Bismillah…
Apa kabar,
kawan-kawan? Semoga selalu sehat yaaaaa...
Oke, kali ini saya akan menceritakan
tentang sebuah kisah yang saya harap dapat sedikit
membuat kita semua untuk lebih merenungkannya lagi.
Berawal
dari pertemuan saya dengan seseorang yang awalnya nampak biasa, namun di
pertengahan kata-katanya menyihir benak saya untuk dapat menembus zona waktu
yang teramat jauh.
Hari itu
masih di Wisma Duta KBRI Ankara, saya bersama teman-teman lainnya berusaha
membunuh kebosanan dengan sekedar bermain kartu UNO. Kartu berwarna-warni yang
dapat dimainkan dengan cara mengeluarkan angka atau warna yang sama, disertai
beberapa kartu tambahan istimewa lainnya. UNO sendiri memiliki arti angka satu
dalam bahasa Spanyol.
Kebanyakan
teman-teman yang berada di Wisma Duta KBRI Ankara saat itu merupakan
mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang berasal dari seluruh penjuru Turki.
Dikarenakan jumlah mahasiswa yang berada di Turki melebihi 500 orang, maka
dapat dikatakan wajar jika saya tidak mengenali masing-masing pelajar Indonesia
yang sedang menimba ilmu di Turki. Jika nama saja tidak tahu, apalagi angkatan
maupun informasi pribadi lainnya.
Ditengah-tengah
permainan, saya dengan asyiknya menyebutkan nama orang-orang yang ada disitu
dengan menambahkan ‘Kak’ didepannya, karena saya memang tidak tahu apakah
mereka lebih senior daripada saya atau tidak. Hingga akhirnya, ada salah
seorang teman yang menyatakan,
“Hey, si
A itu tuh angkatan dibawah kita tau..”, ujarnya penuh semangat kepada saya.
Dan
semenjak itu saya pun memanggil si A tersebut tanpa tambahan ‘Kak’ sebelumnya. Tanpa
saya duga tanggapan negatif pun datang dari teman saya si A tersebut.
“Kenapa
sih angkatan-angkatan itu penting? Bukankah lebih indah jika kita menghormati
semua orang tanpa memandang dia adalah junior ataupun senior kita. Gak ada salahnya kan manggil pake kak.”, ujarnya berapi-api dengan logat khasnya.
Disitu saya
terkaget, teringat seseorang dari satu tahun silam mengungkapkan hal yang
kurang lebih sama.
Tepat
satu tahun yang lalu, ketika liburan musim panas, kami orang-orang Indonesia
berkumpul di sebuah taman sekedar untuk menghabiskan waktu bersama dan
mengenalkan kota metropolitan Ankara kepada teman-teman yang datang dari luar
kota. Kami bermain truth or dare,
saya yang awalnya berada di sekitaran orang yang saya kenal sangat baik
diharuskan berpindah tempat disebelah orang-orang yang baru saya kenal di musim
itu.
Seperti
namanya, truth or dare, didalam
permainan itu kami hanya memiliki dua pilihan, jika tidak mau jujur menjawab
semua pertanyaan yang dilayangkan, ya kita harus bersedia melakukan apa yang
diminta oleh mereka. Lucky you! Jika
kamu memang tidak memiliki rahasia atau tidak ada kisah menarik yang orang
ingin korek darimu.
Botol
pun diputar untuk menentukan siapakah ‘mangsa’ selanjutnya, hingga berhentilah
moncong botol tersebut di arah adik kelas perempuan saya. Pertanyaan pun
berhamburan, dan yang paling kontroversial adalah pertanyaan,
“Apakah
hal yang paling memalukan yang pernah kau alami?”
Ia pun
menjawab dengan sangat jujur dan rinci. Sayup-sayup saya mendengar bisikan dari
sebelah kanan saya tersebut seraya berkata,
“Astagfirullah..
Allah SWT sudah sangat baik menutupi segala aib kita, namun disini kita dengan
bahagianya membuka aib kita. Bahkan sampai menertawainya.”, bisiknya sambil
memainkan rerumputan yang ada didepannya.
Saya pun
mengangguk setuju sekaligus merasa ditampar dan terkesima akan kata-kata yang
baru saja dilontarkannya. Oh ya Allah, terima kasih melalui perantara
kata-katanya, saya dapat bermuhasabah. Tak hanya itu, disela-sela permainan
saya sempat bertanya-tanya banyak hal pada dirinya, karena memang saya tidak
kenal baik dengannya. Saya menanyakan dari mulai ia kapan datang ke Turki,
angkatan berapa, jurusan apa, hingga berasal dari mana. Sebenarnya ia adalah
angkatan saya namun baru datang satu tahun setelah kedatangan saya, karena
berbagai uzur. Tampilannya yang terlihat dewasa, membuat saya memanggilnya ‘Kak’
sebelum mengetahui seluk-beluk tentangnya. Setelah ia menceritakan semuanya pun
saya terdiam sebentar, menatap kosong rerumputan yang disuguhkan dihadapan
kami. Seolah dapat membaca pikiran saya, dia pun mengatakan,
“Ah...betapa
indahnya menghormati orang-orang.”, katanya singkat.
“Maksudnya?”,
tanya saya tak kalah singkat.
“Iya,
betapa indahnya menghormati orang-orang, misalnya memanggil dia ‘Kak’ tanpa
mementingkan dia angkatan berapa, lebih tua ataukah lebih muda. Bukankan kita
juga senang jika dihormati?”, jawabnya panjang lebar.
Saya pun
terdiam. Tak terasa haru-biru memenuhi pikiran dan hati saya saat itu.
Satu
tahun berlalu.
Ingatan
saya tidaklah sekuat itu. Hingga perkara hormat-menghormati orang itu agaknya
‘terlupakan’ dari benak saya. Sampai akhirnya Allah mempertemukan saya dengan
sosok lain yang membuat saya bermuhasabah lagi tentang hal itu.
Terima
kasih, kawan...
Tanpa
kalian sadari, kalian adalah guru tanpa titel guru yang saya miliki.
Semoga
tak hanya saya yang dapat memetik hikmah dari dua orang sahabat saya ini.
Ah..
jadi teringat sesuatu. Tak hanya kedua teman saya, Ayah saya pun pernah
memberikan sebuah petuah, yang Alhamdulillah masih saya ingat hingga detik ini.
Begini katanya: “Tak ada salahnya kita menghormati orang lain dengan cara
memanggilnya kak, teh, dsb, meskipun
kenyataannya dia lebih muda daripada kita, jika ilmu yang ia miliki malah lebih
banyak daripada kita. ”
Thanks to:
Kedua orang kawan yang
dipertemukan dengan saya di dimensi waktu yang berbeda serta ayah saya pastinya.
Terima
Kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembacanya.
Kritik dan
saran bisa dilampirkan..
Mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan, karena tujuan saya
hanya ingin sharing pengalaman.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih