*

Pages

Sunday, 13 December 2020

Secercah Cerita Bunda

Ketemu postingan ini https://www.instagram.com/p/CIu866_Jl3-/ jadi ingin share sebuah cerita.

Beberapa teman seangkatanku qadarullah ada yang memang sudah bertemu dengan jodohnya bahkan dikaruniai keturunan. Nah, tiap kali menjenguk teman-temanku yang baru saja melahirkan, mereka selalu excited menceritakan pengalaman melahirkannya. Darisitu juga aku jadi mengetahui, kalau setiap orang akan mengalami hal yang berbeda. Ngilu? Iya pastinya. Wkwk. Pertama kali dengar kisah melahirkan dari seorang Bunda tuh saat masih duduk di bangku S1 dulu, dan saat itu aku bener-bener tidak kuat dan rasanya tidak mau mendengarnya. Tetapi seiring berjalannya waktu, entah dikuat-kuatin atau memang dengan sendirinya mulai berusaha bersikap biasa saja, akhirnya aku mampu. Namun tetap bertujuan memetik hikmah dan pelajarannya yang belum tentu aku bisa alami sendiri nantinya (ini aamiin banget sih, soalnya seriously ceritanya teh pada uwow sekali...)

Singkat cerita aku bertemu dengan seorang Bunda A ini. Bak seorang interviewer, aku membuka obrolan dengan membahas hal-hal yang biasa kubahas ketika bertemu dengan teman yang baru saja melahirkan. Kami memang terbilang cukup dekat. Beliau diatasku beberapa tahun, tapi entah rasanya seperti sahabat karib aja gitu. Sangat nyaman dalam bertukar cerita, canda, dan tawa. Sesungguhnya, dia memang tidak menceritakan pengalaman melahirkannya, karna Alhamdulillah terbilang lancar dan tanpa hambatan yang berarti. Namun yang tak kusangka, ia menceritakan pengalaman pasca melahirkan. Ia sangat terbawa suasana. Dia menceritakan dengan sangat gamblang apa yang pernah mengusik ketentraman hatinya pasca melahirkan.

Sembari terisak ia mengatakan,

“aku teh merasa bersalah ke anakku. Karena aku nggak bisa kasih ASI. Belum lagi omongan orang-orang yang menyudutkanku. Padahal aku tuh ingin banget bisa ngasih ASI. Aku merasa belum menjadi ibu yang sempurna.”

DEG! Disitu sesungguhnya aku bingung harus merespon seperti apa. Aku yang masih minim pengalaman, hanya bermodalkan empati hanya bisa berkata,

“aku emang nggak tau rasanya. Tapi kayaknya aku juga bakalan sedih kalau ada di posisi tersebut. Tapi inshaaAllah teteh udah jadi ibu terbaik buat anak teteh. Anak teteh bener-bener sangat beruntung memiliki ibu seperti teteh.”

Aku sangat percaya dia memiliki kekecewaan yang mendalam atas dirinya sendiri, tetapi saat yang bersamaan dia juga berusaha semaksimal yang ia bisa lakukan. Disitu aku sangat tidak tega, dan turut bersedih.

“aduh teh maafin aku ya. Aku jadi malah ngingetin teteh sama hal yang udah lalu.”

Aku mengerti dia pastinya mengalami baby blues syndrome (semoga tidak sampai post-partum syndrome). Dan lidah-lidah manusia hanya memperkeruh keadaannya. Termasuk lidahku.

Sejak itu aku lebih berhati-hati dalam bertanya. Nope. Lebih tepatnya, aku tidak menanyakan jika tanpa tujuan, apalagi untuk hal-hal sensitif seperti itu. Dear Bunda A, dan bunda-bunda lainnya: kalian kuat, kalian sangatlah hebat, kalian adalah superhero yang sesungguhnya. Setidaknya bagi anak-anakmu. Semoga kita dapat meningkatkan empati kita kepada sekitar ya. Maafkan daku huhuhu.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...