dokumentasi pribadi |
Friday, 31 July 2020
Bahagia
Atribut
Diclaimer: Mungkin pembaca tidak bisa terlalu memahami dan merasakan apa yang
ingin disampaikan penulis. Namun harapannya terdapat sebuah kebaikan yang dapat
diambil hikmahnya. Diharapkan berhati-hati dalam menilai, karena artikel kali
ini mengandung unsur ke-baper-an.
Aku rindu mengenakan
atribut ini.
“Huh nyombong”, mungkin
ini yang akan kamu katakan ketika mendengar pernyataanku tersebut.
Tetapi, tidak. Tidak sama
sekali. Lebih tepatnya perasaan yang kumiliki bukanlah itu, melainkan sangat
bersyukur. Bersyukur karena atribut ini mengingatkan aku untuk menjadi
manusia yang terus memanusiakan manusia. Mengingatkan aku untuk terus bersemangat
dan ikhlas dalam pengabdian diri bagi masyarakat, terutama umat-Nya. Melelahkan?
Ya pasti. Tapi jujur, bagiku kelelahan yang penuh kebahagiaan. Aku sangat ingat
betul, seorang temanku pernah mengatakan, “Ingin beristirahat? Nanti aja di
surga-Nya.”. Kurang lebih seperti itu setelah dialihbahasakan ke bahasa
Indonesia. Powerfull banget! Aku bener-bener nggak bisa lupakan dan
bahkan selalu kuusahakan untuk selalu mengingat kalimat tersebut. Hal tersebut
meyakinkanku bahwa dunia yang fana ini memang tempatnya berlelah-lelah. Semoga kelelahan
yang dialami pun bukanlah yang sia-sia.
Itu tuh atribut apa sih? Itu
merupakan lambang dari Yayasan Percikan Iman (YPI) yang dinaungi oleh Ust Aam
Amiruddin. Tidak terasa sejak tahun 2018 aku bergabung menjadi relawan Percikan
Iman (atau lebih akrab disapa Sahabat Percikan Iman) dan hingga saat ini inshaaAllah
tidak ada niatan bagiku untuk benar-benar meninggalkannya. Sehingga, ini adalah
idul adha ketiga-ku bersama YPI. Pada dasarnya aku adalah tipe orang yang jika sudah
sangat cocok akan sesuatu, maka aku akan loyal/setia terhadap hal tersebut.
Suatu hari seorang temanku
pernah menanyakan suatu hal,
“Nanti kalau udah mulai
kuliah kamu bakalan berhenti dari kegiatan itu kan?”, tanyanya.
“Hah? Nggak lah. Kenapa juga?
Kegiatannya hanya seminggu sekali ini, terkadang nggak setiap minggu juga.
Lagipula suasana dan lingkungannya nyaman banget, aku seneng banget
alhamdulillah.”, jawabku sumringah.
Jujur memang lingkungannya sangat nyaman dan
kondusif, aku bisa belajar banyak hal baru dan terpenting orang-orangnya sangat
humoris. Namun dalam hal menjalankan program dan mencapai target, sangat patut
diacungi jempol deh. mashaaAllah.
Jadi atribut ini bukanlah
sekedar atribut, terdapat makna peluh namun pantang mengeluh, terdapat makna
kekeluargaan, tawa, canda, dan bahagia. Yang terpenting terdapat makna
keihklasan didalamnya. Iklas dalam memberi, melayani, mengayomi, membimbing dan
semuanya.
Terima kasih ya Allah atas
kesempatan berharga ini.
Terima kasih ayah dan ibu
yang sudah berinisiatif menawariku untuk turut mengambil andil dalam syiar yang
dilakukan oleh YPI.
Terima kasih kepada semua
orang di YPI yang telah memberikan seorang Witsqa sebuah ruang dan kesempatan
untuk dapat memasuki lingkaran kebaikan ini.
Terima kasih diriku,
karena kamu udah berusaha mengejar kesempatan ini dan tidak menyiakannya begitu
saja.
Friday, 10 July 2020
Sebuah alasan.
Pernahkah kamu bertanya-tanya, “kenapa sih suka ada orang yang tidak berkenan memasang foto yang visual dirinya di ranah publik, feed instagram misalnya?
Mungkin ada pendapat yang
saling sahut-menyahut seperti, “wah, doi insecure ini mah, pasti.” atau “ukhti-ukhti,
wajar.” atau “nggak ada kuota kali ya”, dll.
Terlepas dari apapun
alasannya, hal mendasar yang harus kita pahami adalah bahwa itu merupakan hak
dirinya pribadi. Mau nge-post sesuatu atau tidak, tidak lantas membuat
pengaruh yang signifikan dalam hidupmu, bukan? Lagipula, sudah seharusnya kita
untuk selalu berusaha berhusnudzan kepada semua orang. Biar nggak bikin ribet
diri sendiri, gitu aja sih.
Aku akan kilas balik ke
kejadian beberapa tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku kuliah S1. Mungkin
ingatanku kurang sempurna dalam menggambarkan setiap detailnya, namun aku bertujuan
untuk menyampaikan poin pentingnya.
Hari itu cukup cerah, betapa
sumringah dan merekahnya hati ini ketika mendapatkan informasi bahwa akan ada
kegiatan yang diselenggarakan di Wisma Duta KBRI Ankara. Bagaikan angin segar
bagi para diaspora Indonesia disana, aku dengan sangat antusias ingin menghadirinya.
“Modus” bagi para perantau yang berkesempatan hadir di kegiatan-kegiatan KBRI adalah
bisa membayar rindu akan masakan nusantara yang agak sulit untuk di-eksekusi di
dapur apartemennya masing-masing.
Tak kusangka selain hari
yang cerah, hari tersebut juga cukup baik untuk mengubah persepsiku atas
sesuatu yang awalnya tak kuanggap “serius”. Seusai kegiatan di Wisma, kami
semua bergegas untuk kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Bukan maksud
hati mencuri dengar, tapi memang terdengar dengan sangat jelas di telingaku,
sebuah percakapan yang membuatku tak enak hati jika tak bereaksi apa-apa. Percakapan
antar anak lelaki sebayaku,
“eh, kamu tahu nggak si AAA
(menyebut nama seorang gadis)?”, tanya anak laki-laki pertama.
“nggak, kenapa? Cantik nggak
anaknya?”, tanya anak laki-laki kedua.
“beuh.. cantik banget. Gak
percaya? Nih liat instagramnya.”, anak laki-laki pertama menunjukkan sesuatu.
“wah... si BBB juga oke tau
(sambil mencoba mencari instagramnya)”, anak laki-laki kedua menyela.
Entah kalian mau menilai
aku apa atas responku kemudian, tetapi aku sebagai seorang perempuan yang mendengar
degan jelas hal tersebut, dan mereka tahu aku sedang berada di lingkungannya,
merasa....sangat.....tidak....nyaman. Aku pun berkata halus pada mereka,
“ih kalian teh liat-liat
instagram cewek.”, sambil berusaha mengontrol kata-kata yang akan kulontarakan.
“ya gak apa-apa lah, kan
dianya juga upload (sembil terus scroll, karena ingin memperlihatkan
foto yang katanya ‘oke’ tersebut)”, jawab laki-laki kedua santai sambil terus
menatap layar telepon genggam di tangannya.
DEG! Disitu aku merasa TEMAN-TEMANKU
TERSEBUT SEDANG MELIHAT-LIHAT KATALOG, terus scroll up - scroll down.
Yep katalog? Yang menjual suatu produk. Dan aku tidak ingin menyamakan diri ini
dengan sebuah produk, yang bisa sesuka hati dilihat-lihat.
Hari itu merupakan turning
point bagiku. Aku disadarkan akan dark side dari media sosial,
meskipun tidak sekelam itu. Tapi hal tersebut cukup memberikan tamparan yang
keras bagiku. Memang akupun masih belum sempurna. Masih ada pula fotoku yang
bertebaran, bahkan terkadang memang sengaja publikasi untuk tujuan “have fun”.
Namun jauh di lubuk hati, aku inginkan untuk meminimalisir hal tersebut. Aku tidak
ingin orang dengan mudahnya melihat-lihat “katalog” beratasnamakan diriku.
Oh iya, tentang kedua
temanku tersebut. Tenang, mereka sesungguhnya anak yang sangat baik. Hanya berbeda
perspektif denganku. Bisa jadi juga mereka memiliki intention lain dari
hal tersebut. Kisah ini mengingatkan aku juga akan perkataan yang disampaikan oleh
seorang teman yang lain,
“Wits, kamu kan aktif
banget ya anaknya. Selalu ada di setiap kegiatan. Tapi kok nggak ada ya anak laki-laki
yang ngomongin kamu?”, tanya temanku.
Aku sangat kaget mendengar
pernyataan sekaligus diberikan pertanyaan seperti itu. Aku tidak menjawabnya,
hanya menjatuhkan pandangan isyarat aku tidak memahami maksud dari ucapannya
barusan.
“Iya kan kita cowok-cowok
kalau kumpul tuh suka ngomongin cewek. Misalnya sih teteh A karena blablabla, teteh
B karena bliblibli, atau C karena blublublu (secara fisik, karakteristik, dsb).
Tapi kamu tuh nggak sama sekali. Aku nggak pernah denger ada yang bicara
tentang kamu.”, katanya panjang lebar.
Sebenarnya itu hak mereka
dan bukan urusanku juga. Tapi disitu, hati ini tidak bisa merasa tenang. Aku
kesal karena merasa harga diri sebagai perempuan sedang dicabik-cabik saat itu.
Meski yang dibicarakan bukanlah tentangku, tapi aku merasa tidak sampai hati mendengar
yang dibicarakan tentang teman-temanku. Jujur setelah hari itu aku jadi seperti
illfeel. Saat itu mataku juga seperti membendung air mata, tak kuasa
menahan sesak di dada, namun aku tak boleh keluarkan. Aku menjawab,
“Hah? Kalian kalau
ngumpul suka ngomongin perempuan? Kayak nggak ada kerjaan aja deh. Dan satu
lagi, nggak ada cowok yang ngomongin aku? Alhamdulillah banget ya Allah. Aku mah
bersyukur banget. Karena aku nggak mau dan nggak berharap juga ada cowok-cowok
yang ngomogin aku untuk perihal semacam itu (bukan dalam konteks yang penting
dan bermanfaat).”, cecarku.
Tidak ada sedikitpun rasa
iri karena perempuan lain lebih sering dibicarakan. Aku malah akan merasa
sangat takut jika ada orang yang membicarakanku dalam konteks seperti itu. Well,
setidaknya hari itu aku jadi mengetahui setitik debu sudut dunia yang lain,
dunianya anak laki-laki.
Dia malah bertanya lagi, “kalian
kalau cewek-cewek suka ngomongin cowok nggak pas lagi ngumpul?”
“nggak lah (dalam konteks
yang seperti mereka lakukan). Ngapain juga.”, jawabku yang mulai agak sewot dan
malas menjawab pertanyaannya.
Dua kejadian yang bisa
kukatakan cukup menaikkan pitamku namun memberikanku banyak ruang untuk
membentuk sudut pandang yang baru agar lebih bijak lagi dalam bertindak. Kalau kalian
perhatikan, aku menyebut teman-temanku tersebut sebagai “anak laki-laki”,
karena imo not mature enough for doing such things. inshaaAllah di hari
ini aku yakin, para “anak laki-laki” itu sudah menjadi para “pria” yang pastinya
menghargai perempuan. Allahumma aamiin.
Kalau kata temenku, “I need a man, not
a boy”.
Eh bentar kok jadi gak nyambung ya? Maap
maap. WKWK