Ketemu postingan ini https://www.instagram.com/p/CIu866_Jl3-/
jadi ingin share sebuah cerita.
Beberapa teman seangkatanku qadarullah
ada yang memang sudah bertemu dengan jodohnya bahkan dikaruniai keturunan. Nah,
tiap kali menjenguk teman-temanku yang baru saja melahirkan, mereka selalu
excited menceritakan pengalaman melahirkannya. Darisitu juga aku jadi
mengetahui, kalau setiap orang akan mengalami hal yang berbeda. Ngilu? Iya
pastinya. Wkwk. Pertama kali dengar kisah melahirkan dari seorang Bunda tuh saat
masih duduk di bangku S1 dulu, dan saat itu aku bener-bener tidak kuat dan rasanya
tidak mau mendengarnya. Tetapi seiring berjalannya waktu, entah dikuat-kuatin
atau memang dengan sendirinya mulai berusaha bersikap biasa saja, akhirnya aku
mampu. Namun tetap bertujuan memetik hikmah dan pelajarannya yang belum tentu
aku bisa alami sendiri nantinya (ini aamiin banget sih, soalnya seriously
ceritanya teh pada uwow sekali...)
Singkat cerita aku bertemu dengan seorang Bunda
A ini. Bak seorang interviewer, aku membuka obrolan dengan membahas
hal-hal yang biasa kubahas ketika bertemu dengan teman yang baru saja
melahirkan. Kami memang terbilang cukup dekat. Beliau diatasku beberapa tahun,
tapi entah rasanya seperti sahabat karib aja gitu. Sangat nyaman dalam bertukar
cerita, canda, dan tawa. Sesungguhnya, dia memang tidak menceritakan pengalaman
melahirkannya, karna Alhamdulillah terbilang lancar dan tanpa hambatan yang
berarti. Namun yang tak kusangka, ia menceritakan pengalaman pasca melahirkan. Ia
sangat terbawa suasana. Dia menceritakan dengan sangat gamblang apa yang pernah
mengusik ketentraman hatinya pasca melahirkan.
Sembari terisak ia mengatakan,
“aku teh merasa bersalah ke anakku. Karena
aku nggak bisa kasih ASI. Belum lagi omongan orang-orang yang menyudutkanku.
Padahal aku tuh ingin banget bisa ngasih ASI. Aku merasa belum menjadi ibu yang
sempurna.”
DEG! Disitu sesungguhnya aku bingung harus
merespon seperti apa. Aku yang masih minim pengalaman, hanya bermodalkan empati
hanya bisa berkata,
“aku emang nggak tau rasanya. Tapi kayaknya
aku juga bakalan sedih kalau ada di posisi tersebut. Tapi inshaaAllah teteh
udah jadi ibu terbaik buat anak teteh. Anak teteh bener-bener sangat beruntung
memiliki ibu seperti teteh.”
Aku sangat percaya dia memiliki kekecewaan
yang mendalam atas dirinya sendiri, tetapi saat yang bersamaan dia juga
berusaha semaksimal yang ia bisa lakukan. Disitu aku sangat tidak tega, dan turut
bersedih.
“aduh teh maafin aku ya. Aku jadi malah
ngingetin teteh sama hal yang udah lalu.”
Aku mengerti dia pastinya mengalami baby
blues syndrome (semoga tidak sampai post-partum syndrome). Dan lidah-lidah
manusia hanya memperkeruh keadaannya. Termasuk lidahku.
Sejak itu aku lebih berhati-hati dalam
bertanya. Nope. Lebih tepatnya, aku tidak menanyakan jika tanpa tujuan,
apalagi untuk hal-hal sensitif seperti itu. Dear Bunda A, dan
bunda-bunda lainnya: kalian kuat, kalian sangatlah hebat, kalian adalah superhero
yang sesungguhnya. Setidaknya bagi anak-anakmu. Semoga kita dapat meningkatkan
empati kita kepada sekitar ya. Maafkan daku huhuhu.