Source: https://unsplash.com/photos/KhStXRVhfog |
Selalu ingin
menuangkan teladan-teladan yang kuperoleh dari kedua orangtuaku kedalam sebuah
tulisan. Baru sempat kali ini. semoga bisa bermanfaat ya. Ini hanyalah teladan
sederhana dari kedua orangtuaku, ditulis dengan penuh kerendahan hati murni
untuk berbagi.
Teladan dari
ibu:
1. Ibu super duper mandiri. Disini dalam artian tidak 100% bergantung
pada ayah. Terkadang tidak perlu minta diantar oleh ayah untuk bepergian kesana
kemari. Dahulu seringkali jika ada perlombaan-perlombaan ibu yang antar pakai
mobil. Nyetir sendiri. Sejauh apapun. Keren! Tidak hanya dalam hal ini, termasuk
dalam hal domestik rumah tangga.
2. Ibu paling hebat dalam hal menjamu tamu. Dari ibu aku benar-benar
belajar untuk selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain, apalagi itu
tamu.
3. Ibu sangat bersemangat dalam hal bersedekah, baik itu sedekah
materi maupun menyedekahkan segala waktu dan tenaganya. Hal yang paling
membuatku iri adalah ibuku selalu mendapatkan kesempatan untuk mengurus
pemulasaraan jenazah, terutama memandikan. Tahu kan ganjaran dari memandikan
jenazah itu apa? Kita akan seolah seperti bayi yang beru lahir, membersihkan
dosa. Wallahu a’lam wa mashaaAllah.
“Barangsiapa memandikan mayit lalu menyembunyikan aib-aibnya, Allah akan mengampuninya dengan empat puluh kali ampunan. Dan barangsiapa menggali (kubur) untuknya maka akan diberikan pahala baginya seperti pahala orang yang memberikan tempat tinggal hingga hari kiamat. Dan barangsiapa mengkafani mayit, Allah akan mengkafaninya dengan sutra halus dan bludru dari surga di hari kiamat nanti.”
(HR Al-Hakim dalam Mustadrak : 1/354, 1/362, Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir : 929 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shaihut Targib Wat Tarhib : 3492 Lihat pula Ahkamul Janaiz : 69 oleh Imam Al-Albani).
4. Memeluk ibu selalu menjadi hal paling menenangkan. Dikala
kegundahan melanda, memeluknya bisa menjadi penawar. Believe it or not,
hingga seusia ini aku masih suka memeluk ibuku, hehe. Ibu sih selalu mengatakan,
“ih malu udah besar masih suka peluk-peluk ibu”. Tapi aku ingin selalu memeluk
ibu selama aku bisa. Aku ingin selalu menggenggam tangannya selama aku mampu. Hal
tersebut membuatku ingin menjadi seorang ibu yang bisa memberikan kehangatan
dan ketenangan bagi keluarga.
5. Ibu semacam memiliki sixth sense (?) Tentu saja tidak benar.
Tapi feeling-nya selalu benar. Seringkali aku hanya berbisik, “duh ini
kayaknya enak ya.”
Besoknya,
tringgggg, apa yang kusebut di hari sebelumnya ada di rumah. Ini membuatku
merasa harus lebih menajamkan lagi empati dan perhatianku pada sekitarku,
tentunya. Mungkin hal tersebut terdengar wajar, karena bisa saja ibu mendengar
dan mencatatnya dalam hati. Tapi yang terkadang membuat takjub adalah aku
berbisik semacam itu disaat ibu tidak di sekitarku. Misal sepulang kuliah atau
bekerja. Setibanya di rumah, bayangan sekelibat yang kubayangkan itu ada di
hadapanku. mashaaAllah.
6.
Dan masih banyak lagi.
Ini tentang
ayahku:
1. Jika kami singgah dan shalat di masjid, ayah selalu mengajak untuk shalat
berjamaah. Biasanya beliau memilih mundur ke belakang dan mendekat ke saf
perempuan, dimana aku berada, namun tetap di balik hijab. Bagiku aksi sederhana
seperti itu selalu menjadi hal paling romantis sepanjang hidupku.
2. Ketika aku sedang mengerjakan sesuatu, kemudian ayah memintaku
untuk melakukan sesuatu dan aku lakukan. Setelahnya ayah selalu doakan: “Semoga
kerjaan kakak yang seharusnya selesai dalam 3 jam, bisa selesai dalam 30 menit.
Aamiin.”. Do’a yang cukup unik namun sangat perlu diamini.
3. Ketika duduk di bangku SMA, seringkali aku mengalami insomnia
ataupun harus tidur lebih larut karena tuntutan tugas sekolah. Mengetahui hal
tersebut, biasanya ayah selalu berusaha tetap terjaga agar dapat menemaniku
hingga semua tugasku dapat dipastikan telah selesai dan tertidur dengan pulas (memastikan
aku bias melawan insomniaku).
4.
Ketika berada di bangku SMA, aku pernah diberikan tugas mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Aku diharuskan menulis tulisan arab
yang bersumber dari al-qur’an. Sayangnya, hari itu aku sedang berhalangan,
sehingga aku tidak dapat menyentuh mushaf. Ketika kusampaikan hal tersebut pada
ayahku, beliau dengan sigapnya memegangi halaman al-qur’an yang kutuju.
Sehingga aku dapat menyalin tulisan al-qur’an tersebut dengan tenang tanpa menyentuhnya.
5. Ketika SMP, aku mengikuti kursus bahasa Inggris di LIA Buahbatu. Karena jarak tempuh yang cukup jauh dari
tempat kursus ke rumah, ayah selalu
jemput sepulangnya. Tapi ada satu hari dimana ayah sangat terlambat menjemputku. Membuatku menunggu lebih dari 1 jam. Sementara sudah tidak ada lagi orang yang tersisa di tempat kursusku sore itu. Aku cemberut. Ketika ayah datang
aku tidak menjawab sapaannya yang disertai wajah berseri-seri seperti biasanya. Aku juga tidak merespon jokes-nya
yang ia gunakan demi mencairkan suasana. Hingga akhirnya ayah menghela napas panjang dan terdiam sejenak.
Ia berkata, “Kak, tahu
nggak apa aja ‘two golden words’ itu?”
Aku menjawab singkat, “nggak”, sambil tetap cemberut.
Ayah
melanjutkan lagi, “thank you and sorry”.
Entah apa yang
terjadi, aku seperti
tersihir. Hatiku langsung luluh dan memaafkan ayahku (tanpa mengatakan padanya jikalau aku telah
memaafkannya). Ketika sudah tiba di daerah Kiaracondong, aku dengan perasaan bersalahku
terhadap pria yang memboncengiku memuncak, lalu kupeluk ia dari belakang. Pertanda
aku telah memaafkannya.
Mungkin jika kondisinya
aku sudah sedewasa ini, nggak akan tuh ada drama-drama aku yang ngambek-ngambek
seperti itu. Karena pastinya lebih paham juga, kalau ayah mungkin sedang ada
kerjaan tambahan mendadak dan ingin cepat-cepat menyelesaikannya, sampai-sampai
menghubungi pun tidak bisa. Maklum bocil. Tapi Alhamdulillah, tanpa kusadari kejadian itu cukup berdampak jangka panjang padaku. Nampaknya
semenjak itu pula, lidahku ini sangat ringan dalam mengucapkan terima kasih
ataupun memohonkan maaf. Sampai-sampai aku pernah ditegur orang, “Witsqa kenapa sih
pake minta maaf segala, kan kamu nggak salah apa-apa.”
Hanya karna aku bilang, “oh gitu ya? Ih
maaf aku nggak tahu.”
6. Ketika SMA, masa-masa datang bulan selalu dijadikan alasan utama atas
emosiku tak terkontrol, over-sensitive, dll. Secara alamiah sih dipengaruhi
hormon, kalian juga pasti tahu lah ya. Nah, hingga akhirnya ayah pernah menegurku,
“Kak, istigfar. Emosi itu datangnya dari syaithan. Kamu pasti bisa kontrolnya”.
Semenjak itu, aku melatih untuk mengendalikan emosiku terutama saat datang
bulan, dan alhamdulillah bisa karna terbiasa. Meski untuk ke-sensitive-an
mungkin masih belum dapat sepenuhnya kukendalikan. Selalu aja ada alasan untuk overthinking.
7. Ayahku yang bukan seorang ulama. Tetapi kenal dan dikenal oleh
ustadz-ustadz. Bangga? Alhamdulillah, itu semua benar-benar karunia Allah. Hal
tersebut membuatku ingat agar selalu menjaga pergaulanku, circle-ku. Minimal,
dengan tetap menjaga akhlakku.
8.
Dan masih banyak lagi.
Seperti halnya
anak, orangtua pun terkadang ada alpanya. Bagaimanapun juga orangtua tidaklah
langsung terlahir menjadi sosok orangtua. Yang senantiasa bisa lihai dalam
menjalani bahtera rumah tangga tanpa cela. Mereka pastinya melalui proses
kehidupan yang cukup panjang, pahit-getir-manisnya kehidupan. Mengalahkan
egonya demi kebahagiaan pasangan dan anak-anaknya. Mengesampingkan segala hajat
pribadinya demi mengutamakan kepentingan keluarganya. Ku yakin, ayah dan ibu
pasti memiliki hal yang ingin digapai. Namun mereka urungkan jika itu
berbenturan dengan pemenuhan kebutuhan pasangan dan anak-anaknya. Lagi-lagi bukan
tentang siapa yang paling berkorban. Tapi keduanya yang selalu ikhlas dalam
memberi.
Sempat ada
banyak kekhawatiran yang menyerangku. Mampukah aku menjadi seorang pasangan dan
ibu yang baik kelak di kemudian hari? Aku sudah mulai membaca dan memang secara
alamiah tertarik dengan ke-parenting-an sejak bertahun-tahun silam.
Semakin aku membaca, “wow, banyak sekali ilmunya, banyak sekali aturannya,
banyak sekali yang harus diterapkannya. I’m kind of overwhelmed.”.
Inilah tantangan pasutri dan orangtua di masa kini, overflowing information.
Namun seberapa banyak buku yang dibaca, sebanyak apapun artikel yang dilahap, seberapa
banyak video yang ditonton, dan sesering apapun mengikuti webinar atau seminar,
semua itu akan percuma. Karena seberapa keras dan besarpun ikhtiar kita, hanya
Allah satu-satunya yang dapat mampukan.
Lagipula kunci terpenting
dari segala hal tersebut adalah ikhlas. Kebayang kan jika sebagai orangtua udah
puyeng duluan dalam mengurus anak karena banyaknya tuntutan parenting style
A, B, C, dst, anaknya bakalan seperti apa? Ikhlas dalam mengasuh, ikhlas dalam
memberi, ikhlas dalam menuntut ilmu. inshaaAllah akan dimampukan. Aku mencapai
kesimpulan-kesimpulan ini bukanlah berdasarkan pengalaman pribadi, karena
pengalamanku masih nihil. Seujung kuku pun tidak. Namun, hal tersebut
berdasarkan pengalaman teman-teman yang sudah lebih dulu mengarungi keindahan
fase kehidupan yang belum kulalui tersebut.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih