Setelah ribuan kali saya memikirkan artikel ini, menyerahlah saya pada keadaan mem-publish tulisan bertajuk realita kehidupan pribadi saya.
Ini merupakan catatan harian saya yang memiliki sebuah syarat mutlak, yakni ketika
kalian telah memulai membacanya diharapkan untuk menyelesaikannya, agar tidak
menimbulkan spekulasi maupun isu yang tak pasti. Adapun tujuan dari dibagikannya catatan harian ini akan
disisipkan di akhir artikel. Selamat membaca! J
Sebelum memasuki cerita kehidupan saya yang akan terpapar kemudian, simaklah postingan di akun media sosial, Facebook, saya ini:
Silahkan klik disini
Courtesy : http:// |
D : "Wah, ini ada yang tidak jernih di bagian sini (menunjuk film hasil ronsen pada bagian paru-paru). Apakah kamu sedang batuk-batuk akhir-akhir ini? Apakah kamu sering sakit punggung? Atau merasa berat di pundak dan sekitarnya? Apakah kamu sedang demam?"
X : "Tidak, dok. Alhamdulillah saya sehat dan selalu merasa sehat. Dari dulu sampai sekarang. Tidak ada penyakit berarti yang hinggap di saya."
Diatas adalah cuplikan reka adegan manakala seorang dokter menjelaskan hasil diagnosisnya. X selaku pasien memiliki tiga opsi:
1. Menerima dengan legowo vonis atas diagnosis dokter tersebut;
2. Berdasarkan gejala-gejala yang disebutkan sang dokter, si pasien mencari tau secara mandiri serta mencocokkan dengan kondisinya; atau
3. Re-check ke dokter serta rumah sakit lain.
Berdasarkan respon yang akan dilakukan si pasien, kita sebetulnya dapat menganalogikannya dengan problematika dalam kehidupan sehari-hari atas pengkontrolan media sosial. Terutama ketika kita dihadapkan dengan sebuah pemberitaan yang melayang-layang di beranda Facebook kita. Lalu sebagai pembaca sejati, dengan dalih menyebarkan kebermanfaatan, setelah membacanya tanpa mengetahui kebenarannya, entah itu hanya rumor dan isu belaka, sebagai pembaca, kita dihadapkan dengan tiga buah pilihan:
1. Setelah membaca, terprovokasi, tanpa verifikasi lalu beraksi, langsung dengan sigapnya menyebarkan kabar tersebut.
2. Kalau orang tipe kedua ini, tidak begitu saja menelan bulat-bulat kabar-kabar yang ia baca. Ia mencari referensi-referensi lain secara "mandiri", mengasumsikan segalanya sendiri, sehingga dapat menimbulkan dampak bak seorang profesional setalah membaca satu dua berita terkait.
3. Kelompok terakhir ini dapat saya katakan sebagai pembaca yang bijak, selain mencari referansi sendiri, ia juga bertanya pada para ahlinya.
Bukankah begitu? Atau, begitu bukan? Hehe
Cmiiw.
Hati-hati penyakit ini tidak menular, tapi bisa mempengaruhi orang lain!
Semoga kita semua bisa menjadi pembaca yang bijak, bijak dalam memilah berita maupun menyebarkannya
*ini sebuah bahan muhasabah untuk diri sendiri juga.
Selasa, 15/11/2016
Berawal
dari melihat informasi kerja part-time
di kampus bagi
mahasiswa. Saya yang
melihat itu sebagai sebuah peluang yang sangat menggiurkan,
menyegerakan diri untuk mencari informasi lebih rinci mengenai hal tersebut. Bukannya bermaksud untuk kalah sebelum
perang, tetapi ketika dihadapkan dengan kesulitan mengurus salah satu
persyaratannya membuat saya merenung, apakah sesungguhnya jawaban
dari Allah? Ya atau tidak?
Akhirnya saya
memutuskan untuk tidak memperjuangkannya. Namun, ketika keputusan tersebut saya ambil, saya dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa saya harus
memperjuangkan finansial saya sendiri selama disini. Jikalau
mampu, berbagi ke Indonesia.
Saya
dipertemukan dengan salah seorang Ibu yang bertugas mengurus urusan part time tersebut khususnya di jurusan saya, Matematika. Dan beliau selalu menanyakan tentang perkembangan pengumpulan berkas-berkas saya. Di pertemuan tanpa kesengajaan tersebut beliau berkata, "Besok batas tenggat waktunya,
ya.". Dengan
menggunakan bahasa Turki tentunya.
Tibalah saya di keesokan harinya. Saya berusaha menyelesaikan semua persyaratan di hari itu, mulai
dari membuka akun bank yang telah ditentukan, pengambilan surat
sehat, surat disiplin, fotocopy izin tinggal, dan tanda kemahasiswaan.
Pukul
8 pagi saya sudah tiba di bank bersangkutan. Dengan
membawa berkas-berkas yang dibutuhkan saya menerobos dinginnya pagi musim
dingin, membeku dalam satu jam penantian, dan bertahan dari terjangan
anjing-anjing yang selalu berusaha mendekati saya.
Tidak mudah memang. Dalam kurun waktu 1.5 jam setelah kantor tersebut dibuka saya
baru bisa menyelesaikan urusan saya. Pengurusan akun bank yang baru ini berlokasi di Kampus Hacettepe cabang Sihhiye. Urusan saya tersebut berhasil diselesaikan pada pukul 10.30 waktu setempat.
Saya
sangat terburu-buru karna teringat janji untuk
menemui seorang senior di Kampus
cabang lainnya. Saya mengira akan ada
sebuah servis bis yang akan senantiasa mengantarkan dari kampus Sihhiye
ke Beytepe
pada pukul jam 10.30, ternyata tidak ada. Membuat saya harus berlari mengejar
tramway yang membawa saya melesat ke Kampus Beytepe
selama satu jam lamanya. Jikalau menggunakan servis
dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang setengah jam saja. Saya tiba di kampus Beytepe sekitar pukul 11.30.
Sesampainya
di Beytepe
saya menemui kakak kelas saya tersebut yang ternyata sudah mengantri di kantin kampus dan mengajak saya makan juga (karna antrian dia sudah dekat, dan
antrian makan hacettepe sangaat tidak manusiawi). Pasti makanan hari itu enak! Setelah
urusan dengan beliau selesai, saya segera menuju puskesmas, karena saya belum
memiliki surat kesehatan. Disinilah klimaksnya, sesuatu yang tak pernah
disangka-sangka terjadi. Untuk mendapatkan surat tersebut saya ditanya akan
banyak hal, dan berujung dengan pengharusan di ronsen. Setelah melalui beberapa
prosedur, sang dokter melihat hasil ronsen dan bilang,
"Saya
tidak suka dengan hasil ronsen paru-paru kamu"
“Apakah kamu pernah
sakit?”
“Apakah kamu pernah
infeksi atau peradangan?“
“Apakah kamu pernah
dioperasi? “
“Apakah kamu sedang batuk-batuk?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut
dilontarkan dan membuat saya cukup terhenyak.
Tidak. Tidak. Tidak. Seingat saya, saya selalu sehat sedari kecil. Tidak
pernah terjadi sesuatu pada organ dalam saya. Karena
dokter tersebut meragukan hasil diagnosanya,
maka ia pun memanggil dokter lainnya. Dokter lain tersebut
bertanya, apakah dadamu pernah
terbentur? Apakah ada yang aneh dengan
dadamu?
Dan ada beberapa istilah yang kurang saya mengerti yang terus menerus ditujukan pada saya. Saya tetap menjawab tidak. Apakah waktu kecil pernah terbentur?
Hmm... Mungkin pernah, namun saya benar-benar tidak
ingat.
Dokter
pertama yang menangani saya awalnya menyuguhkan wajah yang agak ketus, namun setelah melihat hasil ronsen tersebut beliau agaknya menjadi
lebih ramah.
“Apakah kamu sedang batuk-batuk?”, tanyanya sembari mengerutkan dahi
“Tidak.”
“Kalau nanti kamu batuk-batuk segera periksakan diri ke bagian penyakit dalam, ok! Memangnya kamu mau part time dimana? Kerjanya apa?”, tanyanya bak kereta gandeng
“Saya akan
part time disini di Hacettepe.
Tentang bagian apanya saya pun belum tahu.”
Setelah
berdiskusi dengan dokter lainnya. InshaaAllah bisey olamaz kalau kata orang turki mah. Tidak ada apa-apa
InshaaAllah. Saya kaget. Namun ini cukup membuat saya merenung. Mungkin itu takkan membuat kematian lebih
cepat, tapi saya pun akan mati pada akhirnya, cepat atau lambat. Dunia ini
fana. Saya merasa sehat. Saya tidak yakin akan hasil ronsen tersebut. Satu-satunya yang saya yakini adalah hasil ronsen tersebut SALAH. Saya sangat bugar. Alhamdulillah.
Rabu, 16 11 2016
Terlalu sibuk mempersiapkan ujian pertengahan semester yang akan saya jalani esok, membuat saya tak sempat untuk mencari tahu tentang gejala-gejala yang saya miliki.
Begini petunjuknya, dari hasil ronsen kemarin, dilayar paru-paru
saya yang bermasalah adalah yang bagian pojok kiri.
Mengenai benang merahnya,
Benturan di dada? Kalau sewaktu
masih kecil saya sudah lupa. Namun, jika dalam waktu dekat ini,
benturan paling keras pernah saya dapatkan itu ketika summer
kemarin bermain voli. Bola voli tepat menghantam dada saya. Entah bagian mana.
Lupa. Tapi sakit sekali.
Pukulan yang sangat keras? Sewaktu kecil saya pernah terpukul oleh kayu yang
berpermukaan sangat keras. Setelahnya punggung ini sering sekali terasa sakit. Apakah tulang punggung saya ini
baik-baik saja?
Hari ini saya menyempatkan
untuk mencari tahu tentang ‘kelainan’ yang terjadi di paru-paru. Yang pertama
keluar ya tentang kanker. Saya sedikit
kaget, karena beberapa gejalanya memang saya alami, seperti sakit di bagian
punggung, pundak, dan beberapa bagian lain yang tidak saya ingat, karena saya tidak merasa bermasalah disana. Sakit kepala, saya
sangat sering sakit kepala, bahkan ketika liburan di Indonesia saya merasakan sakit yang luar biasa menyiksa,
hingga saya putuskan untuk melakukan bekam yang alhamdulillah meringankan
kepala ini. Namun, gejala yang paling utama yakni batuk-batuk yang terus
menerus tidak sama sekali
menerpa.
Kamis, 17 / 11 / 2016
Hari ini seperti biasanya saya
berangkat ke kampus pagi sekali. Kelas pertama hari ini tepat pada pukul 9
pagi, pelajaran GAP. Pelajaran berbasis komputer.
Setibanya di laboratorium komputer departemen, saya sapa bapak
paruh baya yang berada didepan mata itu, tak lain dia adalah guru kami, Ramazan
Yasar. Pelajaran kali itu dapat saya ikuti dengan baik meski saya
mencuri-curi waktu untuk sekedar me-review pelajaran yang akan diujiankan di
jam selanjutnya. Melihat saya yang mempersiapkan untuk ujian di kelas selanjutnya, Seda bertanya pada saya lalu
diikuti dengan meminta nomor telepon genggam saya. Setelah Ramazan Hoca secara
sah menyatakan kelas hari itu usai, saya setengah
berlari untuk menuju ruangan ujian saya hari itu dengan mengucapkan salam dan terima
kasih kepada Ramazan Hoca1. Namun
beliau menghentikan langkah ini dengan bertanya,
“Beyazlasmissin.. Iyi misin? (Kamu menjadi semakin putih.. Apakah kamu baik-baik
saja?)”, tanyanya.
“Turkiyeyi sevmiyor musun? (Kamu gak suka Turki?)”, lanjutnya.
Tanpa menghiraukan pertanyaan yang terakhir, langsung saja saya jawab,
“Tidak, saya sehat, Alhamdulillah.”
Padahal masih jelas dalam ingatan bahwa beliau pernah bertanya di
sebuah kesempatan,
“Witsqa, Endonezyalilar hep esmerler mi? (Witsqa, apakah orang-orang Indonesia
berkulit sawo matang?)”,
seolah pertanyaan tersebut terlontar atas bukti nyata yang ia lihat didepan
matanya, saya.
Mungkin wajah ini pucat akibat memaksakan untuk shaum tanpa bangun
sahur, karena keterlambatan untuk
membuka mata.
Sepulang sekolah, saya bermaksud
bertemu dengan teh Maesaroh di Kizilay, pusat kota Ankara, untuk memberikan buku novel yang sedang ingin
beliau baca, yang kebetulan sedang ada ditangan saya. Tanpa paket pulsa, saya nekat mengirimkan pesan bermodalkan wifi kampus,
“Teh, Witsqa otw kizilay sekarang.”
Bersandar pada telepati, berharap akan dipertemukan di area tanpa
wifi. Teh Mae, begitu saya
memanggilnya, mengirimkan pesan singkat tentang dimana letak keberadaannya
diikuti dengan panggilan yang tak terjawab, karena memang saya tidak mendengarnya. Saya,
mahasiswa biasa yang mengejar aktarma, pun langsung berlari menuju lokasi yang
dimaksud. Masjid dibawah metro. Saya langsung
berlari, membuka sepatu, memasuki masjid tersebut, menaiki tangga, lalu
menghampiriya.
Aktarma adalah transfer pada transportasi
dengan menggunakan kartu angkutan yang akan dikenakan harga lebih murah
daripada harga awal.
“Teh, ini. Witsqa pulang duluan ya.”, seraya bersalaman, saya
bermaksud melaksanakan shalat ashar dirumah saja.
Sebelum sempat saya membalikkan
badan 100%, teh Mae memanggil lagi,
“Witsqa, lagi sakit?”, tanyanya.
“Alhamdulillah sehat.”, jawab saya sambil tersenyum.
Dua kejadian hari ini membuat saya berpikir lagi, apakah saya
terlihat seperti orang sakit? Ya Allah, saya
bukanlah hamba-Mu yang lemah. Engkau yang selalu kuatkan. Saya mohon jangan
pernah pergi dari sisi ini.
Sesampainya dirumah. Setelah shalat ashar. Saya pun berkaca sebentar. Mungkin mulai besok saya harus pakai bedak dan sedikit mewarnai bibir agar tidak terlihat
pucat.
Hari ini pula, saya melihat
sebuah poster di kampus, tentang kampanye orang yang sakit kanker paru-paru. Naudzubillahimindzallik.
Ya Allah, apa pesan Kau coba sampaikan?
Saya
masih belum dapat memahaminya. Berikan petunjuk, serta kesabaran dan
keikhlasan.
1 Hoca memiliki arti guru
Tujuan saya menuliskan catatan harian ini
sebagai milestone kehidupan saya yang
tidak saya ketahui bagaimana akhirnya. Jika ternyata saya berakhir dengan
benar-benar memiliki sebuah penyakit yang tidak diinginkan tersebut, setidaknya
saya bisa mengingat bagaimana kejadian awalnya.
Saya tidak berani bercerita kepada
siapa-siapa termasuk kedua orangtua, karena saya tahu itu hanya akan menambah
beban di pundak mereka. Beberapa minggu berlalu, masih dihantui dengan
prasangka-prasangka pada diri ini. Saya pun memutuskan, summer nanti saya akan pulang dan memeriksakan diri di Indonesia
saja. Namun, menuju liburan musim panas masih 5 bulan lamanya. Sedangkan dari
hari ke hari, saya hanya bisa menangis dan menangis didalam setiap sujud.
Dosa besar apa yang saya perbuat hingga Allah percobakan ujian ini pada saya?
Saya bingung tentang langkah apa yang harus
saya ambil. Hingga suatu hari saya memberanikan diri menceritakan semuanya pada
sahabat karib saya. Sontak dia langsung memarahi saya,
“Pergilah ke rumah sakit besar! Coba periksa
ulang. Bisa jadi mereka salah diagnosa. Jangan tunggu nanti!”, katanya.
Saya pun memberanikan diri untuk pergi rumah
sakit swasta sekitar. Beberapa waktu kemudian, Alhamdulillah saya dinyatakan
100% sehat. Tidak ada yang salah pada paru-paru saya. Saya pun merasa lega dan
tak perlu lagi mengharuskan diri untuk bertolak ke Indonesia summer ini.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih