Hai, ini aku lagi Dila. Kalian gak bosan kan lagi-lagi mendengar
kisahku? Apa malah kalian gak tahu sebenernya aku itu siapa? Hm, bagi yang
belum kenal diriku, mungkin kalian belum membaca kisahku di cerpen sebelumnya
ya J
Baiklah kita perkenalan ulang lagi saja ya! Nama panjangku tidak terlalu
penting, cukup panggil aku Dila maka aku akan menoleh kea rah sumber suara. Aku
rasa perkenalan super singkat ini sudah sangat cukup untuk memulai kisahku yang
lain kali ini.
Apakah kalian punya sahabat? Atau
mungkin ‘pernah’ punya sahabat? Atau lebih kerennya lagi kalian ‘pernah’
punya sahabat dan masih bersahabat baik hingga detik ini? Jika iya, maka bisa
Dila bilang kalian adalah salah satu orang yang beruntung. Bahagia bukan
memiliki sahabat?
Seperti temen-temen semua, Dila juga punya sahabat. Siapa yang kira
ternyata hal kecil bisa membuat Dila dan dia menjadi sahabat yang sangat baik.
Sebut saja ia Lia. Jika dihitung-hitung jalinan tali persahabatan kami telah
terajut selama lebih kurang lima tahun. Tepatnya persahabatan kami berawal dari
sewaktu kami duduk di bangku sekolah menengah atas tahun pertama.
Kami tak pernah menduga bahwa kedekatan kami akan berlanjut. Awalnya
kami hanya sering berbincang tentang beberapa hal yang ternyata memang ‘klop’.
Sistem sekolah kami agak unik, ketika akan memasuki kelas dua SMA atau dengan
lata lain ‘naik kelas’, maka semua murid-murid akan dipecah, disebar, dengan
maksud agar murid-muridnya berbaur dan bisa bergaul dengan murid-murid lain
yang berbeda karakternya. Aku dan Lia sangatlah dekat, meski tahukah kamu?
Ketika memasuki bangku kelas dua SMA kami harus memasuki kelas yang berbeda L
Tak dapat kupungkiri, Lia lebih pintar dan supeeeeeer shalehah jika
dibandingkan aku. Kami memiliki minat di bidang yang sama, Fisika. You know, fisika yang selalu menjadi
momok bagi para pelajar Indonesia. Oleh karena itulah aku sangat ingin
mendalami bidang Fisika dan ingin mengubah perspektif orang-orang mengenai image buruk dari pelajaran Fisika. Ya,
bisa dikatakan membuat orang menyukai Fisika adalah salah satu misi hidupku.
Aku dan Lia mengikuti olimpiade Fisika bersama-sama, dia sangatlah
menonjol. Keren. Tapi, tak pernah sedikitpun terbesit dalam pikiranku untuk
menaburkan rasa iri padanya, TIDAK
PERNAH. Aku sangat menyayangi Lia, seperti aku menyayangi saudaraku
sendiri, maklum Dila kan anak tunggal. Senang sekali rasanya bisa berteman baik
dengan Lia. Hobi kami itu main ke perpustakaan, terdengar membosankan ya? Tapi
begitulah kami, atau lebih tepatnya begitulah aku. Tak selalu guru memasuki
kelas tepat waktu, atau tak selalu guru menyelesaikan jam pelajaran hingga
usai. Maka disetiap kesempatan waktu luang yang aku punya, aku langsung
melarikan diri ke perpustakaan. Demi sekedar mengisi catatan pengunjung didalam
sistem atau membaca koran maupun buku-buku pengetahuan Alam maupun Umum ataupun
ngobrol-ngobrol dan bersenda gurau dengan penjaga perpustakaan.
Siapa sangka, dengan rajinnya bermain ke perpustakaan membuat aku dan
penjaga perpustakaan, seorang pria paruh baya yang sudah memiliki putri tiga
orang itu memiliki tali silaturahmi yang baik. Dan tahukah kamu, terkadang di
sela-sela kunjunganku ke perpustakaan sekolah aku bertemu dengan Lia,
sahabatku. Disana kadang kami pun saling bertanya, meski lebih banyak diamnya
daripada bicaranya. Tapi meski kami tidak banyak saling bicara, aku selalu
merasa kami sangat dekat. Hingga hal tersebut membuat bapak penjaga
perpustakaan keheranan. Suatu hari beliau memberanikan diri untuk bertanya
padaku,
“Dila, kamu sama Lia kan udah beda kelas ya, kamu diujung, Lia diujung
satunya. Kok kalian masiiiiih aja deket dari waktu kelas satu sih?”, tanyanya
penuh rasa penasaran.
Aku hanya tersenyum penuh arti. Sejujurnya, beliau adalah orang yang
pertama menanyakan hal tersebut. Bahkan kami sendiri tidak menyadari bahwa kami
sangat dekat. Hingga kini kami sudah menginjak bangku kelas tiga. Penghujung
pendidikan menengah atas. Hal tersebut dalam peribahasa Turki sih bilangnya yedigimiz ictigimiz ayri gitmez. Aku
bersyukur pada yang kuasa atas diberikannya sahabat yang mau menuntunku dan
mengingatkanku akan dunia maupun akhirat.
Ada hal unik lain yang aku rasa dan aku sadari, tapi Lia gak pernah
sadari itu. Salah satu tempat favorit kami selain perpustakaan adalah masjid.
Karena petang hari kami baru dipersilahkan pulang, membuat siswa-siswi sekolah
kami menjalankan ibadah terlebih dahulu sebelum pulang. Masjid Cami yang ada di
kompleks sekolah kami terhitung cukup besar, dan hal yang paling kusukai adalah
duduk-duduk di serambi masjid. Disana kami berbincang-bincang bersama anggota
rohis lainnya, berbagi ilmu. Di serambi masjid itu pula saya terkadang belajar
untuk ujian maupun sekedar mengerjakan pekerjaan rumah, yang berujung dengan
diskusi bersama Lia. Lebih seringnya sih Lia ngajarin aku. Hehehe.
Suatu hari aku lagi banyak banget masalah, kepala itu penat banget, mau
pecah rasanya. Pelarian terindah itu, ya masjid sekolah. Tak sabar menunggu
eaktu pulang sekolah. Jarum panjang menunjuk angka 12. Menunggu waktu pukul
empat sore terasa sangat lama sekali hari itu. Bergegaslah aku ke masjid
sekolah. Seusai melaksanakan kewajibanku sebagai muslim, aku pun duduk-duduk di
serambi masjid. Duduk melamun. Datanglah Lia, duduk disampingku dengan sedikit
membuat jarak. Kurang lebih 30 cm lah. Aku hanya menjatuhkan senyuman padanya,
seraya memberikan ucapan selamat datang. Tak ada sepatah katapun yang keluar
dari mulut kami. Kami hanya diam bersama, duduk di serambi masjid, sambil
menjatuhkan pandangan seraya melamun. Diam. Sunyi. Senyap. Hari itu aku tahu
kalau Lia juga sedang memiliki masalah, banyak pikiran. Aku hanya menebak.
Hampir satu jam kami hanya duduk melamun disana tanpa mengeluarkan satu
patah kata sekalipun. Tapi aku merasa, kami sudah saling bertukar cerita,
saling memuntahkan beban yang ada, saling mengeluarkan unek-unek akan masalah
yang kami bawa. Dan aku merasa sangat lega J
Setelah satu jam, tanpa saling melirik sedikitpun. Aku menghadapkan
wajahku pada Lia.
“Pulang yuk!”, ujarku.
Satu jam saja. Kurasa sudah lebih dari cukup. Selain daripada waktunya
aku sudah harus berada dirumah untuk membantu ibuku. Setelah hari itu, aku
semakin merasa seakan Lia adalah saudara kandungku.
***
Tiga bulan berlalu.
Pengumuman penerimaan kuliah sudah diumumkan. Lia mendapatkan apa yang
ia idam-idamkan. Aku? Aku mendapatkan universitas dengan jurusan yang keren.
Namun, itu bukan passion-ku, sehingga
aku memutuskan aku harus merantau. Mengejar cita-cita yang aku inginkan. Lia
tetap disana. Kota hujan. Sedang aku, merantau ke Jogja, kota yang tak kalah
indah yang membuatku selalu jatuh cinta.
Hampir dua tahun kami tidak bertemu, bukan karna aku yang tidak pulang
ke tanah kelahiranku, Bogor. Tapi orangtuaku yang dipindahtugaskan ke Jakarta
yang membuatku selalu tidak bisa bertemu dengan Lia. Bukan aku yang tidak
menyempatkan diri. Tapi memang tidak bisa. Meski kini rumahku itu di Ibukota,
tapi aku tahu, selalu ada yang menungguku di kampung halaman. Itu Lia J
Kamar
flat No.2, Ankara Turkey
Kamis,
11/06/15
08.14
EEST
“Persahabatan kalian sudah memasuki
nilai tertinggi, jika diam kalian lebih keras dibandingkan bicara.” - unknown
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih