Setiap orang memiliki kisah
menarik yang berbeda di setiap detik hidupnya. Dan…inilah sebahagian detik
berhargaku J
“Payung, botol air minum, dompet, muze kart1, ikamet2, paspor, tisu, dan sedikit camilan. Hmmm.. Insya Allah lengkap semua.”, gumamku memecah keheningan pagi.
Kukenakan jaket biru ber-hoodie kesayanganku, kugendong tas selempangku
di lengan kanan, pasang headphone dan
aku sudah siap untuk perjalan hari ini. Sembari mengenakan sepatu sport coklat,
kuteriakkan kedua teman-temanku.
“Nisaaaa.. Lindaaaa… aku udah
siap nih,yuk kita caw! Ntar telat nih.”, panggilku.
Linda yang jelas-jelas tepat
berada didepan wajahku sedikit merasa terganggu dengan kicauan “merdu”ku sepagi
ini. Dengan wajah datar, seolah semua berjalan seperti biasanya, aku berlalu
tak kuhiraukan. Tak berselang lama, Nisa pun telah bersiap dengan pakaian dengan
warna favoritnya, hijau. Ya, jika kalian melihat Nisa saat itu mungkin tak bisa
kalian bedakan, yang mana Nisa yang mana pohon. Hehehe..
Aku berharap hari ini akan
menjadi hari yang paling indah didalam catatan hidupku. Bagaimana tidak,
Hacettepe University TÖMER akan membawa kami, seluruh mahasiswa-mahasiswi asing
yang sedang belajar bahasa Turki di kampusnya untuk berwisata ke sebuah kota
yang dihiasi dengan berbagai reruntuhan sejarah yang unik dan cantik, Kapadokya.
Kota dengan tujuan wisata populer yang sering menjadi lokasi pengambilan film
maupun drama Turki yang terletak di Nevsehir.
Pagi-pagi sekali, Linda sudah
memintaku untuk memeriksa ramalan cuaca destinasi wisata kami. Sayang sekali, jawaban
yang muncul di layar telepon genggamku sedikit mengecewakan. Hujan. Dikatakan
hari itu akan turun hujan di Kapadokya, namun hal tersebut tidak sedikitpun
meluruhkan semangatku, karena aku telah mempersiapkan senjata andalanku. Bukan
kantong ajaib seperti yang dimiliki oleh Doraemon, bukan pula tongkat sihir
yang dimiliki oleh Harry Potter. Melainkan, sebuah payung. Ya, p-a-y-u-n-g.
***
Titik tempat menunggu bus
rombongan tinggal beberapa meter dari pandangan kami. Namun, tiba-tiba hujan
menerpa. Semakin lama hujannya semakin deras. Dan, hey! Ini bukan hujan biasa.
Ini es! Mengaduhnya linda akibat diterpa hujan es membuktikan bahwa payungku
terlambat menjadi seorang pahlawan. Yasudahlah, pada akhirnya pun kami memasuki
shelter area.
Begitu indah bukan? Di pagi
buta, hujan es melepas kepergian kami ke Kapadokya.
***
Menunggu, menunggu, dan
menunggu. Seharusnya kuganti saja status pekerjaan di Kartu Tanda Pengenalku,
bukan pelajar, melainkan tukang menunggu. Jam hampir menunjukkan angka 07.40
pagi itu, artinya bus rombongan telah terlambat kurang lebih 10 menit. Sebenarnya
aku tidak merasa bermasalah sama sekali, karena yang aku sadari menunggu takkan
terasa membosankan jika bersama teman-teman tersayang. Namun, jikalau kita
menunggu bersama teman-teman tersayang dan juga benar-benar “ditemani” angin
dingin menusuk tulang yang tiupan angina kencang dan tiada hentinya, itu
merupakan kondisi yang berbeda.
***
Lebih kurang 5 jam perjalanan dari
Ankara yang dibutuhkan untuk mencapai tempat tujuan. Perjalanan kali ini
sungguh tak terasa, karena separuh waktunya kugunakan untuk tidur dan sisanya
untuk memandang panorama keindahan ciptaan Sang Illahi.
Petualangan menyenangkan pun dimulai…..
J
Tempat pertama yang kami
kunjungi adalah çömlek atölyesi (dibaca: comlek atolyesi), jika di Indonesia bisa
dikatakan sebagai sebuah tempat pembuatan gerabah. Menyenangkan sekali bisa melihat
secara langsung bagaimana cara pembuatan gerabah yang indah itu. Tangan yang
terampil si abang tukang gerabah, meliuk-liuk diantara adonan gerabah yang
terlihat seperti…..yuck! :P
Jujur saja, selama di
Indonesia aku belum pernah sekalipun mengunjungi dan melihat secara langsung proses
pembuatan gerabah. Aku merasa sangat penasaran, ingin sekali rasanya terjun
langsung mencoba untuk membuatnya; menyentuhnya dengan jemari-jemari panjang
nan kecilku ini. Sayang sekali, rezeki untuk mencoba membuat gerabah belum
datang padaku untuk kali ini, dikarenakan keterbatasan sarana dan prasarana
pula tidak semua orang bisa mencoba membuat gerabah. Hanya ada satu orang yang
beruntung yang berhak mencobanya, namun bukan aku.
Seusai menyaksikan demo cara membuat gerabah beserta
rincian sejarahnya yang tidak 100% dapat kucerna dengan baik. Aku beserta kedua
temanku yang berasal dari Korea menyempatkan diri untuk berfoto-foto di kawasan
tersebut. Biasa, gaya nge-tren masa kini, selfie.
Destinasi kami selanjutnya
adalah Açik Hava Muzesi3 yang terdapat di Goreme.
Senja telah menghampiri, kami
bergerak menuju peri bacalari dan terdapat sebuah sosok bahkan dua sosok yang
sangat mencolok dan menarik untuk didekati di kawasan tersebut. Sesuatu yang
biasa hidup dan tinggal di gurun pasir. Percayakah kalian, disini kami
menemukan unta! Ya, unta. Separuh orang terlihat antusias dan mulai berlarian
menuju unta-unta tersebut. Termasuk aku dan salah seorang temanku yang
kebetulan hari itu duduk 1 seat
denganku, si supel Nadira.
Kami yang kehausan akan berfoto
dan sedang mencari-cari angle yang
tepat untuk berfoto, memutuskan untuk singgah sebentar didaerah ber-unta
tersebut.
“Witsqa! Buruan foto sana.”,
tiba-tiba Nadira memintaku untuk berfoto dengan hewan berpunuk tersebut.
Tanpa pikir panjang aku
berdiri berdekatan dengan hewan yang berbulu kecoklatan itu. Unta tersebut
terlihat sedang asyik memasukkan kepalanya kedalam ember yang penuh berisi
makanan, kelihatannya sih rumput. Sang unta tersebut terlihat sangat lahap
memakan jatah makanannya itu. Entahlah, sesenja itu, seember rumput tersebut adalah
jatah makan siang atau makan sore nya si unta, atau bahkan jatah sarapannya?
Jepret!
Jepretan pertama sangat mulus. Dan ketika bersiap mengganti pose untuk jepretan kedua, sedikit
perasaan tak enak bergemuruh didada. Disaat yang bersamaan pula aku mendengar
samar-samar sesuatu bergerak dibalik badanku. Dan…..tak salah lagi,
“Aaaaaa…”, aku terkaget
sembari berusaha menahan teriak.
Secara tiba-tiba punggungku
seperti diseruduk sesuatu. Ternyata, unta yang sedang melahap jatah makanannya
tersebut bangkit lalu menyeruduk punggungku. Aku tak begitu yakin juga,
punggungku ini sebenarnya diseruduk ataukah…….dicium? Aku tak mengerti lagi,
entah apa yang sedang dipikirkan oleh sang unta, sebegitu menariknyakah jaketku
hingga akhirnya si unta berminat menciumnya, atau mungkin karena kemungkinan lain.
Rasa jaketku yang terlihat lebih lezat dibandingkan makanannya yang hanya
berupa rerumputan berwarna hijau itu. Ah, aku tak peduli apa alasan unta
tersebut mencium punggungku, tapi sekarang semua mata tertuju padaku dan semua
orang tertawa terpingkal-pingkal atas apa yang telah terjadi padaku beberapa
waktu yang lalu. Aku mencari teman-temanku, namun rasanya taka da satupun yang
bisa kuandalkan untuk menutupi wajahku yang sudah kelewat malu ini. Ingin
sekali rasanya kuambil kantong plastik dan kututupi wajahku yang sudah
kemerahan seperti tomat ini, akibat menahan rasa malu yang fantastis.
Benar-benar memalukan. Hiks hiks hiks. Aku harap semua orang melupakan kejadian
itu. Tidakkkkkkk!
“Wits, tau gak, seudah si unta
nyium punggung kamu itu, dia ngunyahnya jadi monyong-monyong gitu.. hahahaha”,
ujar salah seorang temanku berusaha menjelaskan padaku, setelah kami berada jauh
dari tempat kejadian perkara tersebut.
Lupakan!!! Aku maluuuuu… L
***
Istirahat selanjutnya.
“Udah istirahat lagi? Jangan
bilang istirahat makan sore?”, gerutu Linda.
Sebenarnya tak bisa kubedakan,
sebenarnya Linda itu sedang menggerutu atau malah kegirangan menyambut
istirahat makan. Yang terpenting wisata singkat ini tidak melupakan keinginan
naluri kami. Sepertinya bukan naluri kami, melainkan naluriku. Naluri yang
berlebihan akan makan.
Makaaaaaaan |
Ada sesuatu hal unik bin
romantik yang terjadi senja itu. Disela-sela persiapan makan sore, kami yang
sedang berbincang sambil terduduk manis menanti makanan, melihat sesuatu yang
ganjil dari arah seberang tebing. Aku yang sedang tidak mengenakan kacamata
minusku, hanya bisa bertanya-tanya apa yang tertulis di seberang cakrawala
sana. Terlihat samar-samar, ada dua orang pemuda yang memegang erat poster dan
membentangkannya. Poster polos putih dengan tulisan berwarna hitam. Setelah
ditilik-tilik tak juga berhasil. Aku yang cukup merasa penasaran, bertanya
antusias kepada teman-temanku yang berada disana, apa yang sebenarnya terjadi
dan apa yang tertulis diposter polos seberang sana. Semua orang yang kutanya
pun masih berusaha memicingkan matanya ke arah poster tersebut. “Kira-kira
tulisannya apa ya?”, gumamku dalam hati.
“Maukah kamu menjadi matahari
yang akan tenggelam bersamaku hingga akhir hayatku?”, temanku memberitahuku,
kurang lebih itulah yang tertulis di poster tersebut. Sontak saja semua orang
yang ada disana berteriak histeris. Tak kusadari, sedari tadi memang kulihat
sepasang kekasih yang sedang duduk-duduk saling bercengkrama berdua.
Setelah mengetahui dan membaca
kondisi yang terjadi aku hanya bisa terpana. Terdiam sebentar. Biarlah! Itu
urusan orang dewasa. Urusanku saat ini adalah perut yang sedari tadi sudah
berdangdut ria.
Alhamdulillah kebahagian dihari
itu amat tak terkira. Ingin sekali rasanya untuk bisa kembali lagi ke tempat
itu, Kapadokya, tempat penuh sejarah yang menorehkan sejarah indah di alur cerita
hidupku..
Itulah ceritaku. Itulah
sebagian detik-detik berhargaku yang masih bisa kuingat dan dapat kurekam dalam
sebuah tulisan yang masih rancu dan tak tentu kemana arah mengalirnya. Terima
kasih telah sudi hati membaca tulisanku ini J
Catatan:
1 Kartu Museum
: Muze Kart ini berlaku 1 tahun semenjak pembuatannya. Keuntungan dari Muze
Kart ini digunakan ketika kita bermaksud memasuki museum-museum yang ada di
Turki dan akan mendapatkan diskon bahkan gratis.
2 Kartu Tanda
Pengenal bagi warga negara asing.
3 Museum
Terbuka
Foto-foto dan Video:
have a nice dayyyy...
ReplyDeleteTerima Kasih ayahku sayang :)
Delete