*

Pages

Saturday 2 January 2021

Teladan Menjadi Orangtua

 

Source: https://unsplash.com/photos/KhStXRVhfog
Source: https://unsplash.com/photos/KhStXRVhfog

Selalu ingin menuangkan teladan-teladan yang kuperoleh dari kedua orangtuaku kedalam sebuah tulisan. Baru sempat kali ini. semoga bisa bermanfaat ya. Ini hanyalah teladan sederhana dari kedua orangtuaku, ditulis dengan penuh kerendahan hati murni untuk berbagi.

 

Teladan dari ibu:

1.  Ibu super duper mandiri. Disini dalam artian tidak 100% bergantung pada ayah. Terkadang tidak perlu minta diantar oleh ayah untuk bepergian kesana kemari. Dahulu seringkali jika ada perlombaan-perlombaan ibu yang antar pakai mobil. Nyetir sendiri. Sejauh apapun. Keren! Tidak hanya dalam hal ini, termasuk dalam hal domestik rumah tangga.

2.  Ibu paling hebat dalam hal menjamu tamu. Dari ibu aku benar-benar belajar untuk selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain, apalagi itu tamu.

3.  Ibu sangat bersemangat dalam hal bersedekah, baik itu sedekah materi maupun menyedekahkan segala waktu dan tenaganya. Hal yang paling membuatku iri adalah ibuku selalu mendapatkan kesempatan untuk mengurus pemulasaraan jenazah, terutama memandikan. Tahu kan ganjaran dari memandikan jenazah itu apa? Kita akan seolah seperti bayi yang beru lahir, membersihkan dosa. Wallahu a’lam wa mashaaAllah.

“Barangsiapa memandikan mayit lalu menyembunyikan aib-aibnya, Allah akan mengampuninya dengan empat puluh kali ampunan. Dan barangsiapa menggali (kubur) untuknya maka akan diberikan pahala baginya seperti pahala orang yang memberikan tempat tinggal hingga hari kiamat. Dan barangsiapa mengkafani mayit, Allah akan mengkafaninya dengan sutra halus dan bludru dari surga di hari kiamat nanti.”

(HR Al-Hakim dalam Mustadrak : 1/354, 1/362, Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir : 929 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shaihut Targib Wat Tarhib : 3492 Lihat pula Ahkamul Janaiz : 69 oleh Imam Al-Albani).

4.  Memeluk ibu selalu menjadi hal paling menenangkan. Dikala kegundahan melanda, memeluknya bisa menjadi penawar. Believe it or not, hingga seusia ini aku masih suka memeluk ibuku, hehe. Ibu sih selalu mengatakan, “ih malu udah besar masih suka peluk-peluk ibu”. Tapi aku ingin selalu memeluk ibu selama aku bisa. Aku ingin selalu menggenggam tangannya selama aku mampu. Hal tersebut membuatku ingin menjadi seorang ibu yang bisa memberikan kehangatan dan ketenangan bagi keluarga.

5.  Ibu semacam memiliki sixth sense (?) Tentu saja tidak benar. Tapi feeling-nya selalu benar. Seringkali aku hanya berbisik, “duh ini kayaknya enak ya.”

Besoknya, tringgggg, apa yang kusebut di hari sebelumnya ada di rumah. Ini membuatku merasa harus lebih menajamkan lagi empati dan perhatianku pada sekitarku, tentunya. Mungkin hal tersebut terdengar wajar, karena bisa saja ibu mendengar dan mencatatnya dalam hati. Tapi yang terkadang membuat takjub adalah aku berbisik semacam itu disaat ibu tidak di sekitarku. Misal sepulang kuliah atau bekerja. Setibanya di rumah, bayangan sekelibat yang kubayangkan itu ada di hadapanku. mashaaAllah.

6.    Dan masih banyak lagi.

 

Ini tentang ayahku:

1.  Jika kami singgah dan shalat di masjid, ayah selalu mengajak untuk shalat berjamaah. Biasanya beliau memilih mundur ke belakang dan mendekat ke saf perempuan, dimana aku berada, namun tetap di balik hijab. Bagiku aksi sederhana seperti itu selalu menjadi hal paling romantis sepanjang hidupku.

2.  Ketika aku sedang mengerjakan sesuatu, kemudian ayah memintaku untuk melakukan sesuatu dan aku lakukan. Setelahnya ayah selalu doakan: “Semoga kerjaan kakak yang seharusnya selesai dalam 3 jam, bisa selesai dalam 30 menit. Aamiin.”. Do’a yang cukup unik namun sangat perlu diamini.

3.  Ketika duduk di bangku SMA, seringkali aku mengalami insomnia ataupun harus tidur lebih larut karena tuntutan tugas sekolah. Mengetahui hal tersebut, biasanya ayah selalu berusaha tetap terjaga agar dapat menemaniku hingga semua tugasku dapat dipastikan telah selesai dan tertidur dengan pulas (memastikan aku bias melawan insomniaku).

4.    Ketika berada di bangku SMA, aku pernah diberikan tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Aku diharuskan menulis tulisan arab yang bersumber dari al-qur’an. Sayangnya, hari itu aku sedang berhalangan, sehingga aku tidak dapat menyentuh mushaf. Ketika kusampaikan hal tersebut pada ayahku, beliau dengan sigapnya memegangi halaman al-qur’an yang kutuju. Sehingga aku dapat menyalin tulisan al-qur’an tersebut dengan tenang tanpa menyentuhnya.

5.  Ketika SMP, aku mengikuti kursus bahasa Inggris di LIA Buahbatu. Karena jarak tempuh yang cukup jauh dari tempat kursus ke rumah, ayah selalu jemput sepulangnya. Tapi ada satu hari dimana ayah sangat terlambat menjemputku. Membuatku menunggu lebih dari 1 jam. Sementara sudah tidak ada lagi orang yang tersisa di tempat kursusku sore itu. Aku cemberut. Ketika ayah datang aku tidak menjawab sapaannya yang disertai wajah berseri-seri seperti biasanya. Aku juga tidak merespon jokes-nya yang ia gunakan demi mencairkan suasana. Hingga akhirnya ayah menghela napas panjang dan terdiam sejenak.

Ia berkata, “Kak, tahu nggak apa aja ‘two golden words’ itu?”

Aku menjawab singkat, “nggak”, sambil tetap cemberut.

Ayah melanjutkan lagi, “thank you and sorry”.

Entah apa yang terjadi, aku seperti tersihir. Hatiku langsung luluh dan memaafkan ayahku (tanpa mengatakan padanya jikalau aku telah memaafkannya). Ketika sudah tiba di daerah Kiaracondong, aku dengan perasaan bersalahku terhadap pria yang memboncengiku memuncak, lalu kupeluk ia dari belakang. Pertanda aku telah memaafkannya.

Mungkin jika kondisinya aku sudah sedewasa ini, nggak akan tuh ada drama-drama aku yang ngambek-ngambek seperti itu. Karena pastinya lebih paham juga, kalau ayah mungkin sedang ada kerjaan tambahan mendadak dan ingin cepat-cepat menyelesaikannya, sampai-sampai menghubungi pun tidak bisa. Maklum bocil. Tapi Alhamdulillah, tanpa kusadari kejadian itu cukup berdampak jangka panjang padaku. Nampaknya semenjak itu pula, lidahku ini sangat ringan dalam mengucapkan terima kasih ataupun memohonkan maaf. Sampai-sampai aku pernah ditegur orang, “Witsqa kenapa sih pake minta maaf segala, kan kamu nggak salah apa-apa.”

Hanya karna aku bilang, “oh gitu ya? Ih maaf aku nggak tahu.”

6.  Ketika SMA, masa-masa datang bulan selalu dijadikan alasan utama atas emosiku tak terkontrol, over-sensitive, dll. Secara alamiah sih dipengaruhi hormon, kalian juga pasti tahu lah ya. Nah, hingga akhirnya ayah pernah menegurku, “Kak, istigfar. Emosi itu datangnya dari syaithan. Kamu pasti bisa kontrolnya”. Semenjak itu, aku melatih untuk mengendalikan emosiku terutama saat datang bulan, dan alhamdulillah bisa karna terbiasa. Meski untuk ke-sensitive-an mungkin masih belum dapat sepenuhnya kukendalikan. Selalu aja ada alasan untuk overthinking.

7. Ayahku yang bukan seorang ulama. Tetapi kenal dan dikenal oleh ustadz-ustadz. Bangga? Alhamdulillah, itu semua benar-benar karunia Allah. Hal tersebut membuatku ingat agar selalu menjaga pergaulanku, circle-ku. Minimal, dengan tetap menjaga akhlakku.

8.    Dan masih banyak lagi.

 

Seperti halnya anak, orangtua pun terkadang ada alpanya. Bagaimanapun juga orangtua tidaklah langsung terlahir menjadi sosok orangtua. Yang senantiasa bisa lihai dalam menjalani bahtera rumah tangga tanpa cela. Mereka pastinya melalui proses kehidupan yang cukup panjang, pahit-getir-manisnya kehidupan. Mengalahkan egonya demi kebahagiaan pasangan dan anak-anaknya. Mengesampingkan segala hajat pribadinya demi mengutamakan kepentingan keluarganya. Ku yakin, ayah dan ibu pasti memiliki hal yang ingin digapai. Namun mereka urungkan jika itu berbenturan dengan pemenuhan kebutuhan pasangan dan anak-anaknya. Lagi-lagi bukan tentang siapa yang paling berkorban. Tapi keduanya yang selalu ikhlas dalam memberi.

 

Sempat ada banyak kekhawatiran yang menyerangku. Mampukah aku menjadi seorang pasangan dan ibu yang baik kelak di kemudian hari? Aku sudah mulai membaca dan memang secara alamiah tertarik dengan ke-parenting-an sejak bertahun-tahun silam. Semakin aku membaca, “wow, banyak sekali ilmunya, banyak sekali aturannya, banyak sekali yang harus diterapkannya. I’m kind of overwhelmed.”. Inilah tantangan pasutri dan orangtua di masa kini, overflowing information. Namun seberapa banyak buku yang dibaca, sebanyak apapun artikel yang dilahap, seberapa banyak video yang ditonton, dan sesering apapun mengikuti webinar atau seminar, semua itu akan percuma. Karena seberapa keras dan besarpun ikhtiar kita, hanya Allah satu-satunya yang dapat mampukan.

 

Lagipula kunci terpenting dari segala hal tersebut adalah ikhlas. Kebayang kan jika sebagai orangtua udah puyeng duluan dalam mengurus anak karena banyaknya tuntutan parenting style A, B, C, dst, anaknya bakalan seperti apa? Ikhlas dalam mengasuh, ikhlas dalam memberi, ikhlas dalam menuntut ilmu. inshaaAllah akan dimampukan. Aku mencapai kesimpulan-kesimpulan ini bukanlah berdasarkan pengalaman pribadi, karena pengalamanku masih nihil. Seujung kuku pun tidak. Namun, hal tersebut berdasarkan pengalaman teman-teman yang sudah lebih dulu mengarungi keindahan fase kehidupan yang belum kulalui tersebut.

 

Wallahu a’lam.



















Share:

0 komentar:

Post a Comment

Untuk kritik dan sarannya mohon dilampirkan dibawah ini.... Terima Kasih

Search in This Blog

Pesan untuk Penulis

Name

Email *

Message *

Another Blog

Tulisan Terbaru!

Witsqa Masak: Yumurtali Patates

DISCLAIMER!  Witsqa Masak merupakan kumpulan resep yang terhitung berhasil untuk dipraktekkan oleh saya. Sumber resepnya sendiri bisa berasa...