku
lihat di channel youtube nya, diantaranya:
1.
Gunakan kertas yang disobek-sobek menjadi
33 bagian (kecil-kecil saja)
2.
Kemudian kertas-kertas tersebut dibuat
bola-bola
3.
Ketika mau mulai berdzikir, simpan
bola-bola tersebut di kanan (misal).
4.
Jika mulai menghitung, pindahkan bolanya
ke kiri.
5.
Dan seterusnya.
Ada rasa menyenangkan juga, karena serasa
sembari memainkan bola-bola tersebut, katanya.
Cerita Tentang Dzikir
Mungkin kita semua sudah tidak asing lagi
dengan hadits berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Nabi SAW bersabda,
كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ
، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ سُبْحَانَ اللَّهِ
وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
“Dua kalimat yang dicintai oleh Ar Rahman,
ringan diucapkan di lisan, namun berat dalam timbangan (amalan) yaitu subhanallahi
wa bihamdih, subhanallahil ‘azhim (Maha Suci Allah, segala pujian
untuk-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 7563 dan Muslim
no. 2694)
Nah, ada seorang temenku tuh yang
mengamalkan ini, dia dawamkan terus. Voila! Kemudahan selalu
menghampirinya. Lagi jalan, mau turun pakai lift (karena dia tinggal di lt. 5),
eh liftnya langsung datang tanpa perlu dia nunggu lama. Ketika mau naik bis, sesampainya
dia di halte tepat bersamaan dengan bis yang ingin ditujunya tiba. MashaaAllah
banget lah kekuatan dzikir tuh.
Yaaa.... Aku memang belum ahlul dzikir, diantara
kalian juga mungkin ada yang belum. Setidaknya kita semua berusaha ya! Kalau
sudah ada kawan yang ahlul dzikir dan baca artikel ini, doakan kami para
pejuang dzikir ini ya. Hehe
Oh ya, apakah teman-teman sudah pernah
mendengar kisah Imam Ahmad bin Hanbal dan tukang roti? Kisah ini tuh
benar-benar melekat banget dipikiranku. Aku akan ceritakan ulang yaaa. Biar
tidak menghilangkan esensinya, ceritanya ini akan aku sadur dari link ini.
Begini ceritanya...
Imam Ahmad bin Hanbal r.a. (murid Imam Syafi’i) yang dikenal sebagai Imam Hanbali. Di masa akhir hidup beliau bercerita,
“Suatu ketika
(ketika saya sudah usia tua) saya tidak tahu kenapa ingin sekali menuju ke
salah satu kota di Irak –dalam manaqib Imam Ahmad beliau menuju Bashrah.”
Padahal tidak ada janji sama orang dan tidak ada hajat.
Akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal r.a. berangkat sendiri menuju ke kota Bashrah.
Beliau meriwayatkan
“Saat tiba di sana waktu Isya’, saya
ikut salat berjamaah isya di masjid, hati saya merasa tenang, kemudian
tiba-tiba saya ingin istirahat.”
Selepas salat dan jamaah bubar, Imam Ahmad ingin tidur di
masjid, tiba-tiba sang marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya,
“Kenapa Syaikh, mau ngapain di sini?"
–term “Syaikh” dalam
tradisi Arab bisa dipakai untuk 3 panggilan, bisa untuk orang tua, orang kaya
ataupun orang yang berilmu. Panggilan Syaikh dikisah ini panggilan sebagai
orang tua, karena imam Ahmad kelihatan sebagai orang tua.
Marbot tidak mengetahui kalau beliau adalah Imam Ahmad, dan
Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya. Di Irak, semua orang kenal
siapa Imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadis, beliau hafal sejuta
hadis, sangat saleh dan zuhud. Ketika itu belum ada teknologi kamera dan media sosial
seperti sekarang, sehingga orang tidak tahu wajahnya, hanya saja namanya sudah
terkenal. Kata Imam Ahmad bin Hanbal r.a.,
“Saya ingin istirahat, saya musafir.”
“tidak boleh, tidak boleh tidur di masjid.”, jawab marbotnya.
Imam Ahmad melanjutkan bercerita,
“Saya didorong-dorong oleh
orang itu disuruh keluar dari masjid. Setelah keluar masjid, maka dikuncilah
pintu masjid. Lalu saya ingin tidur di teras masjid.”
Ketika sudah berbaring di teras masjid marbotnya datang
lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad.
“Mau ngapain lagi, Syaikh?” tanya marbot.
“Mau tidur, saya musafir,” jawab Imam Ahmad.
Lalu marbot
berkata,
“Di dalam masjid tidak boleh, di teras masjid juga tidak boleh.”
Imam
Ahmad diusir.
(Disini sesungguhnya aku agak keki, kok gitu amat ngusir-ngusirnya. Tapi Allah Maha Tahu yang terjadi selanjutnya...)
Imam Ahmad bercerita,
“Saya didorong-dorong sampai jalanan”.
Di samping masjid ada penjual roti (rumah kecil sekaligus
untuk membuat dan menjual roti). Penjual roti ini sedang mengolah adonan roti,
sambil melihat kejadian Imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tadi. Saat Imam
Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh,
“Mari Syaikh,
anda boleh nginap di tempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil.”
Imam Ahmad menyetujuinya. Imam Ahmad masuk ke rumahnya, duduk di belakang penjual
roti yang sedang membuat roti (dengan tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya
bilang sebagai musafir).
Penjual roti ini punya perilaku yang bisa dibilang
unik, kalau Imam Ahmad mengajak berbicara, maka ia jawab. Kalau tidak, dia
terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar. Saat meletakkan garam mengucap istighfar, memecahkan telur dengan
istighfar, mencampur gandum mengucap lagi istighfar. Selalu mengucap istighfar.
Imam Ahmad memperhatikan terus. Lalu imam Ahmad bertanya,
“Sudah berapa lama kamu lakukan ini?”
Orang itu menjawab,
“Sudah lama sekali
Syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan.”
Imam Ahmad bertanya,
“Apa hasil dari perbuatanmu ini?”
Orang itu menjawab,
“(berkah wasilah istighfar) tiada hajat
yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. Semua yang saya minta ya
Allah, langsung dikabulkan”.
Nabi SAW pernah bersabda: “Siapa yang menjaga istighfar,
maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah
akan berikan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya”.
Lalu orang itu melanjutkan,
“Semua dikabulkan Allah kecuali
satu, masih satu yang belum Allah kabulkan.”
Imam Ahmad penasaran kemudian bertanya,
“Apa itu?”
Penjual roti menjawab,
“Saya minta kepada Allah supaya
dipertemukan dengan Imam Ahmad bin Hanbal.”
Sejurus kemudian Imam Ahmad bin Hanbal bertakbir,
“Allahu Akbar,
Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan
sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan karena
istighfarmu.”
Penjual roti terperanjat, memuji Allah, ternyata yang di
depannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Wallahu
A’lam.
Jujur! Membaca kisah ini berkali-kali
selalu memberikan efek yang sama ketika tiba di bagian akhir bacaan. Merinding
dan terharu. Selalu begitu.
inshaaAllah kita juga bisa bercermin dari
tersebut. Misal sedang cuci piring. Setiap sudah membasuh sebuah piring
disertai satu istigfar, shalawat, maupun dzikir lainnya. Semoga dan semoga Allah
senantiasa istiqamah dan dawamkan ya!
Allahumma aamiin.